KEMENANGAN pasukannya di Katalan dan kaburnya sisa-sisa pengikut pemerintahan Republik Spanyol ke Prancis pada 6 Februari 1939 menandai kemenangan Generalisímo Francisco Franco dan pasukan nasionalis menguasai Spanyol sebagai caudillo (pemimpin tertinggi). Beragam poster dan lukisan diri sang diktator fasis bertebaran di mana-mana seiring datangnya pengakuan dirinya sebagai kepala negara Spanyol yang sah dari negara-negara Eropa pasca-berakhirnya Perang Saudara Spanyol (1936-1939).
Setelah dirinyaa berkuasa, banyak seniman dalam dan luar negeri –yang mendukung rezim tersebut– ingin melukis dirinya. Salah satunya Arturo Reque Meruvia. Pelukis asal Bolivia itu ingin “mengkultuskan” Franco lewat lukisan mural megah guna dijadikan bagian dekorasi di Sala de Guerra Civil (Aula Kemenangan Perang Saudara) yang terdapat di Gedung Arsip Militer Segovia, Madrid.
“Arturo Reque Meruvia seniman Bolivia membuat lukisan berjudul ‘Alegoria De Franco y la Cruzada’ dan dimaksudkan jadi penghias bagi monumen megah Franco di aula gedung Archivo Histórico Militar walau akhirnya karyanya ditolak otoritas, entah karena ia bukan asli Spanyol atau karena terlalu mencolok mendewakan Franco,” tulis William J. Novak dalam artikel “Mythmaking in the Franco Regime” yang termaktub di buku Lessons in Mythology: A Comparative Approach.
Para seniman yang boleh melukis Franco sejak berkuasa penuh di Spanyol adalah para seniman asli Spanyol yang jelas menyuarakan dukungan pada rezimnya. Di antaranya Gabriel Morcillo Ray, Enrique Segura Iglesias, dan Fernando Álvarez de Sotomayor.
Baca juga: Karya Seniman Belanda yang Tertinggal di Istana Bogor
Syahdan sebagaimana diceritakan dr. Vicente Pozuelo Escudero, dokter pribadi Franco, dalam Los últimos 476 días de Franco, pada suatu hari di awal 1940-an, Sotomayor berkunjung ke kediaman Franco di Palacio de Pardo untuk melukis potret sang diktator. Ketika Sotomayor sedang pergi, Franco yang mulai bosan jadi objek di balik kanvas diam-diam mengambil peralatan Sotomayor dan membawanya ke halaman belakang untuk mulai melukis lanskap taman.
“Hari berikutnya saat aku menunjukkan (hasil) lukisan itu dan bilang padanya bahwa aku melukisnya dengan menggunakan kuasnya, Sotomayor terkejut dan bilang: ‘ternyata hasilnya bagus. Anda harus melanjutkannya’,” ungkap Franco dikutip Escudero.
Namun, seperti apa hasil lukisan Franco, tak tergambarkan detail. Yang pasti, Sotomayor takkan berani memberi jawaban sebaliknya. Dan semenjak itu, Franco jadi mulai hobi melukis.
Franco seolah mengikuti jejak koleganya, diktator Nazi Jerman Adolf Hitler, yang memang sudah jadi pelukis sejak sebelum terjun ke politik. Sepanjang 1940-1961, tercatat ada 15 lukisan cat minyak di atas kanvas hasil karya Franco. Tentu hasilnya tidak bisa dibandingkan karya-karya Sotomayor, apalagi Salvador Dalí atau Pablo Picasso.
Pelukis Otodidak
Franco dikenal dunia sebagai diktator sayap kanan yang berkuasa secara represif di Spanyol sepanjang 1936-1975. Meski berkawan dekat dengan Der Führer Adolf Hitler dan Il Duce Benito Mussolini yang banyak membantunya dalam Perang Saudara Spanyol, Franco diakui sebagai politisi ulung yang mampu mempertahankan netralitas negaranya agar tak bergabung ke Blok Poros pada Perang Dunia II (1939-1945). Salah satu dalihnya agar hubungan perekonomian dengan negara-negara di Blok Sekutu tidak terputus demi membangun Spanyol pasca-Perang Saudara.
Kiprah Franco di politik membuat hobi melukisnya acap terlupakan, terlepas karya-karyanya yang terbilang biasa. Toh ia belajar melukis secara otodidak. Lagi pula siapa yang berani mengajari dan mendikte sang diktator?
Dari karya-karyanya yang banyak dihasilkan pasca-Perang Dunia II, beberapa kritikus menilai Franco –terlepas dari kreasinya yang spontan dan tak produktif– cenderung beraliran realisme. Selain gemar meniru karya-karya pelukis lain, Franco lebih sering melukiskan lanskap dan potret diri.
Baca juga: Politik Dua Kaki Francisco Franco
Salah satunya adalah potret diri yang dibuat pada 1955. Lukisan itu menggambarkan potret Franco dengan mengenakan seragam perwira Angkatan Laut (AL) dan kedua tangannya menggenggam binokular.
Komposisinya warnanya dibuat cukup menarik dengan kontrasnya latar polos berwarna biru gelap dengan warna terang di wajah dan seragamnya untuk menonjolkan mimpinya yang tak kesampaian sebagai pelaut, mengingat ayahnya, Nicolás Franco Salgado-Araújo, veteran pelaut berpangkat intendende general (setara laksamana madya). Lainnya Franco juga menghasilkan setidaknya dua lukisan potret putri satu-satunya, María del Carmen Franco.
“Biasanya dia akan mengunci dirinya sendiri di ruang kerja sehabis makan malam untuk menghabiskan waktu dengan melukis. Dia juru gambar yang baik. Beberapa lukisannya adalah tiruan seniman-seniman ternama. Ada juga lukisan ibu saya (María del Carmen) dan potret dirinya sendiri. Karya-karyanya tak luar biasa tapi cukup berkualitas dengan beraliran realisme, tulis cucu sang diktator, Francisco Franco Martínez-Bordiú dalam La naturaleza de Franco: Cuando mi abuelo era persona.
Karya-karya lainnya bertemakan hewan-hewan buruan, mengacu hobi lainnya berburu dan memancing. Seperti sebuah lukisan elang Benelli dengan buruan burung dara, lukisan beruang cokelat yang diburu anjing-anjing pemburu, serta lukisan seekor anjing dan kelinci buruan yang tergantung di daun jendela.
Franco tak lagi meneruskan hobinya medio 1961 pasca-tangannya terluka saat berburu. Membuat tangan kirinya yang biasa memegang spatula sebagai medium pengukur tak lagi selalu mengalami tremor. Satu lukisan terakhirnya berupa sebuah kapal layar yang mulai setengah tenggelam akibat diterpa badai di lautan.
Baca juga: Hitler Seniman Medioker
Setidaknya juga tercatat Franco hanya sekali memamerkan karya-karyanya. Tepatnya ia pamerkan kepada para wartawan asing yang meliput ke kediamannya, seiring produksi film dokumenter Franco, ese hombre (1964).
“Hobi Generalissímo Francisco Franco adalah berburu, memancing, dan hobi lainnya sejauh ini – melukis. Pekan ini publik Spanyol akan melihat untuk pertamakalinya beberapa kanvas (lukisan) karya sang caudillo dalam film biografi yang memperlihatkan kesehariannya,” tulis harian The New York Times, 8 November 1964.
Selebihnya, lukisan-lukisan itu disimpan di loteng kediamannya. Lukisan-lukisan yang diselimuti debu itu baru dikeluarkan lagi medio 1976 pasca-wafatnya sang diktator seiring “diusirnya” putrinya, María del Carmen dari Palacio de Pardo.