Masuk Daftar
My Getplus

Patung Kartini Pemberian Jepang

Seniman Jepang mengagumi Kartini. Membuat patungnya sebagai simbol persahabatan Indonesia-Jepang.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 21 Apr 2021
Patung Kartini karya seniman Jepang diresmikan pada 19 Agustus 1963. (Perpustakaan Nasional).

Patung Kartini di Monumen Nasional itu cukup unik. Ada aksara kanji di bagian dasar patung. Dulu orang sempat mengira tulisan di dasar patung itu huruf Tionghoa dan penghinaan terhadap Pahlawan Nasional. Tapi sesungguhnya, patung itu merupakan pemberian dan penghormatan pemerintah Jepang kepada Indonesia pada April 1963.

Pembuat patung itu adalah Prof. Kato Kensei dari Akademi Kesenian Jepang. Dia tertarik membuat patung itu karena kekagumannya pada perempuan Indonesia. “Tertarik akan wanita-wanita Indonesia yang tanpa meninggalkan unsur-unsur keindahan, unsur-unsur kepribadian, telah maju demikian pesat,” ungkap Djaja, 27 April 1963.

Kato pun berkunjung ke Indonesia pada 1961. Dia bertemu dengan Presiden Sukarno dan mengutarakan keinginannya membuat patung yang merepresentasikan perempuan Indonesia. Sukarno menerima baik keinginan Kato. Dari sinilah sosok Kartini diusulkan untuk model patung Kato. Dia pun segera mempelajari Kartini, lekas terpikat, dan setuju sosok Kartini menjadi model patungnya.

Advertising
Advertising

Baca juga: Kartini Martir, Bukan Pelakor!

Kemasyhuran Kartini telah melintas batas negara. “Semua pimpinan Gabungan Wanita Demokratis Sedunia mempunyai perhatian yang penuh, hingga menyetujui bahwa Kartini adalah sejajar dengan perintis-perintis besar dari negeri lain,” tulis Api Kartini, No. 4, April 1960.

Ketika Sukarno berkunjung ke Jepang, Kato menemuinya lagi untuk meminta pertimbangan bentuk patung tersebut. Dia mendapat gambaran lebih jelas tentang bentuk patung tersebut. Nantinya patung Kartini akan diapit oleh dua patung perempuan. Patung itu akan diletakkan di gedung Dewan Perancang Nasional (Depernas) di Jalan Diponegoro, Jakarta.

Kato menargetkan patung itu selesai pada April 1962. Tapi penyelesaiannya ternyata molor setahun. Peletakan batu pertama patung itu baru berlangsung pada 22 April 1963. Ini bertepatan dengan penyelenggaraan Konferensi Wartawan Asia Afrika (KWAA) di Jakarta. Delegasi-delegasi tersebut turut menghadiri peletakan patung Kartini dengan pakaian khas negaranya masing-masing.

Kato Kensei, seniman Jepang yang membuat patung Kartini untuk Indonesia. (Djaja, 24 Agustus 1963)

“Tampak hadir tokoh-tokoh wanita di ibu kota, Gubernur Soemarno, Wakil Gubernur Henk Ngantung, dan sejumlah peserta KWAA, antara lain dari RRT, Sri Lanka, Kamboja, Vietnam, Korea, Mali, Guinea, Nepal, Filipina, Afrika Barat, dan dari Jepang,” catat Djaja. Selain itu, ada pula tokoh perempuan nasional seperti Maria Ullfah Santoso dan Hurustiati Subandrio.

Dalam sambutannya, Gubernur Soemarno menguraikan kisah pembuatan patung Kartini. Semula patung itu justru akan diletakkan di Kebayoran, tapi kemudian diganti ke Taman Suropati yang tenang agar menggambarkan kepribadian perempuan Indonesia. “Ketenangan daripada sifat dan kebiasaan wanita di dalam mengendalikan kehendak-kehendak pria pada umumnya,” kata Soemarno.

Baca juga: Jalan Kartini Temukan Islam

Tapi pilihan tempat itu pun belum final. Pada akhirnya, pilihan jatuh ke taman gedung Depernas yang ramai. “Oleh karena tempat ini dianggap cocok dan lebih mencerminkan gerak dinamik dari revolusi. Itulah sebabnya maka patung-patung tersebut diletakkan di tengah kegiatan sehari-hari sehingga keseluruhannya akan menimblkan suatu kesan yang lebih tepat mengenai suasana sekarang,” tambah Soemarno.   

Pembangunan patung Kartini rampung seluruhnya pada Juli 1963. Kemudian peresmiannya dilakukan pada 19 Agustus 1963. Selubungnya dibuka setelah Gubernur Soemarno dan Katsushi Terazono, perwakilan pemerintah Jepang yang menyerahkan patung itu dari lembaga National Movement for Asian Good-Neighborhood kepada pemerintah Indonesia, menandatangani piagam serah terima.

Baca juga: Hurustiati Subandrio, Dokter yang Aktif dalam Gerakan Perempuan

Tampaklah jelas wujud tiga patung dari perunggu berwarna hitam. Patung Kartini setinggi dua meter dan menghadap ke arah Hotel Indonesia. Bentuknya seperti sedang berjalan dengan tangan kiri memegang dada dan tangan kanan membimbing. Dua patung lainnya menggambarkan ibu yang menyusui anak dan menari.

“Ibu Kartini sendiri bersikap dalam keadaan membimbing; dan dengan meletakkan tangan kiri ke dada seolah ditujukan kehadirat Tuhan agar sepak terjang wanita Indonesia selalu diridhoi oleh-Nya,” kata Hurustiati Subandrio mengomentari peresmian patung Kartini dalam Djaja, 24 Agustus 1963.

Hurustiati juga menyatakan penempatan patung di depan gedung Depernas sangat tepat. “Dapat diartikan bahwa terkandunglah harapan agar kaum wanita sungguh ikut serta dalam pembangunan,” tambah Hurustiati.

Peletakan batu pertama patung Kartini dilakukan oleh Hurustiati Subandrio dan Ibu Sudiro. (Djaja, 27 April 1963)

Terazono mengatakan pemberian patung Kartini bertujuan mempererat hubungan antara Jepang dengan bangsa-bangsa Asia lainnya. “Tanpa memandang perbedaan bangsa, bahasa, agama, cara hidup atau tingkat kemajuan ekonomi,” kata Terazono dalam Djaja.

Sementara itu, Gubernur Soemarno berpendapat patung Kartini menjadi bukti bangsa Indonesia mampu bergaul dengan bangsa lain secara damai. Dia juga menyampaikan pesan Presiden Sukarno: “Bangsa Indonesia dan Jepang sebaiknya ada hubungan yang erat sekali untuk kepentingan keduanya.”   

Baca juga: Benarkah R.A. Kartini Dipengaruhi Freemason?

Beberapa tahun setelahnya, makna tiga patung itu memudar. Ali Sadikin, Gubernur Jakarta 1966–1977, menuturkan dia pernah menemukan gelandangan tua, kelaparan, dan sakit di sekitar patung itu. Mulanya dia kira patung bertambah satu. Tapi setelah dia mendekatinya, ternyata ada gelandangan malang sedang tidur di antara patung itu.

“Heran juga saya, mengapa orang lain seperti tidak memperhatikannya,” kata Ali Sadikin dalam Bang Ali Demi Jakarta 1966–1977. Ali lekas menyuruh polisi membawa gelandangan tadi ke rumah sakit.

Sikap abai dalam merawat patung tersebut juga tampak dari hilangnya piagam serah terima patung tersebut. “Patung Kartini dari Jepang, data-data yang menyertai penyerahannya belum dapat kami temukan,” sebut tim Dinas Museum dan Sejarah dalam Sejarah Singkat Patung-Patung dan Monumen di Jakarta, terbitan 1992.

Baca juga: Anak Kartini Jenderal Kiri

Patung Kartini dan dua perempuan itu makin kehilangan makna ketika Sutiyoso memindahkannya ke Monas pada 2005. Sutiyoso beralasan patung itu ditempatkan secara asal-asalan. Tidak sesuai nama jalan. Bekas tempat patung Kartini itu diisi oleh patung Pangeran Diponegoro sumbangan Ciputra, pengusaha properti.

Pada 2017, muncul perdebatan di forum diskusi di Facebook tentang patung Kartini. Dikatakan patung itu menggunakan aksara Tionghoa sebagai bentuk pelecehan terhadap Pahlawan Nasional. Tapi melalui bukti sejarah, pendapat warganet dan Gubernur Sutiyoso terlihat tak berdasar sama sekali.

TAG

perempuan ra kartini patung jepang

ARTIKEL TERKAIT

Poorwo Soedarmo Sebelum Jadi “Bapak Gizi” Potret Pribumi Ainu di Balik Golden Kamuy Ketika Jepang Tertipu Mata-mata Palsu Keluarga Jerman di Balik Serangan Jepang ke Pearl Harbor Susu Indonesia Kembali ke Zaman Penjajahan Uprising Memotret Kemelut Budak yang Menolak Tunduk Ulah Mahasiswa Kedokteran yang Bikin Jepang Meradang Mahasiwa yang Menolak Militerisme Jadi Orang Sukses Tamatnya Armada Jepang di Filipina (Bagian II – Habis) Melihat Tentara Hindia dari Keluarga Jan Halkema-Paikem