GEDUNG megah berarsitektur perpaduan Gothic dan Renaissance dari abad ke-18 itu ramai pengunjung. Terik matahari dan hembusan angin ibukota Belanda, Amssterdam, Jumat (13/5/2022) itu tetap tak mengurangi keramaian orang mengunjungi bangunan yang ditempati Rijksmuseum tersebut, tempat dihelatnya pameran “Revolusi!: Indonesia Independent”.
Pameran yang digelar dari 11 Februari-6 Juni 2022 itu buah kolaborasi riset selama empat tahun sebelumnya oleh empat kurator Indonesia dan Belanda: Bonnie Triyana, Harm Stevens, Amir Sidharta, dan Marion Anker. Sesuai tajuknya, pameran menampilkan aneka objek dan benda-benda seni yang berkaitan dengan revolusi fisik atau Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949.
Namun yang jadi pembeda dari pameran-pameran lain, benda-benda yang dipamerkan merupakan objek-objek paling personal dari sejumlah sosok yang terlibat dalam masa pergolakan itu. Untuk menjelaskannya, Bonnie dan Stevens memandu live tour ke 10 galerinya.
Baca juga: Kisah Revolusi Kemerdekaan Indonesia dalam Pameran
Sepuluh galeri dalam pameran terletak di Philipsvluegel (Sayap Philips) di sisi selatan bangunan museum terbesar di Negeri Tulip tersebut. Setelah menembus antrian pengunjung di pintu masuk utama, Stevens dan Bonnie tiba di ruang pamer pertamanya, Galeri Indonesia Merdeka.
Di galeri itu ditampilkan cetakan asli foto pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan RI oleh Bung Karno dan Bung Hatta di Pegangsaan Timur, Jakarta, 17 Agustus 1945 seukuran kartu pos karya Soemarto Frans Mendur. Foto-foto lain karya Frans Mendur tentang suasana masyarakat di hari proklamasi juga ditampilkan secara virtual lewat layar besar.
“Ya, ini cetakan foto ikonik dari tahun 1945 tentang Sukarno membacakan proklamasi. Itu momen big bang-nya revolusi Indonesia. Foto ini jadi koleksi jurnalis Belanda FJ Goedhart yang simpatik terhadap kemerdekaan Indonesia. Ia memiliki foto asli ini yang ia bawa dalam kopernya saat kembali ke Belanda pada 1946. Sangat penting memiliki foto asli ini di sini,” terang Stevens.
Baca juga: Goedhart, Tuan Baik Hati Antiagresi
Goedhart merupakan pemimpin redaksi harian Het Parool sekaligus anggota parlemen Belanda. Pada Juni 1946 ia berlayar ke Indonesia untuk pertamakali.
Ia kembali “turun gunung” melakoni reportase di Yogyakarta dengan nama pena ‘t Hoen. Tak seperti para jurnalis asing lain, Goedhart alias ‘t Hoen selama tiga bulan acap menulis dari perspektif perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI. Ia kemudian kembali lagi ke Indonesia pada 1947.
“Di galeri kedua memamerkan satu buku foto seorang kombatan muda (tentara) Siliwangi, Sutarso Nasrudin, dan dia dieksekusi mati dan sebelum dieksekusi, bukunya ditemukan di dalam sakunya dan disita tentara Belanda,” terang Bonnie.
Baca juga: Horor Warsawa dari Mata Lensa Pewarta
Agar lebih jelas, foto-foto dalam album tersebut juga ditampilkan lewat layar lebar. Tampak beragam foto rekan-rekan seperjuangan sang empunya. Dari sini publik bisa melihat lebih dekat wajah-wajah para kombatan republik.
Menariknya, foto-foto itu diambil dari semacam studio. Para kombatan muda dalam foto-foto itu bahkan sudah bisa berpose tak kalah apik dibanding anak muda zaman kiwari.
Baca juga: Menikmati Pameran “Para Sekutu Yang Tidak Bisa Berkata Tidak”
Beringsut ke Galeri Instalasi Seni, di sana terdapat perpaduan koleksi museum Belanda dan seni instalasi karya Timoteus Anggawan Kusno bertajuk “Luka dan Bisa Kubawa Berlari”. Karya anyar yang dibuat di tahun ini khusus untuk pameran “Revolusi!” ini mensimbolkan ratusan tahun kolonialisasi Belanda di bumi Nusantara.
“Seni instalasi ini tentang simbolisasi perlawanan di abad ke-19 sebelum mulainya revolusi. Dalam karyanya terdapat tumpukan bekas bingkai lukisan para gubernur jenderal (Hindia Belanda). Di atasnya beberapa bendera asli kelompok-kelompok perjuangan, salah satunya Bendera Barus. Lalu ada juga bendera dari kelompok Islam dan Tionghoa. Bendera-benderanya diambil tentara Belanda sebagai trofi. Kini Timoteus menempatkan karyanya agar bendera-bendera ini bisa bersuara,” sambung Stevens.
Setelah itu, ada Galeri Rapat Raksasa IKADA yang menampilkan footage maupun kamera asli yang digunakan untuk mengambil gambarnya. Kamera itu jadi satu di antara sejumlah benda dari Museum Penerangan Kementerian Komunikasi dan Informatika RI yang dipinjam untuk dipamerkan.
“Berikutnya Galeri (gubernur jenderal Joannes Benedictus) Van Heutz, salah satu simbol kolonial. Ini (foto) monumen Van Heutz, tidak jauh dari Masjid Cut Meutia, Cikini, didirikan 1930-an untuk mengenang jasanya atas penaklukan Hindia Belanda. Ketika masa Jepang, dalam foto ini, monumennya ditutupi papan kayu dan ketika 1960-an, monumen ini dihancurkan sama sekali,” lanjut Bonnie, menunjukkan gambaran foto yang ditampilkan dalam layar lebar.
Baca juga: Pameran Surat-Surat Pendiri Bangsa
Sedikit keluar ruangan dan setelah melewati jembatan penghubung, kita diajak memasuki Galeri Kekerasan. Dengan ukuran ruangan yang lebih besar, galeri ini menampilkan lebih banyak benda peninggalan dari masa awal revolusi fisik.
Di salah satu bidang temboknya ditampilkan sejumlah karikatur karya seniman Yunani-Australia, Anthony Raftopoulos alias Tony Rafty, yang dipinjam dari Pustaka Nasional Australia. Di saat belum banyak dokumentasi foto di masa itu, Rafty merekam banyak peristiwa dalam Pertempuran Surabaya (10-20 November 1945). Saat itu, Rafty membuat karyanya seiring tugasnya sebagai kuli tinta Melbourne Sun.
“Di saat pertarungan pecah, para koresponden memilih tinggal di Hotel Oranje (kini Hotel Majapahit), termasuk ilustrator dari Australia, Tony Rafty. Ia termasuk di antara tujuh jurnalis asing yang terperangkap di Hotel Oranje saat pertempuran berlangsung sengit. Banyak sekali ilustrasi yang dibuat Rafty tentang Surabaya yang dipajang di Sydney,” tulis Frank Palmos dalam Surabaya 1945, Tanah Sakral Tanahku.
Adapun di tengah-tengah ruangan itu, dipajang sebuah gaun yang bukan sembarang gaun. Gaun itu terbuat dari perpaduan kain sutera dan peta. Gaun itu milik eks-interniran Belanda di masa pendudukan Jepang, J. Terwen-de Loos.
“Objek ini dikenakan De Loos yang pernah masuk kamp interniran. Situasinya saat itu (antara 1945-1946) para eks-interniran tidak punya banyak baju tapi dia mampu menjahit gaun ini dari peta dan kain sutera pemberian seorang pilot Inggris. Setelah kembali ke rumahnya, ternyata seseorang menyimpan mesin jahitnya semasa dia di kamp. Lalu dia membuat gaun ini, di mana ada cerita tentang sulitnya situasi bagi orang yang mempunyai gaun ini,” jelas Stevens lagi.
Baca juga: Bayi Revolusi Berbaju Sampul Buku
Beralih ke Galeri Perang dan Diplomasi, ditampilkan pula beberapa benda dan objek para pelaku dan peristiwanya. Salah satunya kamera milik Ebenhaezer, seorang pejuang asal Tanah Karo dari pasukan Napindo Halilintar. Kamera itu milik serdadu Belanda yang tewas dalam Pertempuran Bukit Bertah (Mei 1949) lalu diambil Ebenhaezer untuk digunakan mengabadikan rekan-rekan seperjuangannya.
Adapun di Galeri Perang Informasi, terdapat sejumlah koleksi album foto wartawan republik, Rosihan Anwar. Di masa perang, album-album foto itu disita NEFIS (dinas intelijen militer Belanda) tanpa sepengetahuannya. Mendiang Rosihan baru insyaf akan koleksinya yang hilang itu saat hadir dalam peringatan ke-60 Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 2009.
Sementara, benda pamer seni paling banyak terdapat di Galeri Seniman dan Revolusi. Selain menampilkan aneka poster propaganda perjuangan RI, dipampang pula sejumlah lukisan karya maestro-maestro berpengaruh Indonesia di masa itu. antara lain, lukisan “Iboekoe” karya Trubus Soedarsono dan “Indonesian Freedom Fighters” karya Otto Djaja. Tak ketinggalan dua karya Basuki Abdoellah yang dibuat tahun 1949 di Belanda, yakni lukisan Ratu Juliana dan lukisan Bung Hatta.
“Lukisan Bung Hatta dibuat saat KMB. Dan satu lagi adalah lukisan yang paling glamor tentang Ratu Juliana. Dibuat pada Januari 1949, tak lama setelah Agresi Militer II. Jadi di sisi lain ada agresi, di lain pihak Basuki Abdullah diminta secara resmi oleh kerajaan untuk melukis karena dia belajar di akademi seni rupa di Den Haag. Lukisan yang berlatarbelakang unsur alam Jawa ini ia selesaikan 15 Januari 1949,” papar Stevens.
Selepas KMB, terjadi transisi kekuasaan di Indonesia dengan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh Belanda. Narasi itulah yang tertuang dalam ruang pamer berikutnya, Galeri Koleksi Foto Henri-Cartier Bresson.
Baca juga: Utusan Seni Merangkap Telik Sandi
Cartier-Bresson seorang jurnalis foto asal Prancis penikmat petualangan. Sejak 1930-an ia sudah berkelana dengan kameranya ke Afrika, India, China, hingga Indonesia. Koleksi foto-foto cetakan asli itu didampingi sebuah rekaman yang menggambarkan kembalinya Presiden Sukarno ke Jakarta dari Yogyakarta pasca-KMB.
“Itu tergambar salah satunya dari foto ini. Foto yang menampilkan sejumlah lukisan dari Risjwijk (kini Istana Merdeka) yang diangkat oleh beberapa orang untuk dibawa pulang ke Belanda, seolah-olah kolonialisme sudah selesai. Bingkai-bingkai lukisannya itu ada di instalasi seni Timoteus di galeri sebelumnya, di mana bingkai itu juga melambangkan kolonialisme yang sudah terkubur di bawah,” tandas Bonnie.
Terakhir, Galeri Movie Room. Galeri ini menampilkan cerita tentang 10 sosok dalam masa revolusi, baik cerita yang berhulu dari memori maupun memorabilia dari masing-masing keluarga mereka dalam tampilan video wawancara.
Rencananya, pameran serupa bakal dihelat di Museum Nasional, namun temponya belum ditentukan. Hingga saat tur dilakukan, tercatat sudah lebih dari 70 ribu pengunjung menikmatinya langsung. Kapan giliran kamu?
Baca juga: Kesaksian Putri Tentara KNIL