Manusia, Binatang, dan Iblis Karya Semsar Siahaan

Disingkat Manubilis. Lukisan kontroversial dekade 1980-an tentang tiga kepribadian yang merujuk pada koruptor dan penjahat berkerah.

Oleh: Martin Sitompul | 26 Mar 2025
Manusia, Binatang, dan Iblis Karya Semsar Siahaan
Lukisan "Manubilis" karya Semsar Siahaan. (Sumber: Katalog Pameran Tunggal Semsar Siahaan, 1988/DKJ.)

KANTOR redaksi Majalah Tempo kena teror lewat pengiriman paket berisi kepala babi. Secara khusus, si peneror mengirimkannya kepada Francisca Rosana alias Cica, salah satu jurnalis Tempo yang juga host siniar “Bocor Alus”. Teror tak berhenti di paket kepala babi. Keesokan harinya, kantor Tempo mendapat kiriman lagi yang tak kalah pesan terornya, yaitu bangkai tikus dengan kepala terpotong.

Babi dan tikus sebenarnya kurang cocok ditujukan kepada jurnalis. Apalagi jurnalis kritis seperti awak media Tempo. Pakailah simbolis binatang yang lebih relevan, misalnya kancil yang terkenal cerdik dan nakal. Mengingat sifat babi yang rakus dan tikus yang suka menggerogoti, kedua binatang ini lebih tepat untuk menggambarkan karakter koruptor dan penjahat berkerah. Inilah yang menginspirasi seniman realis Semsar Siahaan pada dekade 1980-an dalam proses kreatif lukisannya bertajuk Manubilis, akronim dari manusia, binatang, dan iblis.

“Manublis merupakan penyingkatan dari tiga kombinasi kata benda: Manusia, Binatang, Iblis. Manubilis menggambarkan tiga sifat yang merupakan satu kesatuan. Manusia sebagai badannya, binatang sebagai nafsunya, dan iblis sebagai kelicikannya,” terang Semsar dalam Katalog Pameran Tunggal Semsar Siahaan.

Advertising
Advertising

Baca juga: Semsar Siahaan, Seniman yang Dianiaya Orde Baru

Pada Januari 1988, Semsar menggelar pameran tunggal di Galeri Lama, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Dalam pamerannya, Semsar menampilkan 280 gambar hitam putih dan 12 lukisan cat minyak. Salah satu lukisan bertajuk Manubilis menarik perhatian.

Manubilis menggambarkan seorang laki-laki bersetelan rapi lengkap dengan jas dan dasi. Namun, penampakannya tak seperti benar-benar manusia. Hidungnya mengembang seperti babi. Giginya penuh taring-taring kecil dan telinga panjang persis tikus curut. "Manubilis", figur dalam lukisan itu terlihat tersenyum culas.

Istilah “Manubilis” sendiri diambil dari judul cerpen yang ditulis Semsar pada 1982. Namun, sosok Manubilis bukan sekadar rekaan imajinasi Semsar belaka. Di balik itu, Semsar mengungkap realita dan kritik sosial.

“Aku tampil di sini melanggar-menerjang-meneriaki tata krama para manubilis penggagum bentuk hingga warna-warni mediokernya. Aku datang dari lingkungan manusia-manusia yang berjuang membebaskan diri kematiannya,” kata Semsar dalam katalognya.

Baca juga: Sukarno Sang Kolektor Lukisan

Manubilis, seperti diulas sastrawan Danarto dalam Kompas, 17 Januari 1988, adalah suatu pencapaian bentuk yang telah mengalami proses transformasi panjang dan melelahkan. Ia meliputi penghisapan manusia atas manusia di segala bidang. Menurut Danarto, seni rupa pembebasan yang coba dikumandangkan Semsar, tidak berbicara tentang seni, melainkan tentang martabat manusia.

“Jika memang benar lingkungan sosial budaya sudah dikandangi para manubilis, akan sulit bagi kita untuk dapat berkelit dari penindasannya,” tandas Danarto.

Sosok "Manubilis" juga hadir dalam lukisan Semsar yang lain. Terlihat dari sejumlah judul dalam karyanya seperti Maju Terus Manubilis Muda, Manubilis dengan gayanya, Manubilis dengan korbannya, Manubilis Berfoya-foya, Manubilis Menyantap Hutan, dan Manubilis dengan Sorganya. Lewat lukisan-lukisan itu, Semsar secara khas menguak problematika sosial masyarakat.

Perupa F.X. Harsono yang juga kolega Semsar menyebut karya Semsar dalam Manubilis menampilkan figur-figur manusia yang mewakili cukong dan kaum elite. Dengan kuasanya, mereka menciptakan sistem untuk menindas rakyat yang tertindas. Di pihak lain, rakyat menurut Semsar adalah massa yang diatur dan dikuasai oleh elite-elite penguasa, pedagang, dan pendidikan. Rakyat berjumlah lebih banyak daripada kelompok elite, namun tidak punya kekuatan apa-apa. Mereka sering dikalahkan oleh sistem yang diciptakan kelompok elite.

“Kesenian Semsar adalah seni pembebasan yang hendak membebaskan dari penindasan. Tujuan penciptaan keseniannya bertujuan mengangkat ke permukaan masalah rakyat. Dengan terangkatnya masalah rakyat ia mengharap akan terjadi perubahan,” catat Harsono dalam artikelnya “Kerakyatan dalam Seni Lukis Indonesia: Sejak PERSAGI hingga Kini”, termuat di kumpulan tulosan Aspek Seni Visual Indonesia: Politik dan Gender.

Baca juga: Seniman Tolak Komersialisasi Taman Ismail Marzuki

Manubilis menurut Efix Mulyadi, jurnalis dan pengelola Bentara Budaya, dalam “Semangat Kemanusiaan Semsar Siahaan”, sering muncul sebagai sosok terhormat, berbusana anggun namun berlidah racun, tampak berkelas namun culas. Korbannya adalah rakyat jelata yang tergencet, buruh yang dibelenggu, para pengangguran yang sia-sia mencari kerja, kaum yang tergusur, dan seterusnya. Kesan itu pula yang tertangkap dalam 250 lukisan hitam putih karya Semsar dalam pameran tunggalnya yang berlangsung 5—14 Januari 1988.

Dari Jakarta, Semsar kemudian menggelar pameran tunggal lanjutan ke empat kota, yaitu Yogyakarta, Solo, Salatiga, dan Bandung. Sosok "Manubilis" pun kian dikenal. Menjadikannya lukisan kontroversial.

Dalam karya maupun instalasi seninya, Semsar memang kerap mengangkat potret masyarakat marjinal dan tertindas, terutama sepanjang periode 1980-1990-an. Kepada kaum inilah Semsar berpihak. Mulai dari buruh, jelata, hingga korban kejahatan negara. Di sisi lain, dia menelanjangi kebusukan penguasa, seperti tersua dalam lukisan Manubilis dan instalasi seni Penggalian Kembali (1994).

Baca juga: Semsar Siahaan Menggali Kembali Kejahatan Negara

Semsar sendiri bukan tipikal seniman yang asyik sendiri menggores kuasnya di atas kanvas. Di luar aktivitas berkesenian, Semsar banyak terlibat dengan para aktivis mahasiswa dan Lembaga Swadata Masyarakat (LSM) yang secara aktif melakukan demonstrasi dan diskusi-diskusi. Karena interaksi itu, karya-karyanya sering dipakai sebagai poster demonstrasi maupun ilustrasi penerbitan para aktivis LSM dan mahasiswa. Semsar juga ikut turun ke jalan. Kakinya sampai patah akibat gebukan aparat ketika berunjuk rasa menentang pembreidelan Majalah Tempo, Detik, dan Editor pada 1994.

Lukisan asli Manubulis tak pernah ditemukan lagi. Menurut kritikus seni Agus Dermawan T, Semsar membakarnya untuk menebus dosa. Selain terhadap Manubilis, Semsar membakar ratusan karyanya, termasuk gambar-gambar artistik di atas kertas dengan tinta hitam. Semua dibakar di atas tungku dalam sebuah upacara di gedung Gelanggang Olahraga Bandung.

“Sebelumnya, gambar-gambar yang bagus itu dipamerkan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada medio Januari 1988, dalam juluk 'Manubilis', kependekan dari manusia-binatang-iblis,” ulas Agus Dermawan dalam Karnaval Sahibulhikayat: Arak-arakan Peristiwa Seni yang Unik, Ajaib, Besar, dan Menggemparkan.

Kendati lukisan itu telah tiada, apa yang ditampilkan Semsar dalam Manubilis masih relevan dengan keadaan hari ini. Kesenjangan sosial kian melebar. Rakyat kebanyakan tidak cukup berdaya menghadapi elite yang masih terus berkuasa.

Baca juga: Memahami Sejarah lewat Lukisan

TAG

lukisan semsar siahaan karya seni taman ismail marzuki

ARTIKEL TERKAIT

Francisco Franco Pelukis Amatiran Karya Seniman Belanda yang Tertinggal di Istana Bogor Kisah Pemalsu Lukisan-lukisan Terkenal Lagi di Sulawesi, Lukisan Gua Tertua Ditemukan Nasib Pelukis Kesayangan Sukarno Setelah 1965 Jejak Para Pelukis Perempuan Menggoreskan Kisah Tragis Adinda dalam Lukisan Mengeksplorasi Max Havelaar lewat Karya-karya Seni Rupa Affandi Marah pada Polisi Koleksi Pita Maha Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi