Di Balik Repatriasi Benda Bersejarah Indonesia dari Belanda
Kesadaran generasi muda Belanda akan masa lalu bangsanya turut mendorong repatriasi. Ratusan benda bersejarah dikembalikan ke Indonesia.
REPATRIASI atau pengembalian ratusan benda bersejarah asal Indonesia yang dijarah Belanda pada zaman kolonial menarik perhatian publik. Penandatanganan serah terima telah dilakukan pada 10 Juli 2023 di Leiden, Belanda. Ini momen bersejarah karena upaya repatriasi telah dilakukan sejak lama.
Ketua Tim Repatriasi Koleksi Asal Indonesia I Gusti Agung Wesaka Puja mengatakan pembicaraan mengenai pemulangan artefak-artefak Indonesia sudah berlangsung sejak masa-masa awal kemerdekaan Indonesia.
“Saat Konferensi Meja Bundar berlangsung tahun 1949, pembahasan mengenai transfer benda-benda budaya telah dilakukan, tetapi tidak terealisasi karena hubungan Indonesia dan Belanda kala itu buruk sekali,” kata Puja dalam dialog sejarah bertajuk “Ada yang Mau Pulang” yang diselenggarakan Historia.ID.
Sejarawan Universitas Indonesia Bondan Kanumoyoso menyebut hubungan Indonesia dan Belanda pada masa-masa awal kemerdekaan menjadi tantangan dalam mewujudkan repatriasi benda-benda bersejarah Indonesia dari Belanda, sebagaimana yang gencar disuarakan oleh Mohammad Yamin di masa kepemimpinan Sukarno.
Di sisi lain, isu yang dinilai lebih krusial di masa awal kemerdekaan Indonesia, salah satunya pengambilalihan Papua dari Belanda. Sehingga fokus utama lebih diberikan kepada upaya-upaya penegakan kedaulatan Indonesia.
“Memang pada saat itu sudah ada perhatian untuk mengembalikan benda-benda yang diangkut oleh pemerintah kolonial ke negara induk, tetapi fokus utama pemerintah Indonesia lebih diarahkan kepada upaya-upaya untuk menegakan kedaulatan ekonomi dan mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Indonesia,” ujar Bondan.
Meski begitu upaya memulangkan artefak bersejarah Indonesia bukan berarti diabaikan begitu saja. Dimulai pada masa Sukarno, repatriasi benda-benda bersejarah Indonesia berlanjut pada masa pemerintahan Soeharto. Kini di era Joko Widodo repatriasi terealisasi dan semakin mendapat perhatian. Terlebih dalam beberapa tahun terakhir isu dekolonialisasi mendorong sejumlah mantan penjajah, seperti Prancis, Inggris, dan Belgia, mengembalikan benda-benda bersejarah ke negara-negara bekas koloni mereka.
Puja menyebut faktor yang menyebabkan repatriasi semakin mendapat perhatian Indonesia dan Belanda. Selain karena hubungan kedua negara semakin mencair setelah sempat membeku pasca kemerdekaan Indonesia, isu repatriasi kian marak diperbincangkan imbas meningkatnya kesadaran generasi muda Belanda terhadap dekolonialisasi dan masa lalu bangsanya.
“Muncul pertanyaan mengenai benda-benda hasil jarahan atau benda-benda yang secara ilegal dibawa ke Belanda dan dipamerkan di museum-museum,” kata Puja. “Mungkin dulu memamerkan benda-benda itu merupakan kebanggaan masa lalu, tapi di masa kini mereka justru malu mempertontokan benda-benda hasil jarahan di negaranya,” tambah mantan duta besar untuk Belanda itu.
Meski begitu repatriasi benda-benda bersejarah membutuhkan penelitian secara komprehensif untuk mengetahui asal-usul maupun keterkaitan sejarah serta aspek kultural dari berbagai artefak tersebut. Proses pemilihan benda-benda bersejarah yang akan dipulangkan juga telah dikaji mendalam sejak lama.
“Jika dirunut dari delapan klaster objek yang diajukan oleh pemerintah Indonesia pada Juli 2022 lalu, beberapa objek itu sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Ada beberapa benda yang sejak Komite 1975 telah menjadi bagian dari repatriasi tetapi tidak semua kembali,” kata Puja. “Atas dasar itu, benda-benda yang masih pending sejak tahun 1975 itu kita bawa lagi ke tahun 2022 untuk dimasukkan ke dalam list dengan tambahan beberapa yang baru.”
Oleh karena itu, pengajuan benda-benda bersejarah sebagai bagian dari repatriasi pun harus melalui proses panjang. Dengan demikian, proses repatriasi merupakan program berkesinambungan di masa akan datang.
Sementara itu, menurut Bondan, proses repatriasi tak sekadar memulangkan benda-benda bersejarah Indonesia dari negara luar, tetapi juga menjadi kesempatan bagi Indonesia dan Belanda untuk bertukar informasi terkait pengetahuan artefak-artefak tersebut. “Salah satu dampak yang dapat dirasakan dari proses repatriasi ini adalah terciptanya dialog antara para ilmuwan di Belanda dengan ahli-ahli maupun praktisi budaya yang ada di berbagai wilayah Indonesia,” kata Bondan.
Dengan demikian, repatriasi dapat dipandang sebagai proses lanjutan dari sebuah bangsa yang sebelumnya terikat dalam jalinan sejarah kolonialisme. Negara jajahan dan negara penjajah kemudian secara perlahan membentuk hubungan baru sebagai bangsa yang setara untuk bekerja sama dan saling memahami. Berdasarkan hal itu, repatriasi menjadi penting karena melalui kerja sama produksi pengetahuan dan riset benda-benda bersejarah dapat terus dikembangkan.
“Makna dari repatriasi bukan sekadar pengembalian barang tetapi ini menjadi bagian dari suatu proses bagi bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia, untuk menata hubungan kembali dalam konteks yang lebih konstruktif, tak hanya di bidang keilmuan tetapi juga dalam bidang kemanusiaan,” kata Bondan.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar