Dia dihargai layaknya Robinhood. Aksi-aksinya merepotkan pemerintah kolonial, tapi dicintai rakyat. Dialah salah satu bandit sosial ternama di negeri ini.
Tolo' namanya. Tapi orang juga mengenalnya sebagai Daeng Gasing alias Kraeng Lompo alias Poea Apada. Nama Poea Apada disandangnya karena dia adalah ayah dari Apada. Ibu dari Apada atau istri Tolo' adalah perempuan yang tak pernah ditinggalkan Tolo' meski dia berkali-kali kawin dengan banyak perempuan. Lelaki kekar ini tampaknya idaman para perempuan di zamannya.
Tolo' bukan dari kalangan bangsawan, ia hanyalah anak petani bernama Kade dengan istrinya yang orang Parigi, Malino. De Preanger Bode edisi 25 November 1915 menyebut Tolo' lahir di Parapa Tajadi, Gallesong, Takalar, Sulawesi Selatan, sekitar tahun 1875. Dia tinggal bersama putrinya di Makassar.
Kendati bukan “penggede”, Tolo' dan kelompoknya meresahkan pemerintah kolonial. Belakangan, tak hanya pencurian-pencurian kerbau yang mereka lakukan, tapi juga pemenyerangan kantor kontrolir Belanda di Paleko, dekat Takalar.
Tolo', catat Nasarudin Koro dalam Ayam Jantan Tanah Daeng, “lihai merampas uang kemudian membagi-bagikannya kepada rakyat kebanyakan.”
Sebagai orang pintar, Tolo 'punya banyak pengikut. Dia selalu punya taktik dalam melawan pemerintah kolonial. Itu membuatnya bisa lolos dalam banyak sergapan. Akibat ulahnya, sampai pernah ada sayembara 1000 gulden untuk kepala Tolo'.
Tolo' tidak sendirian melawan Belanda. Koran-koran Belanda menyebut Tolo' mendapat perlindungan dari bangsawan Makassar. Dalam Perubahan Politik & Hubungan Kekuasaan Makassar 1906-1942, Edward L. Poelinggomang menyebut Tolo' ditemui bangsawan macam Karaeng Barombong dan Karaeng Batupute. Mereka bicara tentang kematian Macan Daeng Brani terjangan, kawan Tolo', yang terbunuh oleh peluru aparat pemerintah kolonial pada 19 Oktober 1914.
Sebelum aksi Tolo' merajalela di tahun 1915, pada 1905 bangsawan-bangsawan di Sulawesi Selatan kalah perang dan ditekan oleh pemerintah kolonial. Oleh karenanya, dendam kepada Belanda tak pernah padam dalam benak mereka.
Tolo' sendiri, disebut Muhammad Abduh dkk. dalam Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Sulawesi, ikut berperang melawan Belanda pada 1905. Maka dia memiliki hubungan dengan bangsawan yang anti-Belanda.
Pemerintah kolonial mencium bahaya besar di Makassar terkait Tolo' dan segera menggerakan aparatnya. Sersan Johan Rembet ditunjuk memimpin pasukan untuk mengejar Tolo'.
Sersan tua Johan Rembet merupakan komandan detasemen polisi bersenjata di Sungguminasa, pusat kabupaten Gowa yang tidak jauh dari kota Makassar. Dia pernah jadi anggota Korps Marsose di Aceh. Dia menjadi ksatria Militaire Willemsorde kelas empat setelah sukses bertempur melawan orang Aceh di Pidie.
Dalam mengejar Tolo' dan gerombolannya, Rembet dan pasukaannya berjalan melalui Limpangan. Setelah dapat kabar Tolo' terlihat di Kalampa, Rembet membagi pasukannya jadi dua. Satu bertugas mengitari kampung dan satunya lagi mengitari sawah. Mereka akan bertemu di Kalampa.
Pasukan yang menyusuri kampung lalu menyergap sebuah rumah di Tasari. Pasukan itu memperkirakan bahwa Tolo' dkk. akan keluar dari rumah itu lalu akan kabur ke arah selatan. Dugaan itu benar. Baku-tembak pun terjadi sebentar di sana.
Tolo' ternyata hanya bersama dua atau lima pengikutnya saja. Mereka bersenjata dua senapan pendek (karabin) Beaumont. Sisanya memakai tombak. Salah satu tombak kelompok Tolo' bahkan berhasil melukai Tjankung, pemandu pasukan Rembet.
Pertempuran terjadi lagi. Tolo' melawan dengan berani dan mendekati polisi Belanda yang bersenjata itu. Namun, Tolo' dan seorang kawannya yang bernama Ramadjang terbunuh.
“Ia dibunuh dan mayatnya diarak keliling Limbung. Sejak itu namanya melegenda sebagai jagoan yang setia membela kebenaran. Dari sanalah pembela kebenaran selalu diasosiasikan dengan julukan I Tolo',” catat Nasarudin.