Masuk Daftar
My Getplus

Kisah Nyai dan Para Lelaki Kolonial yang Kesepian

Sisi gelap pergundikan yang dijalankan oleh para lelaki kulit putih dengan perempuan pribumi di tanah Hindia.

Oleh: Hendi Jo | 29 Des 2015
Seorang lelaki Belanda dengan nyai dan anak mereka. Foto: KITLV

SETIAWATI masih hapal riwayat hidup leluhurnya itu. Secara diam-diam, kisah tersebut selalu tersampaikan dari generasi ke generasi di kalangan keluarga besarnya, sebagai “kenangan pahit” yang tidak boleh terulang lagi.  “Mungkin saat itu situasinya memang tak terelakan, takdir Tuhan harus berlaku demikian kepada nenek buyut saya,” ujar perempuan kelahiran Jakarta 55 tahun lalu tersebut.

Sarima, nama nenek buyut Setiawati, adalah seorang nyai. Itu adalah istilah yang ditujukan kepada seorang perempuan pribumi yang dijadikan pasangan hidup seorang lelaki kulit putih tanpa suatu ikatan pernikahan. “Sekalipun di Eropa moral Kristen menuntut penahanan nafsu seksual di luar pernikahan, ideologi di Hindia Belanda membolehkan seorang lelaki mencari jalan keluar bagi kebutuhan-kebutuhan seksnya…” tulis Tineke Hellwig dalam Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda.

Terlebih, lanjut Tineke, anggapan umum saat itu menyebut bahwa iklim tropis serta makanan kaya bumbu pedas mendorong munculnya libido para lelaki Eropa yang bermukim di tanah Hindia Belanda. “Pendapat-pendapat tersebut seolah menjadi pembenar terjadinya praktek pergundikan  dan pelacuran yang dilakukan mereka…” ujar doktor sastra Indonesia dari Universiteit Leiden, Belanda itu.

Advertising
Advertising

Hampir senada dengan penilaian Setiawati dan Tineke, penulis sejarah kolonial asal Belanda Reggie Baay, menyebut kuputusan seorang lelaki kolonial “mengambil” seorang nyai, merupakan gejala umum dan seolah sesuatu hal yang bisa diterima oleh banyak orang kala itu. Jika pada awal-awal kolonialisme terpancangkan di tanah Hindia Belanda sistem perbudakan adalah suatu keniscayaan, maka selanjutnya sistem pergundikan dengan seorang perempuan pribumi merupakan pemecahan masalah dari “rasa kesepian” para lelaki  kulit putih lajang.

“Terdapat lebih dari setengah jumlah keseluruhan laki-laki Eropa di koloni yang hidup bersama seorang gundik pribumi dalam 25 tahun terakhir pada abad ke-19,” ungkap Reggie dalam Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda.

Terciptanya “konsep nyai” juga tidak terlepas dari perbedaan kelas: superioritas kulit putih atas kulit coklat, dominasi penjajah terhadap pihak terjajah. Situasi tersebut berkelindan dengan sikap nrimo yang dipelihara dengan setia oleh sebagian besar para bumiputera. Tidak usah jauh-jauh, sebagai contoh adalah kasus yang dialami oleh Sarima sendiri sekitar era 1920-an. Sebagai seorang buruh pemetik teh yang miskin di Garut, ia harus “pasrah” saat tuan adminsitratur “menginginkan dirinya”. Kendati saat itu, Sarima telah memiliki seorang suami.

“Dalam hal ini, pemberian sejumlah uang (kepada pihak keluarga perempuan atau suami perempuan tersebut) kerap dilakukan,” ujar Reggie.

Bahkan, pada kasus lain, seorang Njai juga bisa “dialihkan” kepada lelaki Eropa lain. Kasus-kasus seperti itu biasanya terjadi di tangsi-tangsi tentara. Seperti dialami oleh Marie (nyai yang berasal dari Purworejo) dan Enjtih (nyai yang berasal dari Cimahi). Pengalihan itu biasanya terjadi karena pihak lelaki sudah mulai jenuh atau akan dipindahtugaskan ke tempat lain. Lantas bagaimana  status hukum anak-anak yang lahir dari hubungan sejenis itu?

Menurut Tineke Hellwig, sejatinya seorang nyai tidak memiliki hak apa pun, baik terhadap dirinya maupun atas anak-anak yang dilahirkannya. Karena itu, ia harus siap dicampakan oleh “pasangannya” termasuk tidak diberi imbalan apapun. “ Kadang-kadang sebelum mencampakan para nyai tersebut, para lelaki itu menyerahkan anak-anak mereka ke rumah yatim piatu,” ujar lektor kepala di University of British Columbia, Kanada tersebut.

Tentunya tidak semua nyai bernasib buruk. Ada juga di antara mereka yang dicintai betul-betul oleh pasangannya hingga (setelah mendapatkan beberapa anak) dinikahi dan didaftarkan sebagai istri yang sah secara hukum. Itu dialami oleh dua orang nyai bernama Gouw Pe Nio dan Djoemiha. Alih-alih diperlakukan sewenang-wenang, mereka malah hidup bahagia sampai mati bersama para lelaki Eropa tersebut.

[pages]

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Umat Advent Hari Ketujuh, Penanti Kedatangan Yesus Kedua Kali Jenderal-Jenderal dari SMP Tarutung Lika-liku Sejarah Pipa Bukan Belanda yang Kristenkan Sumatra Utara, Tetapi Jerman Antara Lenin dan Stalin (Bagian I) Situs Cagar Budaya di Banten Lama Pemusnah Frambusia yang Dikenal Dunia Perupa Pita Maha yang Karyanya Disukai Sukarno Musik Rock pada Masa Orde Lama dan Orde Baru Pasukan Kelima, Kombatan Batak dalam Pesindo