ASOSIASI seni Pita Maha, yang didirikan pada 29 Januari 1936 di Ubud, menaungi sekitar 150 seniman dari berbagai desa di Pulau Dewata. Salah satunya adalah I Nyoman Ngendon, pelukis yang menjadi ikon utama seni lukis aliran Batuan era 1930-an hingga 1940-an.
Ngendon belajar melukis dari I Dewa Nyoman Mura. Menurut antropolog Amerika, Hildred Geertz dalam Storytelling in Bali, Ngendon membuat lukisan pertamanya pada 1933 ketika berusia sekitar 22 tahun. Selain aktif melukis, pria yang pernah terlibat dalam pertunjukan drama tari siang hari untuk orang asing itu juga seorang penjual ukiran kayu untuk turis. Ia juga disinyalir pernah bekerja di toko ukiran kayu yang dikelola oleh Brahmana Siwa, ayah dari teman dekatnya, Ida Bagus Putu Boen Sentoelan.
“Ngendon fasih berbahasa Melayu, bahasa yang umum digunakan oleh orang asing dari luar Bali. Ia mungkin pernah bersekolah di sekolah dasar Belanda di Sukawati. Ia mengenal semua ekspatriat di Bali, dan ketika diwawancarai oleh Madé Kalér pada 1938, Ngendon mengaku berkenalan dengan Spies, Bonnet, Sayers, dan Dressen. Pria itu mengatakan bahwa ia pernah tinggal selama satu bulan di rumah Houbolt di Denpasar dan tiga bulan bersama Resink,” tulis Hildred Geertz.
Baca juga:
Mengenal Kelompok Seni Pita Maha
Melalui interaksi dengan seniman asing itu, Ngendon bertukar ide dan belajar gaya melukis yang berbeda. Interaksi antara Ngendon dengan seniman asing pada 1930-an merupakan hal yang umum terjadi. Bahkan, hubungan itu mendorong terbentuknya asosiasi seni Pita Maha, yang menjadi jembatan bagi kesenian lokal dengan teknik dan gagasan seni rupa Barat.
Menurut budayawan Agus Dermawan T. dalam Durga, I Love You! sebagai murid Rudolf Bonnet, Ngendon mampu mencermati petuah sekuler perupa asal Belanda itu, yang menyarankan agar kehidupan sehari-hari komunitas Bali yang berkembang di luar ritual keagamaan dijadikan inspirasi.
“Namun dalam kenyataannya, tak seluruh ajaran itu sanggup membius, lantaran Ngendon tampak lebih tertarik kepada situs-situs kuno, seperti gambaran pada aneka relief di Puri Batuan dan Bedahulu. Tema yang diangkat juga tetap mengungkap jagat mitologi, ritual, dan religi masyarakat Bali. Dengan begitu, tema lukisan Ngendon akhirnya tampak tetap sangat lokal dan magis. Semua itu disungging dalam garis dan bentuk yang ritmis, tegas, dan berciri khas,” tulis Agus Dermawan.
Hildred Geertz memandang lukisan-lukisan karya Ngendon berbeda dengan lukisan-lukisan orang lain. Adegannya berada dalam perspektif penuh dan tubuh orang-orangnya dibulatkan dengan cara yang diajarkan Bonnet, secara realistis.
“Gambar kuil di Tampak Siring dalam koleksi Bonnet, yang dengan cermat membedakan dekat dan jauh dari posisi pengamat dan disusun di sekitar satu titik lenyap, juga tidak biasa karena tidak ada orang di dalamnya. Pada tahun-tahun berikutnya Ngendon juga membuat sejumlah potret,” jelas Geertz.
“Dari lima lukisan yang dibuat Ngendon sebelum tahun 1936 yang tersimpan dalam koleksi Bonnet, dua di antaranya memiliki narasi. Salah satunya adalah adegan permainan bayangan tentang perburuan Krishna, dan yang lainnya adalah adegan dari kisah Aji Darma. Dari sembilan potret yang diproduksinya, yang berada di dalam koleksi Bateson, hanya tiga yang memiliki narasi, salah satunya adalah subjek permainan bayangan,” tambahnya.
Baca juga:
Walter Spies dan Renaisans Bali
Seiring berjalannya waktu, Ngendon tak hanya menjadi murid dari para perupa ternama. Ia juga mengajar sejumlah perupa yang berada di lingkaran terdekatnya. Menurut sejarawan Australia Adrian Vickers dalam Balinese Art: Paintings and Drawing of Bali 1800-2010, pria kelahiran Banjar Dentiyis pada medio awal abad ke-20 itu mendorong anggota keluarga dan teman-temannya untuk berkecimpung dalam dunia seni lukis. Salah satu perupa yang menimba ilmu kepada Ngendon adalah Ida Bagus Made Bala (1920-42), yang kemudian mengajar keponakannya, Ida Bagus Ketut Siring (1923-86).
Kendati memegang erat nilai-nilai tradisional, Ngendon juga tertarik pada progresivitas dan pemikiran modern. Oleh karena itu, ketika berada di Yogyakarta pada masa pendudukan Jepang, Ngendon menjalin persahabatan dengan sejumlah pelukis modern di sana.
“Di kota Yogyakarta, Ngendon berkenalan dengan pelukis revolusioner seperti Affandi dan Sudjojono. Ia bahkan sempat berjumpa dengan Bung Karno,” tulis Agus Dermawan.
Interaksi dengan sejumlah pelukis revolusioner di Yogyakarta memantik semangat perjuangan dalam diri Ngendon, yang pernah menjadi anggota PERSAGI (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia), sebuah organisasi pelukis pejuang yang didirikan oleh Sudjojono dan Agus Djaya. Semangat perjuangan ini pula yang membuat Ngendon terdorong turut melawan Belanda.
Menurut Agus Dermawan, Ngendon yang bergabung sebagai tentara di bawah Resimen I Gusti Ngurah Rai ditugaskan di seksi penerangan. Ia banyak membuat poster penggugah semangat perjuangan. Tak hanya itu, Ngendon juga menyebarkan sendiri poster-poster buatannya ke berbagai penjuru.
Peran Ngendon tak terbatas pada pembuatan poster-poster perjuangan. Ia juga memimpin kelompok gerilyawan kecil Batuan. Perjuangan Ngendon terhenti ketika ia tertangkap. Geertz menyebut Ngendon ditangkap oleh milisi kerajaan Gianyar yang pro-Belanda. Karena dianggap berbahaya, Ngendon dieksekusi mati pada 1946.
Baca juga:
Koleksi Pita Maha Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi
Sementara itu, menurut Agus Dermawan, Ngendon ditangkap tentara NICA di Desa Ketewel pada 1946. Ia dianggap sebagai kurir yang paling berbahaya dan disebut-sebut sebagai gerilyawan yang menyamar sebagai seniman –mata-mata tentara Indonesia yang pura-pura menjadi pelukis, atau seniman yang juga aktif sebagai gerilyawan.
“Setelah ditangkap, Ngendon diinterogasi dan lantas disiksa. Kemudian pada 2 Juli 1947, ia ditembak oleh polisi NICA di kuburan Dentiyis, Batuan. Tragedi ini semakin miris ketika banyak saksi bercerita bahwa setelah ditembak, jenazah Ngendon diseret dengan truk di jalan raya Sukawati. Jelas sekali, NICA ingin menebarkan rasa takut kepada penduduk. Namun, darah Ngendon terlanjur menuliskan gelora puputan di sepanjang jalan,” tulis Agus Dermawan.
Pecahnya Perang Dunia II berdampak pada aktivitas Pita Maha. Meski aktivitas kelompok seni ini terhenti, beberapa anggotanya terus berkarya secara mandiri. Ketika sejumlah karya seni dari para anggota Pita Maha dipamerkan di museum luar negeri pada 1948-1950, banyak pengunjung berdatangan untuk melihatnya. Setelah puluhan tahun berada di luar negeri, ratusan karya seni kelompok Pita Maha akhirnya kembali ke tanah air pada 2023.
Sabila Duhita Drijono, anggota tim kurator koleksi Pita Maha dalam Pameran Repatriasi 2024, menjelaskan dari 132 karya seni yang dibuat oleh anggota asosiasi Pita Maha dan telah kembali ke tanah air, terdapat 84 items yang ditampilkan dalam Pameran Repatriasi 2024.
“Di pameran repatrasi ini ada karya yang diduga karya I Nyoman Ngendon, tapi masih belum terkonfirmasi (di datanya ditulis ‘attributed to’),” jelas Sabila ketika dihubungi Historia.ID melalui pesan whatsapp.
Selain itu, di Pameran Repatrasi 2024 ini pengunjung juga dapat melihat beragam lukisan dan patung hasil karya anggota Pita Maha lainnya, mulai dari karya Ida Bagus Nyana yang dikenal sebagai seniman besar dalam seni pahat atau patung, hingga pelukis terkenal lain seperti I Dewa Gede Tjukit, I Gusti Ketut Kobot, Ida Bagus Made Nadera, I Made Djata, Ida Bagus Made “Poleng”, dan Anak Agung Gede Raka Turas.
Baca juga:
Di Balik Repatriasi Benda Bersejarah Indonesia dari Belanda
“Untuk patung, karya yang paling banyak ditampilkan di pameran merupakan karya Ida Bagus Nyana. Sementara untuk lukisan, rata-rata dipilih dua karya untuk masing-masing seniman. Paling banyak karya I Dewa Gede Tjukit (4 karya) dan I Gusti Ketut Kobot (3 karya),” tambah Sabila.
Beragam karya seni dari para anggota Pita Maha dapat disaksikan dalam Pameran Repatriasi 2024 yang diselenggarakan di Museum Nasional Indonesia, Jakarta. Selain menampilkan berbagai koleksi Pita Maha, pameran ini juga memamerkan benda-benda cagar budaya lain hasil repatrasi dari masa awal kemerdekaan hingga tahun 2024, di antaranya Koleksi Pangeran Diponegoro, Koleksi eks Museum Nusantara Delft, Koleksi Ekspedisi Lombok, dan Koleksi Arca Singhasari. Pameran repatriasi berlangsung sejak 15 Oktober hingga 30 Desember 2024.*