Walter Spies dan Renaisans Bali
Walter Spies punya kontribusi besar untuk kesenian Bali. Kampanye homofobia menjadi awal kejatuhannya.
Walter Spies sedang frustasi. Hubungan yang telah dia jalin selama beberapa tahun dengan Friedrich Murnau, sutradara film kenamaan asal Jerman, memburuk. Spies, pelukis berkebangsaan Jerman yang lahir di Moskow, Rusia, pada 1895, bertemu Murnau pada 1919 ketika dia berusia 24 tahun. Saat itu dia baru memulai karier sebagai pelukis dan mengadakan pameran perdana. Murnau kemudian menyediakan studio untuk Spies melukis, juga mempercayakan kerja artistik film-filmnya.
Hubungan mereka retak. Spies akhirnya memutuskan bahwa, ”nyaris tak mungkin bagi dirinya untuk merasa nyaman di Eropa,” sebagaimana dikisahkan Robert F. Aldrich dalam Colonialism and Homosexuality.
Pada 1923, Spies bertolak meninggalkan Eropa dan berlabuh di Hindia Belanda, tempat yang dulu kerap dia kunjungi bersama Murnau. Selama sekira dua tahun dia menetap di Pulau Jawa, dia menjadi teman baik Sultan Djojodipuro, putra mahkota Kesultanan Yogya, dan bahkan tinggal di keraton. Dia memimpin orkes Keraton Yogya dan sesekali menjadi pemain piano pengiring di acara pagelaran musik. Dia juga mempelajari gamelan dan menciptakan notasi khusus yang memungkinkan musik gamelan dimainkan pada piano, dan sebaliknya. Pada 1925 Spies mengunjungi Bali dan kemudian jatuh cinta pada alam dan orang-orang di sana. Dia pun menetap di Bali.
Baca juga: Bali Surga bagi Keberagaman Seksualitas
Sejak 1920-an, Bali seolah surga bagi kaum homoseksual kaya-raya dari Eropa. Mark Blasius dalam Sexual Identities, Queer Politics menulis, keindahan alam dan banyaknya pemuda Bali yang terkenal tampan menjadi salah satu alasannya.
Bali juga memberi lingkungan ideal bagi orang-orang kreatif seperti Spies, juga temannya, pelukis asal Belanda, Rudolf Bonnet. Tulis Aldrich: "Laki-laki seperti Spies dan Bonnet dapat melukis, mengambil foto, dan mengarang di luar kungkungan (alam pikiran) Eropa yang saat itu sedang diliputi depresi dan fasisme."
Rumah Spies di Ubud kerap kedatangan seniman dan intelektual Eropa. Antropolog Margaret Mead (asal Amerika), pelukis Miguel Covarrubias (Meksiko), aktor Charlie Chaplin (Amerika), hingga seksolog Magnus Hirschfeld (Jerman) pernah menjadi tamunya.
Spies mengembangkan kesenian Bali. Bersama Beryl de Zoete, Spies menulis Dance & Drama in Bali, salah satu catatan paling awal tentang tari dan drama di luar budaya Barat. Dia juga terlibat dalam pembuatan film The Island of Demons bersama Baron Viktor van Plessen. Spies mendanai pembuatan film itu dari uang warisan pemberian Friederich Murnau yang meninggal pada 1931. Film itu punya pengaruh besar pada persepsi dunia tentang Bali.
Keberadaan Spies mendapat dukungan dari Raja Bali Tjokorda Gde Agung Sukawati. Tjokorda pula yang menjemput Spies di pelabuhan dan memberikan rumah di Bali agar bisa mengajarkan anak-anak Ubud melukis. Terjadilah kontak budaya antara pelukis Bali yang memiliki teknik tradisional tinggi dan pelukis Barat. Peneliti Jepang Miyuki Soejima dalam Walter Spies and Weimar Culture and The Sultan′s Kapellmeister menulis, "Kepandaiannya yang menakjubkan da hubungannya dengan kebudayaan Jawa dan Bali menggambarkan suatu pertemuan budaya Barat dan Timur yang paling berhasil."
Pada 1936 Spies mendirikan kelompok seniman Pita Maha bersama Rudolf Bonnet, Gusti Nyoman Lempad, dan Tjokorda Gde Agung Sukawati. Kelompok ini mencoba melestarikan seni rupa Bali yang mulai berubah menjadi seni pesanan demi memenuhi permintaan turis. Pita Maha membuka cakrawala bagi para pelukis Bali dalam hal tema, pewarnaan, hingga perspektif dan permainan cahaya.
Namun kontribusi Spies membangun kesenian Bali tak berlangsung lama. Antara Desember 1938–Mei 1939 polisi di seluruh Hindia Belanda menggelar operasi besar-besaran terhadap lebih dari 200 pria, kebanyakan warga Eropa, yang dicurigai bersalah berhubungan seks dengan anak laki-laki di bawah umur (di bawah usia 21 tahun). Perbuatan itu bisa dikenai hukuman pidana sesuai ketentuan pasal 292 Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP), yang berlaku sejak 1918. Artinya, aturan itu tak menekankan pada perilaku homoseksual tapi perilaku seksual yang dilakukan dengan anak di bawah umur.
Dalam Polisi Zaman Hindia Belanda, Marieke Bloembergen menulis bahwa sebelum tahun 1938, ketentuan KUHP itu jarang digunakan. Polisi lebih mengarahkan targetnya pada prostitusi yang berkelindan dengan perdagangan perempuan dewasa dan anak. Polisi nyaris tak memberi perhatian pada pelanggaran yang bernuansa homoseksual. Namun kemudian sangat jelas bahwa sasaran kepolisian umumnya adalah para homoseksual. Spies salah satunya.
Baca juga: Memberangus Keberagaman Seksualitas
Residen Bali H.J.E Moll, sebagaimana dikutip Bloembergen, kesal mencermati gaya hidup mereka yang bergaul erat dengan masyarakat bumiputera serta "gaya hidup mereka yang begitu sensual tanpa batas". Namun, ketika kampanye homofobia dilancarkan di Bali, residen tak bisa berbuat apa-apa karena mendapat perlawanan dari masyarakat setempat yang menyulitkan penyidikan polisi. Menurut residen, orang-orang Eropa bersembunyi karena takut diasingkan sebagai paria, sebaliknya masyarakat Bali berdiam diri karena merasa terikat pada kewajiban sosial.
Pada akhirnya Walter Spies ditangkap pada 31 Desember 1938.
Hubungan sesama laki-laki di Bali saat itu tak dianggap sesuatu yang di luar kewajaran. Menyitir antropolog Amerika Jane Belo, Frances Gouda dalam Dutch Cultures Overseas menulis bahwa dalam adat tradisional Bali, Spies tak melanggar aturan, karena "yang disebut salah mekoerenan (salah kawin) adalah apabila laki-laki berhubungan dengan binatang, dengan gadis muda di bawah umur, atau dengan perempuan berkasta lebih tinggi."
Sebab itulah apa yang dilakukan Spies dianggap wajar-wajar saja. Ini berbeda dengan tabu-tabu seksualitas yang berlaku di Barat. Ini juga tergambar dalam karya Hans Rhodius dan John Darling, Walter Spies and Balinese Art sebagaimana dikutip George W. Stocking dalam Malinowski, Rivers, Benedict and Others: Essays on Culture and Personality. Dalam persidangan Spies, ketika pengacara menanyakan kepada ayah kekasihnya apakah dia marah atas apa yang telah diperbuat Spies (kepada putranya), dia menjawab: "Kenapa? Dia toh sahabat baik keluarga kami, dan adalah sebuah kehormatan bagi anak saya untuk bisa menemaninya. Kalau keduanya suka sama suka, kenapa harus diributkan?"
Baca juga: Razia Homoseksual Zaman Kolonial
Dan meski berbagai argumen diajukan, Spies tetap dijatuhi hukuman. Dia dipenjara hingga 1 September 1939. Teman-teman Bali-nya menggelar pertunjukan gamelan di dekat penjara. Sejumlah pejabat yang bersimpati padanya mengunjungi dan mengizinkannya melukis dan bermain musik. Di penjara Surabaya dia menghasilkan karya terbaiknya, "The Landscape and Its Children". Setelah delapan bulan dia dibebaskan.
Spies sempat beberapa bulan menikmati udara bebas. Memasuki Perang Dunia II, Jerman menginvasi beberapa negara Eropa, termasuk Belanda. Sebagai balasannya, pemerintah Hindia Belanda menangkapi warga Jerman. Selama 20 bulan Spies tinggal di kamp interniran di Jawa dan Sumatra, sebelum dikirim dengan kapal Van Imhoff ke Belanda menuju Ceylon (Srilanka) pada awal 1942. Di tengah perjalanan, di dekat Nias, kapal itu dibombardir sebuah pesawat tempur Jepang. Bersama penumpang lainnya, Spies meninggal pada 19 Januari 1942.
Walter Spies, seorang ahli musik, tari, dan pelukis hebat, memberikan warna bagi perkembangan seni di Bali dan memperkenalkannya pada dunia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar