Masuk Daftar
My Getplus

Anggar untuk Hitler

Lika-liku kehidupan atlet anggar berdarah Yahudi di tengah politik rasialis Nazi. Diakui terbaik sepanjang masa namun mati muda.

Oleh: Randy Wirayudha | 24 Feb 2018
Helene Julie Mayer/Foto: ushmm.org, Library of Congress.

HELENE Mayer hanya ingin terus eksis sebagai atlet anggar. Dia tak peduli negara mana yang diwakilinya. Bahkan ketika banyak orang mengatakan dia egois, oportunis, hingga pengkhianat, Helene tak acuh ketika harus beraksi di bawah panji Jerman-Nazi.

Toh, Helene tetap diakui sebagai atlet anggar wanita terbaik abad ke-20. Dia menyandang titel itu berdasarkan catatan Sports Illustrated tahun 2000. Majalah olahraga terkemuka Amerika Serikat (AS) dan dunia itu juga menyelipkan namanya sebagai satu di antara 100 atlet wanita terbaik abad ke-20. Helene juga dibadikan di Hall of Fame USA Fencing atau Organisasi Anggar AS.

Langganan Juara Sejak Remaja

Advertising
Advertising

Lahir di Offenbach am Main, pinggiran kota Frankfurt, Jerman pada 20 Desember 1910, Helene Julie Mayer merupakan satu dari tiga bersaudara anak Ann Bertha Becker dan Ludwig Karl Mayer. Ann penganut Lutheran (Kristen Protestan) sementara Karl seorang Yahudi. Namun, Helene memiliki fisik tak lazimnya orang Yahudi melainkan seperti ras Arya Jerman: berambut pirang dan bermata biru.

Helene sudah menggiati anggar di Offenbach Fencing Club sejak kecil. Bahkan ketika masih berusia 13 tahun, dia sudah memenangi Kejuaraan Anggar Nasional tahun 1924 di nomor foil (pedang floret) individu putri. Pun empat edisi berikutnya kejuaraan itu selalu dia menangi. Semyon Pinkhasov, sineas AS berdarah Rusia yang membuat dokumenter What if? The Helene Mayer Story, mengakui bahwa Helene punya bakat spektakuler.

Skill-nya ciamik dan pergerakannya lincah dengan ditopang postur tubuh yang mumpuni. “Ketika saya melihat rekaman video anggarnya, saya sampai tak percaya. Talentanya luar biasa, fenomenal. Sulit dipercaya betapa sensitif tangannya. Tekniknya spektakuler. Jika dia masih hidup dan sedang berusia 20-30 tahun, dia pasti akan memenangkan olimpiade,” cetus Pinkhasov, dikutip The Guardian, 28 Juli 2016.

Jangankan sekarang, di masa hidup pun Helene mampu memenangkan olimpiade, tepatnya di Olimpiade Amsterdam 1928. Dia menyumbang satu emas buat kontingen Jerman di cabang anggar nomor floret individu putri. Saat itu usianya baru 18 tahun. Helene juga merajai Kejuaraan Eropa tahun 1929 dan 1931.

Sayang, di Olimpiade Los Angeles (AS) 1932 dia gagal mendapat medali. Mentalnya Helene ambruk setelah dua kali ketiban duka. Ayahnya yang aktif di Organisasi Yahudi Jerman meninggal karena kanker pada 1931. Lantas dua jam sebelum bertanding di Olimpiade Los Angeles, pacarnya meninggal dalam pelatihan militer.

Dilema di Rezim Hitler

Perkembangan politik di Jerman yang didominasi ideologi Nazi nan anti-Yahudi membuat Helene tak bisa pulang. Dia terpaksa menetap sementara di Negeri Paman Sam sembari melanjutkan pendidikan di Scripps College, Claremont, California.

Namun, kariernya di anggar berjalan terus lantaran diterima baik di USC Fencing Club (Klub Anggar University of Southern California). “Dia sulit dikalahkan atlet anggar manapun di masanya. Delapan kali menjadi juara nasional AS (1934-1946),” tulis Janet Woolum dalam Outstanding Women Athletes: Who They Are and How They Influenced Sports in America.

Seiring kehidupannya di AS, Olimpiade 1936 berlangsung di tanah-airnya, Jerman (Olimpiade Berlin). Olimpiade yang acap disebut “Nazi Games” itu sarat kontroversi, yang paling menonjol adalah larangan keikutsertaan atlet Yahudi. (Baca: Etalase Nazi di Olimpiade-nya Hitler).

Sejumlah pihak pun memprotes larangan itu. Salah satunya datang dari petinggi Komite Olimpiade AS Avery Brundage. Peran Brundage lah yang lantas membuat pemerintahan Hitler melonggarkan larangan. Memanfaatkan sosok Helene yang lebih mirip ras Arya, Brundage melakukan negosiasi politik hingga menginsyafkan pemerintah Jerman demi citra dan propaganda Nazi dalam Olimpiade. Alhasil, Presiden Komite Olimpiade Nazi Hans von Tschammer und Osten pada 26 September 1935 mengundang dua atlet berdarah Yahudi: Greta Bergmann (atlet loncat tinggi) dan Helene untuk pulang dan mewakili Jerman jelang persiapan Olimpiade Berlin 1936.

“…Jika bersedia, saya harap Anda bersedia menetapkan diri Anda sebagai anggota seleksi tim Jerman yang akan menjalani serangkaian uji coba pada Musim Semi 1936,” bunyi petikan surat Von Tschammer, sebagaimana dikutip Milly Mogulof di biografi Foiled: Hitler’s Jewish Olympian, The Helene Mayer Story.

Meski hati kecil Helene ingin kembali mewakili negerinya di olimpiade, sejumlah organisasi Yahudi menyarankannya untuk menolak. Dilema itu akhirnya membawa Helene pada keputusan mengabaikan saran organisasi Yahudi sekaligus tak memedulikan beragam kecaman dari organisasi Yahudi Amerika dan Jerman.

Helene akhirnya pulang dan melepas kerinduan pada ibu dan kedua saudaranya: Eugene dan Ludwig, sekaligus mewakili Jerman di olimpiade. Sayang, di nomor floret individu putri yang jadi andalannya Helene dikalahkan Ilona Elek dari Hungaria di final.

Ketika penyerahan medali di podium, Helene melakukan salam Nazi sebagaimana para atlet Jerman non-Yahudi. Tindakannya itu mendatangkan kecaman lebih keras hingga menyebutnya pengkhianat. Tapi Helene tak memedulikannya.

Usai olimpiade, dia kembali ke AS demi menghindari rezim Nazi yang kian beringas pasca-olimpiade. Di AS, Helene memenangi Kejuaraan Anggar Dunia 1937 meski masih mewakili Jerman. Tahun 1940, Helene mendapatkan status kewarganegaraan AS. Dia kembali merajai kejuaraan anggar nasional periode 1937, 1938, 1939, 1941, 1942 dan 1946.

Usai Perang Dunia II, Helene kembali ke Jerman pada 1952. Dia lalu menerima pinangan kawan lamanya, Erwin Falkner von Sonnenburg. Tetapi pernikahan itu tak berjalan lama karena pada Oktober 1953 Helene meninggal dunia di Heidelberg akibat kanker payudara.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Bukan Belanda yang Kristenkan Sumatra Utara, Tetapi Jerman Antara Lenin dan Stalin (Bagian I) Situs Cagar Budaya di Banten Lama Pemusnah Frambusia yang Dikenal Dunia Perupa Pita Maha yang Karyanya Disukai Sukarno Musik Rock pada Masa Orde Lama dan Orde Baru Pasukan Kelima, Kombatan Batak dalam Pesindo Tertipu Paranormal Palsu Poorwo Soedarmo Sebelum Jadi “Bapak Gizi” Antiklimaks Belanda Usai Serbuan di Ibukota Republik