Lagu-lagunya menghiasi kehidupan banyak remaja, termasuk saya, ketika musik masih didengarkan melalui kaset berpita yang disetel pada radio tape. Van Halen, pengusung musik cadas yang berjaya era 1980-an sampai era 1990-an dimotori oleh van Halen bersaudara, Alex dan Eddie. Selasa, 6 Oktober 2020, pagi waktu Amerika Serikat, Eddie van Halen meninggal dunia dalam usia 65 tahun setelah berjuang melawan kanker tenggorokan yang dideritanya.
Dari mana Eddie dan kakaknya, Alex, mendapat nama van Halen dan siapa asal-usul kedua orang tua mereka? Riwayat orang tua mereka terungkap saat Alex dan Eddie menjawab David Lee Roth, vokalis Van Halen sebelum Sammy Hagar, yang bertanya tentang dari mana kedua orang tua mereka berasal. Ketika Alex sedang menjelaskan asal usul ibunya dari Indonesia, Eddie nyeletuk “Rangkasbetung,” menyebutkan nama kampung kelahiran ibunya sembari terkekeh dalam wawancara delapan tahun lalu itu. Rangkasbitung ibu kota Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Rangkasbetoeng adalah ejaan yang lazim digunakan sejak zaman Belanda namun orang-orang lebih sering melafalkannya Rangkasbitung. Bitung adalah nama jenis bambu yang banyak tumbuh di wilayah ini yang dipercaya sebagai toponimi kota Rangkasbitung. Ada juga yang melafalkanya “bambu petung”. Kemungkinan besar catatan administrasi Belanda melakukan transliterasi ini sehingga nama kota tertera dari bitung menjadi “betoeng.”
Baca juga: Max Havelaar, Sebuah Gugatan Eduard Douwes Dekker
Kota ini mulai terkenal ke seantero dunia karena jadi latar belakang tempat kejadian dalam roman Max Havelaar karya Multatuli yang telah diterjemahkan ke dalam 40 bahasa sejak pertama kali diterbitkan pada 1860. Sezaman dengan kehidupan Eugenia van Beers di Rangkasbitung, tokoh pergerakan Haji Agus Salim juga pernah tinggal di kota tersebut saat bertugas sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat), wakil Sarekat Islam.
Eugenia van Beers, ibu kandung Alex dan Eddie, lahir di Rangkasbitung, 21 September 1915 dari pasangan Frans van Beers dan Eugenie Rygelo Mafficioli del Castelletto. Frans lahir di Bojonegoro, 13 September 1888 sedangkan Eugenie lahir 23 Februari 1893 di Purworejo, Jawa Tengah. Mereka menikah di Bojonegoro pada 24 Mei 1912.
Berdasarkan informasi mutasi dan pengangkatan pegawai yang dimuat koran De Nieuwe Vorstenlander, 22 April 1910, Frans van Beers, kakek Eddie van Halen, bekerja sebagai pengawas golongan ketiga pada Dinas Pekerjaan Umum pemerintah kolonial (Burgerlijke Openbare Werken, BOW) di wilayah Karesidenan Rembang. Belum ditemukan informasi mengenai sejak kapan pasangan ini pindah ke Rangkasbitung, Banten.
Selain jejaring struktur birokrasi kolonial yang melibatkan banyak warga Belanda bekerja di Rangkasbitung, keberadaan pabrik minyak kelapa Mex Olie dan perkebunan swasta yang berada di wilayah ini juga menyebabkan kehadiran komunitas warga Belanda semakin marak sejak awal abad ke-20.
Ibu Nyai dan Darah Italia
Frans dan Eugenie sama-sama memiliki ibu kandung bumiputra, perempuan Jawa. Besar kemungkinan Frans lahir dari seorang nyai yang hidup bersama ayahnya, C.M. Beers. Mengacu pada tulisan Roel De Neve, “De familie Mafficioli del Castelletto in Nederlandsch-Indië” dalam De Indische Navorscher (2011) yang menelusuri garis keluarga van Halen bersaudara, Frans lahir dari hasil hubungan di luar nikah C.M. Beers dengan seorang perempuan bumiputra. Sementara ibu kandung Eugenie bernama Roebinem, kelahiran Purworejo tahun 1874.
Pada masa kolonial, banyak tuan Belanda memiliki nyai perempuan bumiputra. Sebagian mereka ada yang dinikahi secara resmi dan menjadi istri yang sah secara hukum, namun banyak lainnya yang tak pernah resmi dinikahi. Dari hubungan demikian banyak lahir anak-anak Indo yang kemudian menjadi satu ragam baru di dalam masyarakat jajahan. Reggie Baay dalam De Njai: Het Concubinaat in Nederlands-Indie menuliskan praktik pergundikan ini sebagai “een verborgen geschiedenis” atau sebuah kisah sejarah yang tersembunyi.
Baca juga: Kisah Nyai dan Para Lelaki Kolonial yang Kesepian
Berbeda dari Frans yang nama ibunya tak pernah dikenali dalam sumber, ibu kandung Eugenie, nenek Eddie van Halen, diketahui bernama Roebinem. Dia dinikahi oleh Rijgelo Mafficioli del Castelletto pada 30 September 1910. Rijgelo lahir di Pasuruan, 1 Juni 1873 dan bekerja sebagai pegawai dinas kereta api Hindia Belanda. Dari nama famili Rijgelo jelas bisa diketahui kalau dia memiliki darah Italia.
Keberadaan keluarga Mafficioli del Castelletto di Indonesia berawal dari kedatangan Paolo Philippo Mafficioli, kelahiran Italia 1795. Tidak diketahui kapan dia datang ke Indonesia. Paolo seorang dokter yang bekerja untuk Sri Susuhunan Surakarta dan pemilik perkebunan kopi di Penggung, Boyolali. Dia meninggal di Penggung pada 26 Maret 1846. Yang menarik adalah informasi dalam sebuah situs genealogi wikitree.com yang menyebutkan jika Paolo adalah seorang musisi.
Paolo menikahi Frederika Christiana Johanna Thilo di Batavia pada 31 Maret 1822. Dari pernikahan itu lahir Lucien Paul Felix Mafficioli del Castelletto di Surakarta, 13 November 1836. Lucien adalah ayah Rijgelo Mafficioli del Castelletto, kakek Eugenia van Beers, mbah buyut Alex dan Eddie van Halen. Dari garis ibunyalah mengalir darah Italia dan Jawa dalam tubuh Alex dan Eddie van Halen.
Asmara Masa Pancaroba
Tak jelas di mana Eugenia van Beers bertemu dengan Jan van Halen, kelak jadi suami dan ayah anak-anaknya. Jan van Halen tiba di Indonesia usai Perang Dunia II sebagai peniup saksofon pada sebuah band radio dari Belanda. Merujuk pada artikel karya Humphrey de la Croix, “Eddie an Alex van Halen: Indo-Dutch Rocker” yang dimuat indischhistorisch.nl, saat Nazi Jerman menduduki Belanda, Jan sempat ditahan dan dipaksa bermain musik untuk Jerman, sesuatu yang sangat dibencinya.
Pasangan yang bertemu pada masa pancaroba kekuasaan melanda Indonesia itu menikah di Jakarta pada 11 Agustus 1950. Iklan pernikahan mereka tersua di koran Java Bode, pada edisi yang terbit bersamaan dengan hari pernikahan mereka. Mengutip Humphrey, niat Jan datang ke Indonesia untuk mencari kehidupan baru usai perang melanda negerinya. Namun harapan itu pupus karena masa revolusi kemerdekaan Indonesia yang disertai sentimen terhadap orang-orang Belanda.
Baca juga: Repatriasi Orang-orang Belanda dari Indonesia
Seminggu setelah mereka menikah, sebuah keputusan penting menyangkut nasib hubungan Indonesia-Belanda diambil oleh Mohammad Natsir, anggota parlemen Republik Indonesia Serikat (RIS). Ia menyerukan “mosi integral”, yang kembali membawa Indonesia ke dalam bentuk negara kesatuan, bukan federasi sebagaimana hasil kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB), 27 Desember 1949.
Mosi tersebut sekaligus mengakhiri perseteruan keras nan panjang antara Indonesia dengan Belanda menyangkut nasib Indonesia usai tak lagi jadi koloni Belanda. Setelah sempat digoncang peristiwa APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) pimpinan Westerling pada Januari 1950 dan sejumlah protes terhadap keputusan KMB, Indonesia menyatakan tak lagi berseturut dengan hasil perundingan di Den Haag itu. Dan Indonesia pun bukan lagi negeri yang aman buat orang Belanda.
Pasangan muda yang baru tiga tahun menikah itu pun memutuskan untuk meninggalkan Indonesia pada 4 Maret 1953, saat usia kehamilan Eugenia menginjak tujuh bulan. Mereka menumpang kapal Sibajak bersama ribuan warga Belanda dan Indo-Belanda lainnya dalam gelombang repatriasi ke negeri Belanda. Negeri yang mungkin justru asing buat Eugenia, perempuan kelahiran Rangkasbitung, yang keluarganya telah menetap selama beberapa generasi di Indonesia.
Hidup Baru
Setibanya di Belanda, Jan dan Eugenia yang tengah hamil anak pertama menetap di Amsterdam. Pada 8 Mei 1953, Alexander Arthur van Halen (Alex) lahir. Dua tahun kemudian, 26 Januari 1955, Edward Lodewijk van Halen (Eddie) lahir sebagai anak kedua pasangan Jan van Halen dan Eugenia van Beers. Jan tetap bermain musik untuk menghidupi keluarga kecilnya. Ketika ada kesempatan mencari peruntungan di Amerika, Jan memutuskan untuk hijrah ke negeri Paman Sam pada 1962.
Keluarga imigran ini menetap di Pasadena setibanya di Amerika. Untuk mencari nafkah, Jan dan Eugenia bekerja serabutan. Selain bermain musik, Jan bekerja sebagai tukang cuci piring di sebuah rumah sakit dan merangkap sebagai penjaga Loji Mason di Pasadena, sementara Eugenia juga jadi tukang cuci piring di restoran dan berbagai hotel. Seiring waktu Alex dan Eddie tumbuh beranjak dewasa dan menunjukkan bakatnya musisinya.
Seperti disampaikan dalam wawancaranya dengan David Lee Roth, adalah Jan, ayah mereka yang berharap kalau kedua anaknya menjadi pemain musik klasik. Mereka berdua belajar piano klasik sejak belia, namun karena tren musik rock sedang berkembang saat itu, musik klasik bukan hal menarik buat mereka. Eugenia-lah yang memberikan mereka kebebasan dan mendorong mereka berdua untuk menekuni bidang musik yang mereka sukai.
Baca juga: Eddie van Halen dan Teknik Tapping yang Manjakan Kuping
Awal era 1970-an, kedua bersaudara ini mendirikan band pertama mereka The Broken Combs. Keseriusan mereka bermusik terus berlanjut sampai mendirikan band kedua, Mammoth. Menurut Humphrey de la Croix, David Lee Roth terpukau pada penampilan band tersebut dan bergabung sebagai vokalis. Sejak 1974 dan seterusnya band yang dimotori oleh Alex dan Eddie terkenal sebagai Van Halen.
Kemampuan Eddie memainkan dawai gitar pun semakin moncer. Dia dikenal sebagai penemu teknik tapping dalam memaikan gitar yang kemudian menjadi populer di kalangan gitaris. Gitaris seperti Joe Satriani dan Paul Gilbert sering menggunakan teknik tersebut dalam permainan gitarnya. Teknik tapping pula yang digunakan Paul sebagai gitaris Mr. Big dalam intro lagu Green Tinted Sixties Mind.
Dewa gitar berdarah campuran Belanda, Italia, dan Jawa yang menginspirasi banyak musisi dunia dan menghiasi masa muda anak zaman generasi 1980-an sampai 1990-an itu kini pergi untuk selamanya. Meninggalkan karya yang masih kita bisa dengarkan sampai sekarang. Tak lagi pada kaset berpita, tapi melalui gawai yang mungkin tak pernah terbayangkan oleh Jan van Halen saat dia masih menjadi peniup saksofon di Hindia Belanda. Selamat jalan Eddie van Halen….