ISTANA Kepresidenan Jakarta dan Bogor menjadi sorotan setelah Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa dia merasakan bau-bau kolonial di kedua istana tersebut. Sebelum menjadi tempat tinggal resmi presiden Indonesia dan tempat berlangsung berbagai kegiatan kenegaraan, bangunan yang didirikan pada zaman kolonial Belanda itu telah lebih dulu dimanfaatkan sebagai kediaman gubernur jenderal.
Gedung Istana Negara, yang didirikan tahun 1796 mulanya digunakan sebagai rumah peristirahatan Jacob Andries van Braam, seorang pejabat yang dikenal dekat dengan Herman Willem Daendels (Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808–1811) dan pernah menjadi residen di Solo. Puluhan tahun berselang, bangunan tersebut dibeli pemerintah kolonial pada 1821 untuk dijadikan tempat kediaman gubernur jenderal ketika tengah melakukan perjalanan ke Batavia untuk menyelesaikan urusan bisnis, menghadiri audiensi maupun perayaan-perayaan penting.
Baca juga:
Dari Vila Buitenzorg ke Istana Bogor
Menurut sejarawan Adolf Heuken SJ dalam Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta, kala itu kediaman resmi gubernur jenderal adalah Istana Bogor. “Rumah van Braam atau Istana Rijswijk dipilih untuk kepala koloni, karena istana Daendels di Lapangan Banteng belum selesai. Setelah gedung itu diselesaikan, digunakan bagi kantor-kantor pemerintah saja,” tulis Heuken.
Sementara itu, A.J. van der Aa menulis dalam Nederlands Oost-Indië: of Beschrijving der Nederlandsche bezittingen in Oost-Indië Volumes 1-2, di masa lalu bangunan ini juga dikenal dengan nama Hotel van den Gouverneur-Generaal atau Hotel Gubernur Jenderal. Digambarkan bahwa bangunan yang menghadap ke utara itu terdiri dari dua lantai dan memiliki pekarangan yang luas. Di salah satu ruangan, pemerintah Hindia Belanda rutin mengadakan pertemuan setiap dua minggu sekali untuk berkonsultasi dan memutuskan kebijakan-kebijakan penting yang akan diterapkan di wilayah koloni. Sedangkan di ruangan lain, gubernur jenderal menerima siapa saja yang ingin menyampaikan kepentingannya kepadanya setiap hari Rabu.
Seiring berjalannya waktu, bangunan ini dirasa terlalu sempit untuk mengakomodasi berbagai kegiatan yang berlangsung di sana. Oleh karena itu, pada pertengahan abad ke-19 muncul gagasan untuk membangun istana baru di area yang berdekatan dengan kediaman gubernur jenderal. Diresmikan pada Januari 1879, Koningsplein Paleis atau kini dikenal sebagai Istana Merdeka kerap difungsikan sebagai tempat untuk berbagai upacara resmi yang dihadiri banyak orang.
Baca juga:
Cara Istana Menjamu Tamunya Kala Indonesia Masih “Balita”
“Sedikitnya dua puluh orang telah menggunakan istana ini: lima belas gubernur jenderal Belanda, tiga saiko syikikan atau panglima balatentara Jepang dan dua presiden Republik Indonesia. Tetapi, hanya empat di antara mereka yang benar-benar menggunakan gedung itu sebagai tempat kediaman mereka. Mereka adalah tiga saiko syikikan dan almarhum Presiden Sukarno,” tulis Heuken.
Setelah Indonesia merdeka, kedua istana itu menjadi saksi peristiwa bersejarah. Di Ruang Upacara atau Ruang Resepsi Istana Negara pernah berlangsung penandatangan Persetujuan Linggarjati pada November 1946. Hasil dari persetujuan itu salah satunya adalah mengakhiri pertempuran antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda untuk sementara waktu dan memungkinkan pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS).
Menurut Heuken, meski Istana Merdeka baru dibangun hampir satu abad setelah Istana Negara, bangunan tersebut memiliki keterkaitan emosional yang lebih besar dengan rakyat Indonesia. Sebab, di depan istana itulah diselenggarakan sebuah upacara yang mengharukan pada 27 Desember 1949, di mana bendera Belanda yang sebelumnya berkibar di sana diturunkan dan diganti dengan bendera Merah Putih.
Baca juga:
Istana Kepresidenan sebagai Ruang Budaya
“Pada hari itu, ratusan ribu orang memenuhi tanah lapangan dan tangga-tangga gedung ini dengan diam mematung. Mata mereka terpaku pada tiang bendera dan tanpa malu-malu menetaskan air mata. Ketika Sang Merah Putih menjulang ke atas dan berkibar, meledaklah kegembiraan mereka dan terdengar teriakan: Merdeka! Merdeka! Oleh karena itu, diputuskanlah menamai gedung ini Istana Merdeka,” tulis Heuken. Upacara pengibaran bendera Merah Putih menjadi bagian dari prosesi pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda yang ditandatangani Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Ratu Belanda A.H.J. Lovink di Istana Merdeka tahun 1949.
Di masa kepemimpinan Sukarno, Istana Merdeka juga kerap digunakan presiden untuk menerima tamu dari berbagai negara. Pertemuan itu biasanya dilangsungkan di “Ruang Mandat”, di sanalah para duta besar negara asing menyerahkan surat-surat kepercayaan kepada Presiden Sukarno. Selain itu, Istana Merdeka juga menjadi saksi upaya pembunuhan terhadap Sukarno.
Pada 9 Maret 1960 pilot AURI, Letnan Udara II Daniel Alexander Maukar dengan pesawat tempur MIG-17 memberondong Istana Merdeka. Sukarno selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Maukar divonis mati, tetapi Sukarno memberinya amnesti.