Rerumputan memenuhi salah satu sisinya. Ia tumbuh di sela-sela sambungan keramik lusuh yang sebagian sudah pecah dan retak. Lusuhnya tak kalah dari bundelan kain yang menutupi nisannya.
Begitulah kondisi makam Raden Karta Nata Negara, bupati Lebak periode 1837-1865, saat disambangi Historia.id pada 25 April 2024 lalu. Letaknya di TPU Kaum Pasir, belakang Masjid Agung Al-Araaaf yang terletak di sisi barat alun-alun.
Nama Karta Nata Negara mulai populer setelah diangkat menjadi bupati oleh pemerintah Hindia Belanda. Jabatan itu merupakan hadiah atas jasanya dalam memadamkan sebuah pemberontakan.
Sebuah pemberontakan terjadi di Sentul, Balaraja, Tangerang. Pemberontakan itu meletus sekitar 7 Maret 1830. Majalah Dharmasena nomor 19 tahun 1989 memberitakan, tokoh penting dalam pemberontakan itu adalah Dukun Karia, Ki Bagus Sandong, dan Nyai Gamparan.
Dari Sentul, kerusuhan menjalar ke daerah lain di bagian utara Banten. Seorang perwira tentara Belanda bahkan sampai terbunuh dalam kerusuhan itu.
Nyai Gamparan, disebut Nina Lubis dalam Banten dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, merupakan orang berpengaruh di Balaraja sebab dia “Kepala Keraman” di sana. Setelah didesak militer Belanda, Nyai Gamparan terpaksa meninggalkan Balaraja dan mengamankan diri ke Banten selatan.
Sebuah unit militer Belanda bernama Jayengsekar lalu mengejar Gamparan dan pengikutnya. Mereka bergerak hingga ke sekitar Bogor.
Nyai Gamparan sempat berada di sebuah desa bernama Ciawi namun kemudian pindah lagi. Koran Java-bode tanggal 31 Oktober 1888 menyebut dari Ciawi, Nyai Gamparan dan pengikutnya berpindah ke Jasinga. Belakangan, kepala desa Ciawi ditahan pemerintah kolonial karena ketahuan menyembunyikan Nyai Gamparan dan pengikutnya.
Ketika berada di Jasinga, Nyai Gamparan tertangkap meski sebagian pengikutnya berhasil meloloskan diri dalam kejaran Jayengsekar. Adalah Demang Jasinga, Raden Karta Nata Negara (1790-1879), yang memimpin penangkapan Nyai Gamparan itu.
Karier Karta Nata Negara pun bersinar. Dia diangkat menjadi bupati. Namun bukan di Bogor, melainkan di Lebak. Karta Nata Negara menggantikan Pangeran Senjaya. Karena jabatannya dia dikenal sebagai Raden Adipati Karta Nata Negara. Dia memerintah hingga berusia cukup sepuh, sekitar 75 tahun. Oleh karenanya dia dijuluki Regen Sepoeh alias Dalem Sepuh alias Bupati Sepuh.
Ketika berkuasa, Raden Adipati Karta Nata Negara memindahkan pusat Lebak yang semula di Warunggunung, ke Rangkasbitung.
Dalam memerintah, Adipati Karta Nata Negara didampingi seorang asisten residen. Di antaranya Charles Eduard Pierre Carolus (1817-1855), yang menurut studbook atas nama dirinya menjadi Asisten Residen Lebak sejak 1854. Sebelum di Lebak, Carolus pernah bertugas di Cirebon dan Bagelen. Dia tidak lama mengisi jabatan itu karena pada 1 November 1855 meninggal dunia. Istrinya curiga bahwa Carolus diracun Demang Parangkujang, Raden Wira Kusuma.
Pengganti Carolus adalah Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang sebelumnya bertugas di Manado. Douwes Dekker membuat kejutan di masa jabatannya. Dia “menelanjangi” apa yang dilakukan sang bupati yang menurutnya lalim itu. Sebab, Adipati Karta Nata Negara mewajibkan pundutan (pungutan) dan kerja wajib untuk dirinya dari rakyat Lebak. Mulai dari beras, kerbau, dan lain-lain.
Perseteruan Dekker dengan Karta Nata Negara itu pun sampai telinga pemerintah pusat. Dekker lalu dicopot dari jabatannnya. Dekker hanya menjabat sampai April 1856.
Setelah berhenti dari karier pegawai negeri kolonialnya, Dekker menulis sebuah novel yang berisikan kisah masa dinasnya di Lebak. Ceritanya dia bumbui dengan roman Saidjah Adinda yang teraniaya oleh feodalisme sekaligus kolonialisme. Novel itu dijudulinya Max Havelaar, nama karakter utama yang adalah dirinya sendiri. Dekker memakai nama pena Multatuli, yang artinya aku yang banyak menderita. Apapun mitos yang diperdebatkan soal Multatuli dan Max Havelaar, novel karya Dekker itu sudah memperlihatkan penderitaan rakyat Lebak oleh feodalisme elite lokal, yang diayomi oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda yang juga ikut menyengsarakan rakyat Lebak.
“Saya menuduh Bupati Lebak, Radèn Adipati Nata Karta Nagara, melakukan penyalahgunaan wewenang […] dengan meminta imbalan dalam bentuk natura, tanpa, atau melawan hukum yang ditentukan secara sewenang-wenang, tidak mencukupi, pembayaran; bahwa saya selanjutnya mencurigai Demang Parang Kujang—menantunya—terlibat…,” tulis Multatuli dalam novelnya Max Havelaar.
Koran De locomotief tanggal 7 Juni 1904 dan De Preanger-bode edisi 8 Juni 1904 memberitakan bahwa pernah muncul keputusan nomor 34 tanggal 23 Maret 1856 yang pada pokoknya menyatakan: Bupati Lebak, Raden Adipati Karta Nata Negara, menurut keterangannya sendiri, telah bersalah atas berbagai pungutan tidak sah, pengerahan tenaga kerja yang tidak wajar di mata hukum kolonial, serta setoran uang yang tidak sesuai.
Adipati Karta Nata Negara sendiri mengalami kesulitan keuangan karena banyaknya sanak saudara, pengikut, dan pembantu yang harus dihidupinya dengan penghasilannya yang hanya 700 gulden sebulan. Sang bupati dipersalahkan namun tak kehilangan jabatan yang telah diembannya hampir 20 tahun. Ia baru digantikan Tumenggung Prawirakoesoemah pada 1865.
Lima tahun sebelum Raden Adipati Karta Nata Negara berhenti menjabat, novel Max Havelaar terbit di Belanda. Novel itu menjadi faktor penting penghapusan sistem Tanam Paksa (cultuur stelsel), yang ikut menyengserakan rakyat Lebak, pada 1870. Sementara, Adipati Karta Nata Negara menikmati masa tuanya hingga 1879, tahun dia meninggal dunia. Jenazahnya dimakamkan di TPU Kaum Pasir di belakang Masjid Masjid Agung Al A'raaf yang tidak jauh dari rumah dinasnya waktu menjadi adipati Lebak.