TIDAK semua dari 472 benda bersejarah Indonesia yang akan direpatriasi dari Belanda tahun ini berstatus jarahan kolonial. Satu cluster repatriasi yang dimaksud adalah benda-benda seni koleksi Pita Maha asal Ubud, Bali.
Koleksi Pita Maha yang berjumlah 132 items itu jadi satu dari empat cluster artefak dengan total 472 benda yang masuk dalam daftar repatriasi dari Belanda. Peresmian penyerahannya sudah dihelat di Museum Volkenkunde, Leiden, Belanda pada 10 Juli 2023 antara Dirjen Kebudayaan RI Hilmar Farid yang mewakili pemerintah Indonesia dan Menteri Muda urusan Kebudayaan dan Media Gunay Uslu mewakili pemerintah Belanda. Tiga cluster lainnya adalah sebilah keris Klungkung, empat arca Singhasari, dan 335 harta jarahan Ekspedisi Lombok 1894.
Semua benda-benda itu, termasuk 132 koleksi Pita Maha, sudah melalui proses provenance research ( penelitian asal-usul) yang dilakukan bersama antara para pakar yang mewakili pemerintah Belanda dan Tim Repatriasi Koleksi Asal Indonesia di Belanda di bawah naungan Ditjen Kebudayaan, Kemendikbudristek RI. I Gusti Agung Wesaka Puja yang mengetuai tim repatriasi itu mengharapkan benda-benda tersebut sudah bisa dipulangkan menjelang HUT RI ke-78 tahun ini.
“Untuk empat cluster ini (472 benda) diharapkan awal-awal Agustus, mudah-mudahan sebelum 17 Agustus sudah sampai ke tanah air. Paling tidak ini jadi semacam kado HUT RI tahun 2023. Penyiapannya sudah dilakukan dan akhir bulan (Juli) akan ada tim yang berangkat ke Belanda lagi untuk memverifikasi, katalogisasi, dan menyaksikan proses pengepakan,” ujar Puja dalam program “Dialog Sejarah: Ada yang Mau Pulang” di kanal Youtube Historia.id, Jumat (28/7/2023).
Baca juga: Resmi! Belanda Serahkan 472 Benda Bersejarah ke Indonesia
Khusus 132 koleksi seni Pita Maha, lanjut Puja, statusnya berbeda dari tiga cluster lain. Menilik sejarahnya dan dikonfirmasi lewat provenance research-nya dari beragam arsip, koleksi Pita Maha bukan benda-benda rampasan masa kolonial melainkan koleksi pameran seni yang memang ditinggalkan selepas pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda pada 27 Desember 1949.
“Pita Maha kan koleksi yang sebenarnya agak lain statusnya karena bukan benda jarahan. Itu adalah benda yang ditinggalkan pada waktu dilakukan pameran yang statusnya pada waktu itu 1940-an itu adalah milik Negara Indonesia Timur (NIT), belum (milik) Republik Indonesia,” imbuhnya.
Benda-benda itu, lanjut duta besar RI untuk Belanda periode 2015-2020 itu, sempat dipamerkan ke sejumlah negara di Eropa medio 1946. Namun ketika terjadi perubahan situasi politik pasca-pengakuan kedaulatan 1949, NIT yang jadi bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS) dibubarkan.
“Jadi ketika selesai pameran di Brussels (Belgia), di Prancis, di Belanda, itu ditinggalkan karena statusnya pada waktu itu belum jelas mau dikembalikan ke mana karena itu masih dalam status pada waktu itu Negara Indonesia Timur. Nah ini kemudian pemerintah Belanda ingin mengembalikan juga benda-benda tersebut yang punya nilai seni yang luar biasa tingginya,” tukas Puja.
Baca juga: Repatriasi Bukan Sekadar Memulangkan Benda Bersejarah ke Tanah Air
Gerakan Pita Maha dari Ubud yang Mendunia
Pulau Dewata di era 1930-an jadi destinasi wisata favorit dagangan pemerintah kolonial. Usai serangkaian Perang Puputan dengan puncaknya Puputan Klungkung (1908), pemerintah kolonial menerapkan kebijakan Baliseering (Balinisasi) yang menggali eksotisme tradisi, kebudayaan, dan seni Bali. Salah satu efek terpentingnya, meningkatnya wisatawan mancanegara.
Tentu para turis “bule” yang membanjiri Bali tidak hanya ingin menikmati keindahan alam dan keelokan tradisi-budayanya. Mereka juga ingin pulang dengan banyak oleh-oleh berupa benda seni. Supply and demand pun terwujud. Alhasil makin banyak pula benda seni yang dihasilkan para seniman Bali.
Ekses dari makin masifnya benda seni itu diproduksi, makin menurun pula kualitasnya. Problem ini yang ingin diatasi perkumpulan Pita Maha sebagai suatu gerakan seni yang dipelopori Raja Ubud Tjokorda Gede Agung Soekawati, tokoh seniman I Gusti Njoman Lempad, serta dua seniman ekspatriat, Walter Spies asal Jerman berdarah Rusia dan Rudolf Bonnet asal Belanda pada 1936.
“Sebagai Raja Ubud, Tjokorda Gede Agung Sukawati ingin meningkatkan pula kondisi masyarakatnya di tengah masifnya wisatawan mancanegara. Ia punya visi mengembangkan seni di Ubud, agar seniman Barat juga bisa mempelajari seni Bali dengan harapan bisa dikenal dunia luar,” tulis Hermawan Kartajaya dalam Ubud: The Spirit of Bali.
Baca juga: Utusan Seni Merangkap Telik Sandi
Raja pertama kali mengenal Spies dan Bonnet dari kakaknya yang kelak jadi satu-satunya Presiden NIT, Tjokorda Gede Raka Soekawati. Ketika ia bertemu Spies di keraton Yogyakarta, ia mengundang Spies beranjangsana ke Puri Ubud.
“Saat itu Spies sedang mempelajari seni musik Jawa di Kraton Yogyakarta dan Tjokorda Gede Raka Soekawati tidak hanya mengundangnya ke Ubud tapi juga tinggal di tempat yang diberikan Tjokorda Gede Agung Soekawati. Kedatangannya turut jadi magnet bagi para seniman Barat lain dan pada 1936 untuk memajukan seni lukis di Ubud, Tjokorda Gede Agung Sukawati bersama Spies, Bonnet, dan I Gusti Njoman Lempad mendirikan perkumpulan Pita Maha,” sambung Hermawan.
Visi perkumpulan Pita Maha sebagai gerakan seni, ungkap Lesley Reader dan Lucy Ridout dalam The Rough Guide to Bali and Lombok, adalah melestarikan standar dan mutu tinggi benda-benda seni yang dihasilkan para seniman Bali, khususnya seni rupa Ubud. Mulanya Pita Maha banyak menggalang seniman lukis dan berangsur-angsur para seniman ukiran kayu yang tak hanya berasal dari Ubud.
“Enam tahun pasca-berdirinya, perkumpulan itu sudah menaungi 150 pelukis, pemahat, dan pematung asal Sanur, Nyuhkuning, Padang Tegal, dan Pengosekan. Mereka didorong untuk mengeksplorasi banyak tema dan subyek baru pada karyanya, sekaligus memberi ekspresi yang utuh dalam setiap interpretasi individu di dalam karyanya,” tulis Reader dan Ridout.
Baca juga: Panji Matahari Terbit di Bali
Tetapi akvititas Pita Maha vakum lantaran Perang Dunia II pecah dan dilanjutkan masa pendudukan Jepang mulai 1942. Spies yang memegang paspor Jerman dan dianggap musuh, diinternir Belanda. Ketika hendak diangkut ke Sri Lanka, kapal yang membawa Spies beserta 477 interniran Jerman lain malah terkena bom pesawat-pesawat Jepang di perairan Nias pada 19 Januari 1942. Spies ikut jadi korban tewasnya.
Kendati aktivitas perkumpulan Pita Maha masih terhenti, koleksi-koleksinya masih bertahan hingga lahirnya NIT pada 24 Desember 1946 dengan Tjokorda Gede Raka Soekawati sebagai presidennya. Menurut rangkuman laporan provenance research dari Comissie Koloniale Collecties, “Herkomstrapport bert. Collectie Balinese Kunst”, Bonnet dibantu Menteri Perekonomian NIT Gerard Koopman mulai mengkurasi sisa-sisa benda seni Pita Maha pada medio 1947 untuk tur pameran koleksi Pita Maha di Bali, Makassar, Belanda, dan Belgia.
Koleksi itu lantas dipamerkan dalam eksibisi “Bali-tetoonstelling” di Bali medio Desember 1947 dan di Makassar pada Januari 1948. Lalu kurun 1948-1950, dibawa ke Belanda untuk dipamerkan di Indisch Instituut di Amsterdam, Museum voor Land-en Volkenkunde di Rotterdam, Van Abbemuseum di Eindhoven, Rijksmuseum di Leiden, dan Koninklijke Instituut voor de Troepen (KIT) di Amsterdam.
“Lalu setelah NIT melebur ke dalam Republik Indonesia pada 1950, pertanyaan besar mengemuka pihak mana yang semestinya jadi pemilik koleksinya. Sesudah terjadi sebuah kesepakatan, koleksi itu menjadi milik Republik Indonesia tetapi tetap berada di Eropa. Duta besar RI Ida Anak Agung Gede Agung membawa koleksi itu ke tempat-tempat penugasannya di Belgia dan Prancis dan mengorganisir sebuah pameran lagi di Brussels (Belgia),” tulis laporan Comissie Koloniale Collecties tersebut.
Baca juga: Menyesapi Cerita-Cerita Tersembunyi di Pameran Revolusi!
Maka sejak 1951-1953, sebanyak 133 koleksi Pita Maha itu dipamerkan di sebuah ruang galeri di Kedutaan Besar RI di Brussels dan Paleis voor Schone Kunsten, Brussels; dan di Kedutaan Besar RI di Paris pada 1953-1955. Tetapi Ida Anak Agung Gede Agung turut membawanya ketika ia sudah melepas masa tugasnya pada 1955.
“Ia meninggalkan koleksi itu di KIT di Amsterdam. Pada 1965, benda-benda itu didaftarkan dalam koleksi Tropenmuseum, di mana sejak 2014 KIT menjadi bagian dari Nationaal Museum van Wereldculturen (NMVW),” lanjut laporan tersebut.
Benda-benda terdiri dari lebih 60 lukisan, sekira dua lusin patung kayu, masing-masing satu kotak kayu dan panel kayu, delapan mangkuk sajen, sebuah kapak upacara, enam pisau ritual adat, sebilah keris adat, hingga 15 jenis kain tenun. Tetapi ketika diregistrasi pada 1965, diketahui salah satu objeknya hilang, yakni sebuah patung kayu Hanoman. Sampai saat ini objek tersebut tak tentu rimbanya hingga hanya 132 objek yang didaftarkan untuk dipulangkan ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Baca juga: Keris dalam Lukisan Rembrandt