Masuk Daftar
My Getplus

Karya Seniman Belanda yang Tertinggal di Istana Bogor

Lukisan karya Hofker terpajang di ruang kerja presiden di Istana Bogor. Keluarga sang seniman minta untuk dikembalikan ke Belanda.

Oleh: Randy Wirayudha | 09 Des 2024
Lukisan "Mebakti" karya Willem Gerard Hofker (Pictoright Amsterdam/ruudvanempel.nl)

SEJAK 2020, pemerintah Belanda dan Indonesia disibukkan perkara repatriasi benda-benda seni dan bersejarah yang dijarah di masa kolonial dari Belanda ke Indonesia. Lantas, muncul persoalan mengenai apakah repatriasi bakal berlaku sebaliknya: pengembalian benda-benda seni dari Indonesia ke Belanda? 

Pertanyaan itu dimunculkan sejarawan seni dan wartawan senior Louis Zweers di kolom opini NRC Handelsblad, Jumat (6/12/2024), “Indonesië moet óók geroofde kunstschatten teruggeven”. Sebab, masih terdapat sejumlah karya seni para pelukis Belanda yang terpajang di museum-museum maupun di instansi-instansi pemerintah Indonesia. 

“Para pewaris atau keluarga mereka terkadang mendapati lukisan karya para pendahulu mereka ketika mengunjungi sebuah museum di Indonesia. Mereka pun bertanya-tanya apakah dalam aspek klaim benda seni jarahan dan hukum waris kebudayaan internasional dalam pendekatan HAM, dapat menjadi titik mula untuk memulangkan benda-benda itu,” tulis Zweers. 

Advertising
Advertising

Masa pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1943) membuat orang-orang Eropa dan Indo-Eropa, terutama Belanda, jadi pengghuni kamp-kamp interniran sementara rumah dan harta benda mereka dirampok. Kendati begitu, diakui Zweers, hingga kini belum ada bukti memadai tentang peristiwa penjarahannya sehingga membuat sulit dalam mengajukan klaimnya. 

“Ada banyak juga dari mereka dipulangkan ke Belanda atau pindah ke Australia dan Amerika (Serikat). Mereka melarikan diri dari horor kamp-kamp (interniran) sehingga tak lagi memprioritaskan harta benda (seni) dan rumah mereka. Sementara menengok ke masa lalu belum jadi perhatian dan rekonstruksinya membutuhkan segala perhatian. Padahal mereka juga merasa sebagai korban dari sejarah kolonial,” tambahnya. 

Baca juga: Koleksi Pita Maha Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi

Benda-benda seni milik kurator dan kolektor Egbert van Orsoy de Flines dan Anna Resink-Wilkens, contohnya. Zweers menyatakan ia mendapati sebagian dari koleksi mereka yang hilang di masa Perang Dunia II (1939-1945) dan masa pendudukan Jepang, ternyata masih terpajang di museum-museum dan perkantoran pemerintah Indonesia. 

Lalu, enam lukisan pastel karya Willem Gerrard “Wim” Hofker. Pasca-Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1945-1949), enam lukisan itu sempat jadi koleksi Presiden Sukarno. 

“Tidak ada bukti bahwa ia (Presiden Sukarno) tahu bahwa itu benda seni jarahan. Kini berada di koleksi negara (Museum Kepresidenan). Salah satunya terpajang pula di kantor Presiden Indonesia saat ini, Prabowo (Subianto) di Istana Bogor. Seperti yang terdapat di buku saya (Verloren kunst: De lotgevallen van kunstwerken en collecties tijdens en na de oorlog in Indonesië, 2024), salah satu lukisan pastelnya (berjudul) Mebakti in prayer terpajang di ruang kerja presiden,” imbuh Zweers. 

Baca juga: Ketika Sukarno Meminjam Lukisan

 

Selintas Wim Hofker di Bali 

Wim Hofker yang jebolan Rijksacademie voor Beeldende Kunsten di Amsterdam, bertualang ke ke Bali pada 1938 ketika usianya menginjak 36 tahun. Hofker mengikutsertakan istrinya, Maria Rueter, yang juga bergelut di dunia seni rupa. 

Dalam Artists on Bali, Ruud Spruit menulis, Hofker mulanya diminta direktur perusahaan pelayaran Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), JE Backer, untuk membuat lukisan potret Ratu Wilhelmina berukuran besar untuk dipajang di kantor KPM di Batavia. Setelah rampung, Backer meminta Hofker mengantarkannya langsung ke Batavia dengan imbalan akomodasi dan perjalanan gratis ke Hindia Belanda. 

“Backer mengerti betul pentingnya publisitas. Ia paham bahwa itu bisa meningkatkan jumlah penumpang yang akan mengunjungi kepulauan Indonesia dengan kapalnya. Setelah mempelajari tentang negeri koloni itu, Hofker menerima tawarannya. Sepanjang perjalanan dengan KPM, Hofker juga memproduksi 50 lukisan dan sketsa yang kemudian direproduksi untuk keperluan kampanye iklan (KPM),” tulis Spruit. 

Baca juga: Mata Hari di Jawa

 

Setelah tiba di Batavia medio 1938, Hofker dan istrinya berkeliling. Sempat mengunjungi Buitenzorg (kini Bogor) dan Bandung sebelum akhirnya memilih menetap di Ubud, Bali pada 1939. 

“Hofker, murid dari Willem Witsen dan Isaac Israel datang ke Bali dan menetap bersama istrinya di Ubud. Keindahan alam Bali, kekeramatan pura, dan kehidupan masyarakat Bali menjadi inspirasi (karya) bagi Hofker. Objek yang paling disukai Hofker adalah wanita Bali dalam busana tari maupun tanpa busana. Selain melukis dengan media cat minyak di atas kertas atau kanvas, ia juga membuat etching dan litograf,” ungkap akademisi Universitas Pendidikan Ganesha, Dr. I Ketut Supir dalam Sejarah Seni Rupa Bali. 

Seiring masa berkaryanya di Bali, Hofker menjalin pertemanan dengan beberapa seniman Eropa lain. Di antaranya Johan Rudolf Bonnet dan Walter Spies. 

Baca juga: Walter Spies dan Renaisans Bali

 

Spies, sambung Spruit, pertamakali bertemu pasutri Hofker dan Rueter di kediaman Bonnet, medio 1939. Ketimbang karya-karya Hofker yang banyak menampilkan perempuan Bali, Spies lebih tertarik pada karya-karya Rueter yang lebih sering melukiskan tumbuhan dan serangga dengan begitu akurat. 

“Sepasang (seniman) Belanda telah tiba dan keduanya sama-sama pelukis. Saya bertemu mereka beberapa hari lalu. Mereka sungguh orang-orang baik dan ramah dan saya berharap bisa sering-sering bertemu mereka lagi,” tulis Spies dalam suratnya kepada ibundanya, dikutip Spruit. 

Tetapi masa-masa indah itu berubah menjadi horor dengan masuknya Jepang ke Hindia Belanda pada awal 1942. Orang-orang Eropa yang tak sempat melarikan diri digiring masuk kamp-kamp interniran. Bali sendiri mulai diduduki Jepang pada akhir Maret 1942 pasca-armada Jepang mengalahkan armada gabungan ABDA (Amerika, Inggris, Belanda, Australia) dalam Pertempuran Selat Badung (19 Februari 1942). 

Baca juga: Panji Matahari Terbit di Bali

 

Hofker dan istrinya mengalami nasib sial itu. Bersama Bonnet, mereka digiring ke kamp interniran di Denpasar lalu dipindah ke Makassar pada Desember 1943. 

Menurut kerabat Hofker, Seline Hofker, dalam biografi Willem Gerard Hofker (1902-1981) yang dituliskannya bersama Gianni Orsini, Hofker dan istrinya beserta Bonnet sedikit setidaknya merasakan “kebebasan” di kamp lantaran tak mendekam di balik sel setelah para perwira Jepang mengetahui bahwa mereka adalah seniman dan bukan tokoh politik apalagi militer. Itulah yang membuat Hofker tetap menghasilkan beberapa karya lukis dan sketsa dengan peralatan seadanya hingga berakhirnya Perang Dunia II. 

Namun, situasi Perang Kemerdekaan Indonesia membuat Hofker dan istrinya tak bisa kembali ke Bali. Maka pasangan itu memilih pulang ke Belanda pada 1946. Namun, sejumlah karyanya tertinggal di Indonesia. Seline Hofker mengidentifikasi ada enam karya, tetapi masih belum jelas bagaimana muasal keenam karya itu dijarah dan bagaimana bisa berakhir di koleksi Presiden Sukarno. 

Baca juga: Kanvas Kehidupan Fathi Ghaben

 

Salah satu karyanya yang tertinnggal adalah lukisan Mebakti in prayer. Lukisan ini menggambarkan sesosok perempuan Bali dengan tampak belakang sedang mebakti (sembahyang keseharian umat Hindu Bali) dengan menggunakan kembang. Satu lukisan lainnya adalah Balinese women with child, yang menggambarkan tiga gadis Bali yang salah satunya bertelanjang dada. 

Selina Hofker tak hanya bertanya-tanya mengapa karya-karya Wim Hofker itu bisa ada di koleksi Istana Kepresidenan. Pada akhir 2023, ia pernah menulis surat kepada Menteri Muda urusan Kebudayaan dan Media Belanda Gunay Uslu yang berisi pengajuan repatriasi enam lukisan karya Hofker itu dari Indonesia. 

“Pemerintah ragu untuk memulangkan benda-benda seni ke Belanda. Ada beberapa pertimbangan: nilai kultural-historis benda-bendanya, akses publik, dan pertimbangan finansial serta politik luar negeri. Saat ini belum ada alasan untuk mengajukan repatriasi benda-benda (karya Hofker) oleh pemerintah Belanda kepada pemerintah Indonesia,” demikian jawaban pemerintah Belanda, dikutip Zweers. 

Baca juga: Menggoreskan Kisah Tragis Adinda dalam Lukisan

 

TAG

lukisan repatriasi seni rupa seni-rupa

ARTIKEL TERKAIT

Cerita Dua Arca Ganesha di Pameran Repatriasi Keris Pusaka dari Puri Smarapura Rotterdam Pulangkan 68 Artefak Jarahan ke Indonesia I Nyoman Ngendon, Perupa Pita Maha yang Terjun ke Medan Perang Hilangnya Pusaka Sang Pangeran Seputar Prasasti Pucangan Menyibak Warisan Pangeran Diponegoro di Pameran Repatriasi Koleksi-koleksi Repatriasi Benda Bersejarah Mengenal Kelompok Seni Pita Maha Menyongsong Wajah Baru Museum Nasional Indonesia dan Pameran Repatriasi