Masuk Daftar
My Getplus

Hitler Seniman Medioker

Mengadu nasib ke kota besar berbekal bakat melukis, Hitler justru hidup terlunta-lunta.

Oleh: Randy Wirayudha | 05 Feb 2020
Adolf Hitler kala mengunjungi pembukaan Haus der Deutschen Kunst atau Wisma Seni Jerman di Munich pada Juli 1937 (Foto: Bundesarchiv/Repro "LIFE, 30 Oktober 1939")

DENGAN ekspresi pilu, Adolf Hitler terduduk di tumpukan tulang-belulang. Di belakangnya, gejolak perang tampak mulai tak berhenti memakan korban rakyat.

Begitulah penggambaran sebuah lukisan yang mendeskripsikan Hitler sebagai Kain dalam kisah ternama di Alkitab Perjanjian Lama. Lukisan itu seolah ingin menegaskan Hitler sebagai Kain yang membunuh Habel sebagai representasi rakyatnya sendiri.

Kain dan Habel adalah dua anak pertama Adam dan Hawa yang saling bunuh. Kain yang membunuh Habel, dihukum menjadi pengembara sepanjang hayat. Dalam hal ini, Hitler diibaratkan seperti Kain yang bertualang sebagai penjahat perang.

Advertising
Advertising

Salah satu mahakarya yang dibuat pada 1944 itu dipamerkan secara permanen di Deutsches Historisches Museum, Berlin per Selasa (4/2/2020). Lukisan itu didapatkan dari keluarga sang seniman yang 75 tahun menyimpannya. Grosz merupakan seniman eksil asal Jerman yang mencari suaka ke Amerika Serikat pada 1930 dan acap menciptakan karya bertema politis.

“Bagi saya, penting untuk generasi muda saat ini punya akses terhadap lukisan dan pandangan kritis yang dimiliki sang seniman terhadap Naziisme,” ujar Sekjen Yayasan Kebudayaan Federal Jerman, Markus Hilgert, dikutip AP News, 4 Februari 2020.

Grosz tentu hanya satu dari sekian seniman yang pernah menggambarkan sosok Hitler. Terlepas dari itu, Hitler sendiri mulanya juga perupa di atas kanvas. Sejak kecil ia punya ambisi akan seni.

Baca juga: Akhir Hidup Si Pemeran Hitler

Lukisan "Hitler in Hell" karya George Grosz yang mulai dipamerkan di Museum Sejarah Jerman secara permanen (Foto: Twitter @DHMBerlin)

Seniman Medioker

“Seni akan selalu menjadi ekpresi dan cerminan dari ekspektasi dan kenyataan dari sebuah era,” kata Hitler dalam pidatonya di depan Reichstag (gedung parlemen) pada 23 Maret 1933, dikutip Mary M. Lane dalam Hitler’s Last Hostages: Looted Art and the Soul of the Third Reich.

Ungkapan itu menggambarkan bagaimana ia akan mengubah wajah Jerman. Salah satunya lewat seni, hal paling didamba Hitler sejak kecil.

Baca juga: Cricket Ala Hitler

Di masa kecil, Hitler merupakan bocah periang, penuh percaya diri, ramah, dan bertanggungjawab. Namun, semua kebaikan itu sirna selepas adik yang disayanginya, Edmund, meninggal karena campak pada 1900. Hitler berubah menjadi bocah pemalu, pemalas, dan sering sakit-sakitan. Ia susah diatur, baik oleh gurunya di Realschule (setara SMP) di Linz, Austria maupun oleh ayahnya, Alois Hitler. Kemalasannya makin parah selepas ayahnya berpulang tiga tahun berselang.

“Hitler tak pernah berprestasi dalalm pelajarannya di sekolah. Satu-satunya kepandaiannya hanya menggambar. Sedangkan kesenangannya adalah membaca,” ungkap Agustinus Pambudi dalam Kematian Adolf Hitler.

Kolase transformasi Adolf Hitler sejak bayi hingga masa muda yang terlibat Perang Dunia I (Foto: Bundesarchiv)

Dari membaca –terutama buku-buku tentang perang dan mitos-mitos Jerman– itu pula Hitler makin menikmati hobi seni rupa-nya. Hitler sering tenggelam dalam imajinasinya sendiri kala membaca buku tentang arsitektur-arsitektur bersejarah. Itu pula yang mempengaruhi gayanya dalam berkarya di atas kanvas ketika merantau ke Wina kurun 1907-1913.

Baca juga: Utusan Seni Merangkap Telik Sandi

Dengan kuas, cat, dan kanvasnya Hitler senantiasa dipengaruhi karya bergaya romantisme akhir-nya Arnöld Bocklin, gaya monumental neo baroque-nya Hans Makart, lanskap arsitektural-nya Afold Loos, neo klasik-nya Karl Friedrich Schinkel dan Gottgried Semper, dan genre art-nya Eduard von Grützner.

“Saat masih muda di Wina saya pernah lihat (karya) Grützner di jendela galeri seni. Saking girangnya saya sampai-sampai tak bisa berhenti melihatnya. Saya masuk dan menanyakan harganya. Oh Tuhan, harganya di luar jangkauan saya. Saya membayangkan ketika sukses akan mampu membeli setidaknya satu (karya) Grützner,” kata Heinrich Hoffmann, fotografer Kekaisaran Jerman yang kemudian jadi fotografer pribadi Hitler, pada sebuah percakapannya dengan Hitler yang ia tuliskan di otobiografinya, Hitler Was My Friend.

“Lukisan yang dimaksud adalah lukisan Grutzner bergambar seorang biarawan tua (berjudul Mönch auf dem Weg zur Britzeit, red.). Dua puluh lima tahun kemudian, Hitler memiliki koleksi sekitar 30 mahakarya Grützner,” lanjutnya.

Pelukis Theodor Ritter von Grützner idola Adolf Hitler dalam seni rupa (Foto: Die Gartenlaube)

Pada 1907, Hitler muda dengan percaya diri berupaya masuk Akademie der bildenden Künste Wien (AKW) atau Akademi Seni Wina. Dalam manifesto otobiografinya, Mein Kampf, ia yakin bahwa ujian masuknya hanya sekadar formalitas baginya. Nyatanya, Hitler kemudian bak tersambar petir kala namanya tak masuk dalam daftar pengumuman kelulusan ujian masuk itu.

“Ketika saya tanya rektor, alasan saya tak lulus masuk sekolah seni rupa di akademi itu, saya diberitahu bahwa hasil karya saya dalam ujian itu bukanlah sebuah hasil karya seni rupa dan bahwa bakat saya mungkin lebih pas untuk sekolah arsitektur,” tulisnya.

Baca juga: Ketika Mimpi Hitler Tak Terwujud

Hitler mencoba tegar. Setahun kemudian, dia kembali mengikuti ujian masuk akademi itu. Lagi-lagi ia gagal dengan alasan serupa.

Lantaran lukisan-lukisannya kering pembeli, ia harus hidup pas-pasan di Wina. Uang warisan ayah-ibunya mulai menipis gegara sering dihabiskannya untuk menonton opera dan orkestra Wagner. Hitler hidup terlunta-lunta dan bergantung pada makanan seadanya yang disediakan di sebuah rumah singgah tunawisma Meidling.

Empat dari ratusan karya Adolf Hitler di atas kanvas semasa muda

Di tempat itulah ia bertemu Reinhold Hanisch. “Dia (Hanisch) menyarankan melukis di media kartu pos yang nantinya akan dijajakan Hanisch di bar-bar. Hanisch menjanjikan pembagian adil, 50-50, dari hasil penjualan. Modal 50 kronen Hitler pinjam dari bibinya, Hanni, untuk beli peralatan lukis lagi setelah yang lama ia jual,” ungkap Volker Ullrich dalam Hitler: Ascent 1889-1939.

Kemitraan Hitler-Hanisch itu berjalan mulus. Banyak yang menyukai gambar-gambar lanskap dan arsitektur karya Hitler dalam kartu pos. Terlebih, kartu pos lazimnya laris di musim dingin. Baru sebulan berjalan, mereka sudah bisa menyewa apartemen sederhana di Meldemannstrasse 27.

Baca juga: Rekayasa Hoax Mengelabui Hitler

Namun Hitler kemudian ditipu hingga melaporkan Hanisch ke Kantor Polisi Brigittenau. Hanisch lantas dipenjara, sementara Hitler mulai menjual karya-karyanya dalam bentuk kartu pos sendiri, selain tetap menjajakan lukisannya. Salah satunya ke toko frame milik seorang Yahudi, Samuel Morgernstern. Hitler menitipkan lukisannya untuk dijualkan di toko dan hasilnya dibagi dua.

Hingga pindah ke Munich pada 1913, Hitler menggantungkan penghasilan dari penjualan lukisan di toko Morgernstern. Ironisnya, ketika Hitler berkuasa, Morgernstern dan istrinya dijebloskan Gestapo ke kamp konsentrasi Auschwitz hingga tutup usia.

Adolf Hitler (pertama dari kanan pada baris kedua) saat bertugas di Perang Dunia I sebagai tentara Bavaria (Foto: Bundesarchiv)

Di Munich, Hitler tetap berkarya sebagai seniman medioker hingga Perang Dunia I pecah tak lama kemudian. Hitler enggan kembali dan masuk wajib militer di negeri asalnya, Austria-Hungaria. Ia memilih masuk militer Bavaria dan ditempatkan di Kompi ke-1 dari Resimen Cadangan Bavaria ke-16.

Kecintaannya pada seni tetap terjaga. Buku gambar dan kuas cat tetap dibawanya ke manapun Hitler ditugaskan. Saat teman-temannya ngobrol tentang wanita dan seks, Hitler memilih “bercengkerama” dengan kertas gambar dan kuas catnya.

Baca juga: Halt Order dari Hitler Mencegah Sekutu Musnah di Dunkirk

Karya-karyanya kebanyakan tentang apa yang dia lihat sepanjang perjalanan maupun lingkungan dekat tempat dia ditugaskan, seperti tentang rumah-rumah peternakan dan pertanian. Beberapakali ia juga menggambar ilustrasi dan kartun untuk koran-koran militer kekaisaran.

Sialnya buku gambar –sebagai portofolio Hitler semasa perang– yang ia simpan di tas kulitnya, dicuri bersamaan dengan hilangnya anjing kesayangannya, Fuchsl. Kala itu pasukan tempatnya bertugas, Resimen List, tengah bergerak ke Alsace, Agustus 1917. Kesal, sedih, sakit hati, Kopral Muda Hitler lalu mengambil cuti 18 hari dan ke Berlin.

Kala sudah jadi penguasa Eropa, Hitler gemar mengoleksi karya-karya berharga curian dari negeri-negeri yang ia jajah (Foto: The Wiener Holocaust Library)

Setelah berkuasa pada 1933 dan menginvasi Polandia enam tahun berselang, Hitler mendapat protes dari Duta besar Inggris untuk Jerman Sir Nevile Henderson. Alih-alih menanggapi dengan pernyataan politis, Hitler justru menjawabnya dengan santai. “Saya ini seorang seniman dan bukan politisi. Setelah masalah Polandia selesai, saya berniat menghabiskan hidup saya sebagai seniman,” ujar Hitler yang dikenang Henderson dalam The British War Blue Book, 1939, yang merupakan himpunan dokumen dan catatan diplomat Inggris di Jerman.

Dalih itu tak ditepati Hitler. Bukannya menjadi seniman seperti yang ia katakan, Hitler justru jadi penguasa paling dibenci di Barat. Bukan hanya karena soal holocaust (genosida Yahudi), namun juga gegera pencurian karya-karya berharga dari negeri-negeri Eropa yang ia jajah. Pencurian itu dilakukannya untuk mengumpulkan koleksi karya itu di kompleks kebudayaan bikinannya, Führermuseum.

Baca juga: Anggar untuk Hitler

TAG

hitler nazi jerman seni rupa seni-rupa pelukis

ARTIKEL TERKAIT

Pangeran Bernhard, dari Partai Nazi hingga Panglima Belanda Kisah Putri Bangsawan India Jadi Mata-mata Inggris (Bagian II) Kisah Putri Bangsawan India Jadi Mata-mata Inggris (Bagian I) Momentum Bayer Leverkusen Yusman Sang Maestro Patung dari Pasaman Kanvas Kehidupan Fathi Ghaben Akhir Pelarian Teroris Kiri Cerita Tak Biasa Mata-mata Nazi Dua Kaki Andreas Brehme Nasib Tragis Sophie Scholl di Bawah Pisau Guillotine