KEBANYAKAN orang mengenal tempura sebagai makanan khas Jepang yang menjadi hidangan pendamping saat menyantap ramen ataupun donburi. Dibuat dari sayuran atau hasil laut seperti udang, ikan, dan cumi yang dibalut dengan adonan tepung, tempura sangat nikmat jika disantap saat hangat. Termasuk dalam kelompok agemono atau makanan yang digoreng, tempura biasanya dinikmati dengan saus cocol yang disebut tentsuyu. Namun, tak sedikit pula yang menyantapnya dengan saus sambal atau tomat.
Kendati dikenal sebagai ikon kuliner Jepang, bersama sushi, ramen, dan sukiyaki, sejarah kemunculan tempura berkaitan dengan kehadiran orang-orang Portugis di Negeri Matahari Terbit pada abad ke-16.
Menurut Jeanne Jacob dalam Food Cultures of Japan: Recipes, Customs, and Issues, orang-orang Portugis tiba di Tanegashima, salah satu pulau dari Kepulauan Osumi, Prefektur Kagoshima, Jepang, pada 1542. Selain memperkenalkan senjata api Eropa dan menyebarkan agama Kristen, para pedagang Portugis juga mengenalkan teknik menggoreng dan memanggang, gula putih, telur, serta hidangan seperti tempura, kue Castella, roti, dan makanan berbahan dasar gandum dan gula lainnya.
Baca juga:
Sejarah Panjang Mi Kuah Khas Jepang
“Kata tempura dalam bahasa Jepang berasal dari kata Portugis têmporas, yang mengacu pada hari-hari puasa dan pantangan memakan sesuatu (terutama daging) yang dulunya diwajibkan bagi umat Katolik; oleh karena itu, makanan laut seperti udang dan ikan secara tradisional menjadi bahan utama tempura,” tulis Jacob.
Asal-usul tempura juga dikaitkan dengan bangsa Spanyol. Jacob dan antropolog Michael Ashkenazi mencatat dalam The Essence of Japanese Cuisine: An Essay on Food and Culture, sejak awal abad ke-16, Jepang telah terekspos oleh Barat. Dalam konteks kuliner, pengaruh makanan datang dalam tiga gelombang besar. Dalam setiap kasus, makanan Barat diadopsi oleh orang Jepang, dimodifikasi, dan akhirnya menjadi makanan Jepang. Gelombang pertama terjadi pada masa perang saudara Aizu-Momoyama. Pengaruhnya terutama berasal dari Portugis dan Spanyol. Bahan makanan yang digunakan adalah ubi jalar, jagung, dan paprika.
Gelombang kedua terjadi setelah Jepang membuka diri terhadap dunia luar pada akhir zaman Edo. Orang Jepang memulai serangkaian perubahan besar dalam kebiasaan makan saat mereka menyesuaikan diri dengan Barat. Periode ketiga terjadi setelah Perang Dunia II. Pada awalnya ditandai dengan penghematan, kemudian pada 1970-an, orang Jepang bereksperimen dengan perubahan besar dalam pola makan, mulai dari pengenalan masakan mewah hingga makanan cepat saji, dan mencoba hampir semua yang ada di antaranya.
“Apa yang menjadi ciri khas dari hampir semua perubahan tersebut, bukanlah karena makanan itu diperkenalkan ke Jepang, tetapi karena hampir di setiap kasus, setelah waktu yang cukup berlalu, makanan-makanan tersebut menjadi makanan khas Jepang, dan hal ini terjadi karena orang Jepang dapat memodifikasi makanan-makanan itu sesuai dengan selera mereka,” tulis Jacob dan Ashkenazi.
Sementara itu, menurut W. P. Fegen dalam Japan Background Stories, kata tempura berasal dari masa ketika misionaris Portugis (atau Spanyol) menetap di Nagasaki lebih dari tiga abad yang lalu. Ketika ditanya oleh beberapa orang Jepang selama masa Prapaskah (masa tirakat menjelang hari raya Paskah, red.) tentang alasan mengapa orang-orang Portugis setiap hari menikmati jenis makanan tertentu yang diolah dengan minyak (kemungkinan besar minyak zaitun) dan pantang mengonsumsi daging, para misionaris Portugis perintis ini, dengan tujuan menjelaskan alasan mereka berpuasa, mengatakan “sagrado temporado”.
Baca juga:
Melacak Jejak Jepang di Indonesia
Asal-usul etimologis tempura juga memiliki beragam versi. Menurut Fegen, salah satu versi menyebut pada tahun 1781, Risuke yang merupakan putra kedua dari seorang pedagang Osaka cukup kaya, kawin lari ke Tokyo (saat itu dikenal sebagai Edo) dengan kekasihnya yang berprofesi sebagai geisha dan menetap di sebuah rumah di belakang kediaman Iwase Kyogan, pengarang Kumo-no-Itomaki (“A Spider’s Web-Weaving”).
Pada salah satu kunjungan rutin ke rumah Iwase, Risuke meminta saran dari Santo Kyoden, kakak laki-laki Iwase yang juga seorang cendekiawan terkemuka, untuk memulai bisnis sebagai pedagang kaki lima di malam hari. Rencananya, Risuke akan menjual ikan yang digoreng dengan minyak wijen, yang telah populer di Osaka dan dikenal dengan nama tsuka-age (secara harfiah berarti “menggoreng dengan cara mencelupkannya ke dalam minyak”). Makanan ini diharapkan dapat memberi keuntungan yang besar bagi Risuke karena hidangan tersebut belum dikenal di Tokyo.
Santo Kyoden membantu Risuke mempersiapkan bisnisnya. Ia membuat kaligrafi di andon (lampion karton) yang akan dipasang di gerai Risuke, tiga karakter Cina untuk kata “tempura”. Karakter untuk ten mewakili suku kata pertama dari kata tenjiku-ronin yang berarti pengembara –kata ini seakan mengisyaratkan bahwa Risuke telah mengembara hingga ke Tokyo; dan dua karakter terakhir menunjukkan fura atau melapisi bahan makanan dengan adonan tepung secara tipis-tipis.
Di zaman Edo yang berlangsung sejak abad ke-17 hingga 19, tempura semakin dikenal luas dan menjadi favorit banyak orang. Relokasi para daimyo (penguasa) regional dan pengikutnya ke Edo (sekarang Tokyo), berperan besar dalam meningkatkan popularitas tempura. Kedatangan mereka ke Edo meningkatkan populasi pria di kota itu. Karena sebagian besar bujangan atau jauh dari keluarga, mereka menginginkan makanan siap saji. Hal ini memberikan kesempatan bagi gerobak makanan keliling (yatai) untuk menyajikan hidangan dengan cepat dan mudah disantap. Makanan cepat saji pertama yakni tempura dengan tusuk sate, sushi (menggunakan ikan segar dan hasil laut lokal), belut kabayaki, udon, dan soba. Makanan khas Edo ini disiapkan dan dimakan dengan kecap asin.
Baca juga:
Bubur Perjuangan dan Roti Asia
“Pada 1811, Edo memiliki lebih dari 7.500 tempat makan… dan pada 1848, sebuah panduan untuk restoran-restoran terkenal di Edo diterbitkan (Edo Meibutsu Shuhan Tebikigusa), yang kemunculannya lebih dulu dari Michelin Guide di Prancis. Sumpit sekali pakai ditemukan pada masa ini, dan meskipun awalnya digunakan di restoran-restoran kelas atas, pada 1877 sumpit ini umumnya digunakan di semua tempat makan untuk alasan higienis,” tulis Jacob.
Seiring dengan semakin populernya tempura di masyarakat Jepang, seni pembuatannya juga mengalami kemajuan. Selain memanfaatkan hasil laut seperti ikan, udang, dan cumi –mengikuti resep asli Portugis yang dipertahankan selama beberapa generasi; banyak pula pedagang yang membuat tempura dari sayuran. Rasa tempura yang lezat dengan tekstur renyah di luar dan lembut di dalam membuat hidangan ini juga digemari oleh orang-orang di luar Jepang.*