Masuk Daftar
My Getplus

Yusman Sang Maestro Patung dari Pasaman

Sosok langka maestro patung dari tanah Minang. Membuktikan diri di perantauan pantang ukur bayang-bayang sepanjang badan.

Oleh: Randy Wirayudha | 08 Mar 2024
Yusman, maestro patung asal tanah Minang yang kondang dengan karya-karya patung realisnya (Randy Wirayudha/Historia)

RAMAI dalam kesunyian. Nuansa itu begitu terasa ketika kaki mengayun selangkah demi selangkah memasuki Studio Patung Yusman di kawasan Bantul, Yogyakarta Selasa (5/3/2024) pagi itu. Serasa berada di alam para tokoh bangsa mengingat ramainya “kehadiran” para tokoh bangsa di berbagai sudutnya. Jenderal Sudirman, Jenderal Soeharto, Presiden Sukarno, Sultan Hasanuddin, hingga enam presiden Republik Indonesia semua hadir “membisu” dalam bentuk patung.

Kesunyian itu baru sedikit menguap saat sang tuan rumah Yusman keluar dari ruangannya tak lama kemudian. Sebelum mengajak parkir bokong di kursi panjang dekat enam patung presiden, ia menyempatkan diri berbincang singkat dengan dua pekerjanya.

“Ini adik kelas (semasa di ISI Yogyakarta, red.). Sepi karena kita juga sedang ada pameran di Monjali (Monumen Jogja Kembali),” ujar Yusman membuka perbincangan dengan Historia.

Advertising
Advertising

Baca juga: Monumen Serangan Umum 1 Maret yang Ternoda

Nama Yusman sebagai pematung nasional sudah mulai terdengar sejak pertengahan 1990-an. Jebolan Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) “ASRI” itu jadi penerus tongkat estafet para mentornya seperti Edhi Sunarso, Kasman K.S., dan Gregorius Sidharta sebagai maestro patung, monumen, dan relief sejarah.

“Orang Pusjarah (Pusat Sejarah TNI) bilang, miniatur sejarah ada di saya. Saya kira-kira ada 19 kali (karyanya) yang diresmikan presiden. Patung (gerilya jenderal) Sudirman di Bandara YIA (Yogyakarta International Airport) saya pamerkan di situ, permintaan danrem (komandan korem),” imbuhnya.

Yusman mendapatkan penghargaan rekor MURI 2010, 2014, & 2017 (Randy Wirayudha/Historia)

Sudah segudang karya seni rupa realis yang dihasilkan Yusman untuk sejumlah proyek pemerintah sejak mendirikan CV Rejeki Kreatif pada 1994. Buntutnya, aneka penghargaan pun ia terima, termasuk tiga rekor MURI (Museum Rekor Indonesia) pada 2010 atas rekor “Pembuat Relief Monumen Panglima Besar Soedirman Terpanjang”, pada 2014 atas rekor “Pemrakarsa dan Pembuat Patung Berkelompok Terbesar pada Monumen Pangsar Soedirman”, serta pada 2017 atas rekor “Pemrakarsa dan Penyelenggara Pameran Tunggal Patung Berkelompok Terbesar”.

Kendati mayoritas karya patungnya realis dan sangat akurat, Yusman acap bereksperimen dengan patung-patung simbolis. Itu bisa dilihat pada tujuh patung kepala harimau di pagar balkon lantai dua studio. Baginya, itu menjadi nostalgia reflektif. Terutama untuk mengenang masa-masa remajanya di SMP yang aktif dalam kegiatan pramuka.

“Dulu pelatih kita di pramuka itu tentara. Hasilnya berprestasi. Juara memasang taman, juara ini, juara itu kita kerja keras sampai saya demam. Makanya (patung kepala) harimau-harimau ini refleksi karena di pramuka di grup harimau sayalah ketuanya,” kenang Yusman.

Baca juga: Patung Yuri Gagarin dan Para Kosmonot Pahlawan Indonesia

Karya lainnya yang juga simbolis dan reflektif adalah patung berjudul “Kekasih”. Patung perunggu berukuran 60x196 cm itu jadi pengingat bahwa ia pernah dikecewakan seseorang yang sempat jadi tambatan hatinya.

“Patung ‘Kekasih’ itu refleksi dari kisah saya. Jadi saya datang ke Yogya cuman kuliah-kerja, lima tahun saya enggak kenal siapa-siapa di sini. Dulu kan janji kita kalau belum sarjana tidak akan ke rumah orangtuanya. Begitu saya selesai, pulang ke rumah orangtuanya, dia sudah punya anak satu. Berarti kan bukan jodoh. Saya hampir 30 tahun (kemudian) baru nikah,” kisahnya dengan suara datar.

Suasana Studio Patung Yusman di Kasihan, Bantul (Randy Wirayudha/Historia)

Ukur Bayang-Bayang Sepanjang Badan

Sosok seperti Yusman terbilang langka. Bukan menjadi pebisnis, politikus, cendekiawan, atau negarawan sebagaimana tokoh-tokoh kondang seperti Mohammad Hatta, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Agus Salim, Mohammad Yamin, Buya Hamka atau perantau Minang yang lain, Yusman berhasil tapi melalui bidang seni rupa. Padahal, di keluarganya tidak ada yang menggeluti kesenian.

Dalam semi-otobiografinya, Dari Pasaman ke Istana Presiden, tertulis Yusman lahir di Desa Sukamenanti, Kabupaten Pasaman Barat pada 12 November 1964. Ia anak kedelapan dari sembilan bersaudara. Umaknya, Hj. Salamah, hanya seorang ibu rumah tangga. Sementara ayahnya, H. Amenan, sekadar pegawai bergaji rendah di Dinas Perikanan Darat dan kemudian jadi petani di kebun sawit selepas pensiun.

Yusman sempat terdiam saat mengingat titik nol ia mulai mengenal seni rupa. Ia lantas terkenang semasa menginjak usia empat tahun hingga jenjang SD, ia sudah getol menggambar di pasir atau dinding rumahnya karena kakaknya, Asril.

“Kakak saya yang bisa menggambar. Saya ikutan di usia empat tahun sudah gambar. Dulu enggak ada kertas (gambar). Gambarnya di dinding pakai arang, kadang gambar di pasir. Paling banyak menggambar pemandangan, menggambar orang-orang (tentara) perang,” tuturnya.

Baca juga: Kanvas Kehidupan Fathi Ghaben, Maestro Seni Gaza

Kesukaan itu berlanjut ketika Yusman dan saudara-saudaranya pindah mengikuti ayahnya yang berpindah tempat tugas.

“Waktu usia tujuh tahun kita pindah ke Rao, Pasaman Timur. Kita tinggalnya ikut induk semang (atasan ayahnya). Saya masih gambar tapi dilarang ayah karena khawatir dimarahi bos ayah saya, Pak Syaifuddin. Saya bersihkan pakai sabut kelapa yang dibasahi tapi malah tambah hitam dindingnya. Ya mau bagaimana lagi? Namanya anak kecil. Tapi dia (Pak Syaifuddin) enggak marah, hanya senyum-senyum saja,” lanjutnya.

Yusman (kanan) dan kedua orangtuanya, H. Menan & Hj. Salamah (Repro Dari Pasaman ke Istana Presiden)

Banyak karya tokoh sejarah yang dihasilkan Yusman karena ajaran kakaknya, yang gemar menggambar adegan peperangan. Dari situ mulai tumbuh antusiasme Yusman pada cerita-cerita sejarah dari gurunya di sekolah yang kemudian jadi inspirasinya untuk menggambar. Saat sudah mulai terampil, tak jarang Yusman dimintai gurunya untuk menggambar tokoh-tokohnya di papan tulis.

“Begitu dia (guru) menceritakan kisah Diponegoro, Imam Bonjol, Cut Nyak Dhien, pengkhianat itu ternyata bukan dari Belanda, (tapi) orang kita paling banyak. Dari situ saya menangis tapi malu. Saya jadi senang sejarah karena (cerita) pengkhianat itu saya enggak suka. Ternyata kita banyak pengkhianat tapi, kenapa?” tambah Yusman mempertanyakan.

Baca juga: Lukisan Kehidupan Soenarto Pr

Kehidupan ekonomi yang pas-pasan membuat Yusman mesti putar otak untuk bisa terus sekolah yang SPP-nya sebesar Rp50. Alhasil Yusman merelakan diri menyambinya berjualan es yang ia banderol Rp5. Ia tak malu melakukan apapun dari kelas III SD sampai lulus SMP asalkan halal.

“Sejak saat itu saya tidak minta uang lagi untuk SPP karena kadang sehari saja saya bawa termos es sudah bisa dapat Rp50-Rp100 kalau laku semua. Awalnya memang saya agak malu tapi dinasihati bapaknya teman saya, ‘enggak usah malu, Yusman. Ini kan halal kecuali kamu maling.’ Itulah yang bikin mental saya naik,” sambungnya.

Di SMP, Yusman makin aktif dengan beragam kegiatan ekstrakurikuler olahraga, mulai dari voli, tenis meja, hingga bulutangkis. Prestasinya skala kabupaten. Akan tetapi naluri seni Yusman belumlah luntur hingga kemudian ia melanjutkan Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Padang (kini SMK 4 Padang).

Yusman berkisah masa kecilnya (Randy Wirayudha/Historia)

Di SMSR Padang, ada lima jurusan yang bisa dimasukinya lewat tes: seni lukis, seni kriya, reklame, patung, dan dekorasi. Yusman, yang ingin masuk seni lukis, kecewa karena oleh gurunya dibuang ke (jurusan) dekorasi. Ia tak protes lantaran takut dikeluarkan. Suka-tak suka, ia terima saja empat tahun sekolah di jurusan dekorasi.

Setidaknya lewat jurusan dekorasi Yusman justru mendapat rezeki yang lumayan. Ia acap mendapat order-an membuat taman atau bahkan membuat papan salon dan pemberhentian bus. Pendapatan tertingginya pernah mencapai Rp9 ribu untuk lima hari pengerjaannya.

Selepas lulus SMSR Padang, Yusman masih bertekad menggeluti seni lukis. Yogyakarta jadi tujuannya karena terinspirasi pelukis legendaris, Affandi.

“Tahun 1982 kalau enggak salah Affandi (menggelar) pameran di Padang. Saya lihat coretan (lukisan) Affandi. ‘Masak coretannya kayak begini saja mahal?’, itu pikiran saya. Tapi dari situ saya putuskan, saya harus ke Yogya. Saya walaupun jadi kuli, walaupun hanya (kerja serabutan) bawa piring jadi pembantu, saya harus ke Yogya ke tempat Affandi. Itu tujuan pertama saya,” Yusman menegaskan.

Baca juga: Djoko Pekik dan Trilogi Celeng

Umaknya sempat tidak setuju. Sementara ayahnya pasrah karena toh keadaan ekonomi keluarganya sedang prihatin. Tetapi tekad Yusman merantau sudah bulat. Berbekal tabungan dan uang saku seadanya dari ayahnya, Yusman berangkat dengan bus menuju Yogyakarta bersama enam teman seangkatannya lulusan SMSR Padang. Cibiran para kerabatnya tak ia pedulikan.

“Saya sudah bertekad, harus keluar dari sini (tanah kelahiran) karena kalau tidak, saya hanya akan jadi kuli. Sementara ada guru, saudara-saudara yang bilang, ‘ukurlah bayang-bayang-bayang sepanjang badan.’ Artinya kalau kita melarat enggak usah (mimpi) tinggi-tinggi. Ada (saudara) yang begitu dan saya enggak suka karena malah mencoba melunturkan semangat,” paparnya.

Yusman di masa SMP hingga SMSR di Padang (Repro Dari Pasaman ke Istana Presiden)

Berdamai dengan Takdir di Seni Patung

Setelah berperjalanan empat hari dan empat malam, Yusman dkk. tiba di Yogyakarta medio Agustus 1985. Tujuannya mereka hanya masuk STSRI “ASRI” (kini Institut Seni Indonesia/ISI Yogyakarta). Mereka dirangkul dan dibimbing senior sesama anak Minang, Risman Marah.

Namun, Yusman tetap tidak “berjodoh” dengan seni lukis. Saat tes masuk, Yusman kembali tidak diterima di jurusan seni lukis. Ia justru diterima di jurusan seni patung yang jadi opsi kedua saat tesnya. Hatinya memberontak tapi ongkos sudah kadung kandas selama perjalanan dan sebulan di Yogyakarta.

“Akhir 1986 saya mulai belajar patung sama Pak Kasman. Beliau asistennya Pak Edhi Sunarso. Patung pertama saya sekarang di Museum Keprajuritan di Taman Mini (Indonesia Indah) itu ada lima, termasuk (patung) Untung Surapati dan Gadjah Mada. Lalu diorama DI/TII di Museum Satria Mandala,” sambung Yusman.

Baca juga: Karya-Karya Sang Perupa Sederhana

Saat pameran di perhelatan Dies Natalis STSRI “ASRI” 1990 dihelat, Yusman ikut serta. Karyanya yang ia pamerkan yakni patung “Kekasih”. Tak dinyana, ia memenangi penghargaan. Nama Yusman pun mulai dikenal.

“Dulu saya sempat dicibir orang karena saya dari (sekolah jurusan) dekorasi yang masuk ke (seni) patung. Saking sakit hati, saya niatkan akan mengalahkan mereka semua. Saya sampai tidur di kampus untuk mengalahkan realisnya (karya) mereka. Begitu pameran 1990, saya yang dapat karya terbaik. Patungnya yang judulnya ‘Kekasih’ itu,” katanya.

Patung "Kekasih" (tengah) di Studio Patung Yusman (Randy Wirayudha/Historia)

“Rupanya tekad itu penting. Kita tidak akan berubah kalau tidak mengubah diri sendiri. Ternyata rezeki saya di patung. Begitu patung ‘Kekasih’ dapat (penghargaan) karya terbaik, saya tetapkan inilah jurusan (jalan) saya. Siapa bilang patung itu haram?” lanjut Yusman.

Karya-karyanya makin realis. Bahkan skripsinya mengambil tema studi komparatif patung Jenderal Sudirman Bintaran dan Patung Jenderal Sudirman di Unsoed Purwokerto, di mana patung-patung itu karya para seniornya.

“Saya membahas anatomi dan kritiknya. Kalau tidak kritik itu, tidak diluluskan dosen saya. Kritik anatomi semuanya, termasuk wajah, kuda yang dipakai Pak Dirman, kuda peranakan mana? Itu menarik bagi saya dan walau yang bikin guru saya ya tidak apa-apa kritik untuk maju. Buktinya saya lulus, hahahaha…” cetus Yusman teriring tawa renyah.

Baca juga: Hamka dan Patung Nabi Muhammad

Salah satu gebrakan awal Yusman kala meniti kariernya di berbagai proyek adalah karyanya yang berupa Monumen Mandala di Makassar pada 1995 yang diresmikan Presiden Soeharto. Karya kolektif Yusman lainnya di antaranya relief di makam Bung Hatta yang diresmikan Wakil Presiden Hamzah Haz pada 2001; Monumen Seroja di Mabes TNI Cilangkap yang diresmikan Presiden Megawati Soekarno Putri pada 2002; Monumen Perjuangan Pangsar Sudirman di Pacitan, patung jenderal A.H. Nasution, dan Monumen Dwikora dan Trikora d Mabes TNI Cilangkap oleh Presiden SBY; hingga sejumlah patung Garuda Pancasila di beberapa pos lintas batas di Kalimantan dan Papua kurun 2017-2018 yang diresmikan Presiden Joko Widodo.

Namun terlepas dari semua karyanya, Yusman mengaku paling bangga karena dari takdirnya di seni patung ini justru bisa membawa kedua orangtuanya naik haji pada 2007. Kebanggaan yang sekaligus “membungkam” segala cibiran tentangnya selama ini yang ironisnya berasal dari lingkaran keluarga sendiri.

“Dulu pernah diejek, katanya enggak akan anak si anu itu menaikkan haji orangtuanya. Saya selalu bilang ke Umak, biarkan saja karena itu saudara-saudara juga, bukan orang jauh. Sampai waktunya, 2007 naik haji betulan. Begitu cara saya menghibur orangtua yang juga membuat saya bangga,” tandas Yusman.

Yusman dan patung enam Presiden RI (Randy Wirayudha/Historia)

TAG

patung pematung seni rupa seni-rupa monumen

ARTIKEL TERKAIT

Sukarno, Patung, dan Patung Sukarno Koleksi Pita Maha Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi Patung Kartini Pemberian Jepang Kisah Sang Pematung Jenderal Soedirman di Usia Senja Yuri Gagarin dan Para Kosmonot Pahlawan Indonesia Balada Patung Buruh Tani Pertama Monumen Sukarno Resmi Berdiri di Aljazair Kontestasi Narasi Historis di Balik Patung Edward Colston Makna Patung Bung Karno di Aljazair Memaknai Perobohan Patung