Istana Kepresidenan sebagai Ruang Budaya
Sukarno menjadikan istana kepresidenan sebagai ruang budaya. Dia jadikan alat komunikasi dan diplomasi.
PRESIDEN Sukarno menjadikan istana sebagai ruang budaya budaya. Istana kepresidenan menjadi galeri seni terbesar di Indonesia dengan 16.000 koleksi benda seni di seluruh istana, terdiri dari 2.700 lukisan, 1.600 patung, 11.800 karya kriya dan kerajinan.
“Saya setuju kalau dikatakan koleksi lukisan dan benda-benda seni di istana itu adalah pernyataan kebudayaan, bukan hanya dekorasi. Koleksinya kini bisa dimaknai memiliki nilai historis dan pewarisan nilai budaya,” ujar sejarawan Eko Sulistyo, yang juga deputi bidang komunikasi dan diseminasi informasi pada Kantor Kepala Staf Kepresidenan Republik Indonesia dalam seminar “Karya Seni Rupa dan Sejarah Indonesia” di Galeri Nasional Jakarta, Senin (22/8).
Mengapa Sukarno memberikan visi ruang budaya kepada istana? Menurut Eko, bagi Sukarno ruang politik saja tidak cukup. Ruang politik akan membuat komunikasi tersekat, muncul prasangka di tengah masyarakat. Sedangkan visi ruang budaya mempererat dialog dan suasana kebatinan.
Ruang budaya yang diciptakan Sukarno juga telihat dengan seringnya diadakan pentas musik, pertujukan seni dan budaya. Bahkan, istana sering menggelar hiburan rakyat. Tarian dan wayang menjadi pertujukan rutin di halaman istana.
“Bung Karno sering mendatangkan Ki Gitosewoko, dalang kesayangannya dari Blitar,” tutur Eko.
Ruang budaya membuat istana semakin inklusif dan ramah terhadap masyarakat. Bahkan Sang Proklamator pernah mempersilakan rakyatnya melakukan akad nikah di Istana Negara dan resepsi pernikahan di Istana Bogor. “Ini contoh istana sebagai ruang budaya dan ruang dialog yang cukup dekat dengan masyarakat,” ucap Eko.
Sukarno juga menjadikan istana sebagai alat diplomasi budaya karena dikunjungi tamu negara hingga dibuat kesepakatan. Dia terbiasa menjelaskan sejarah budaya melalui lukisan juga seni kriya kepada para tamunya. Hal ini dinilai mampu menunjukkan kekayaan bangsa Indonesia yang telah keluar dari cengkraman kolonialisme.
Menurut Eko perspektif ruang budaya yang digagas Sukarno tak lepas dari kecintaannya terhadap seni. Darah seni yang dimiliki Sukarno mengalir dari ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai yang juga keponakan Raja Singaraja. Darah seni ini terus terasah, terutama ketika Sukarno berada dalam pengasingan. “Di Ende misalnya, dia menciptakan 12 naskah sandiwara, seperti ‘Dokter Setan’,” pungkas Eko.
[pages]
Tambahkan komentar
Belum ada komentar