DARI 17 nama peserta yang lulus ujian menjadi asisten apoteker yang dimuat koran Bataviaasch Nieuwsblad tanggal 29 Juli 1940, nama Ismail Harahap ada di dalamnya. Ujian itu sendiri diikuti 51 peserta.
Kendati tak selangka masa-masa sebelumnya, profesi apoteker kala itu masih sedikit di Hindia Belanda. Menginat pentingnya dan langkanya apoteker, pemerintah Hindia Belanda pada 7 Oktober 1918 membuka Assistent Apothekerschool alias Sekolah Asisten Apoteker untuk lulusan SMP atau MULO bagian B. Ujian masuknya diadakan di beberapa kota.
Seiring waktu, peminat apoteker meningkat. Asa akan kehidupan yang baik di baliknya terbuka lebar. Hal itulah yang agaknya menggerakkan Ismail Harahap, pemuda kelahiran Tanjung Morawa, Sumatra Utara pada 13 Oktober 1918, untuk ikut bersaing masuk Assistent Apothekerschool hingga lulus.
Namun, tak lama setelah Ismail Harahap lulus, Perang Dunia II justru pecah. Di Surabaya, perang sudah terasa pada akhir 1941. Jadi Ismail Harahap menjadi asisten apoteker di zaman perang berkecamuk. Kemampuannya meracik obat dianggap penting di masa perang.
Perang memberi berkah tersendiri pada Ismail Harahap. Tugas membantu pengobatan masyarakat di berbagai tempat membawanya bertemu dengan perempuan keturunan Perancis kelahiran 2 April 1913 yang bernama Francine Frederika Mahieu. Ia lima tahun lebih tua dari Ismail. Frederika merupakan anggota Palang Merah Internasional yang sedang ditugaskan di Surabaya dan sekitarnya.
Dari seringnya keduanya bertemu, bibit cinta bersemi. Kendati jalannya berliku akibat rintangan berupa ketidaksetujuan dari keluarga masing-masing yang beda agama dan pandangan itu, Ismail dan Frederika akhirnya menikah. Pada 25 Mei 1943, lahir anak sulung mereka, Andalus Datoek Oloan Harahap.
Perang Dunia II yang rampung pada 14 Agustus 1945 hanya menjadi dasar perang berikutnya, antara Republik Indonesia dengan Belanda usai kemerdekaan Indonesia diprokmalasikan pada 17 Agustus 1945. Perang hingga akhir 1949 tersebut jelas membuat tenaga medis (dokter, perawat, dan ahli farmasi) menjadi sangat sibuk. Ismail Harahap dan istrinya termasuk.
“Di era pertempuran, Papi ikut berjuang di garis terdepan. Kala itu, Papi bertugas di Posko Pandaan-Bangil dan Sukorejo. Di tempat itulah, Papi mengobati para pejuang yang luka-luka. Memberi obat sekaligus merawat. Tugas Papi sebagai mantri bisa dibilang berat. Sebab, Papi harus maju ke medan tempur untuk menyelamatkan para pejuang yang luka-luka. Papi tidak pernah takut dengan penjajah. Apalagi dengan desingan peluru yang setiap saat mengancam jiwanya,” tulis Siti Nasyiah dalam Ucok Aka Harahap, Antara Rock, Wanita & Keruntuhan.
Kesibukan membuat Ismail harus dibantu dalam meracik obat untuk korban perang. Terlebih setelah Pertempuran 10 November 1945 pecah di Surabaya, di mana jumlah korban yang harus ditolong meningkat drastis.
Namun, kesibukan tak menghentikan langkah Ismail untuk tetap berorganisasi sesuai bidangnya. Ismail aktif dalam perkumpulan apoteker di Surabaya ketika Indonesia masih berperang dengan Belanda. Nieuwe Courant edisi 14 Desember 1948 menyebut, Vereniging Asisstent Apothakers Soerabaja (VAAS) alias Perkumpulan Asisten Apoteker Surabaya didirikan di kota tersebut dengan sekretariatnya berada di Drogisterij Genteng, Jalan Van Deventer Nomor 2, Surabaya. Anggotanya orang Indonesia, Belanda, dan Tionghoa. Ismail duduk sebagai komisaris organisasi tersebut. Setelah lama menjadi asisten apoteker, Ismail Harahap lalu naik tingkat menjadi apoteker.
Usai perang berakhir, Ismail memulai usahanya dengan mendirikan apotek. Namanya Apotek Kaliasin.
“Mengapa diberi nama Apotek Kaliasin? Karena lokasinya itu berada di Jalan Kaliasin,” ujar
Andalus Datok, putra Ismail Harahap, dikutip Siti Nasyi’ah.
Apotek Kaliasin berdiri pada 1950-an. Iklannya setidaknya muncul di koran Belanda De Vrije Pers edisi 9 November 1951. Surabaya sendiri kala itu setidaknya punya Apotek De Vriendschap di Jalan Niaga, Toendjoengan Apotek di daerah Tunjungan, Apotek Darmo di daerah Darmo, dan Apotek Po Yang di Pasar Besar Wetan.
Apotek Kaliasin yang membuat keluarganya hidup layak mendorong Ismail mengarahkan anak sulungnya, biasa dipanggil Ucok, untuk belajar di Sekolah Asisten Apoteker di Semarang, guna meneruskan Apotik Kaliasin. Ucok sempat membantu orangtuanya di apotik. Namun, tercukupinya urusan perut dan pendidikan membut Ucok lebih menikmati hidupnya lewat berkesenian, lebih tepatnya main band. Tebalnya kocek orangtuanya membuat Ucok kemudian memiliki alat band.
Setelah bisa memainkan keyboard sambil bernyanyi, pada 1967 Ucok makin sibuk bermusik. Mula-mula dia bermain band bersama Haris Sormin (gitar), Lexy Rumagit (bass), Sunata Tanjung (gitar), dan Zainal Abidin (drum). Zainal lalu digantikan adiknya, Syech Abidin. Haris kemudian keluar, Lexy diganti orang Manado lain bernama Arthur Victor Anez Kaunang.
Dalam formasi Arthur, Sunata, Syech dan Ucok itulah band mereka berkembang dan kemudia diberi nama AKA, singkatan dari Apotek Kali Asin. Ismail disebut-sebut terlibat dalam menejemen awal AKA. Pada 1969, Ucok menulis lagu yang diberi judul “Badai Bulan Desember”. Setahun kemudian AKA merilis album perdananya, Do You What Like (1970).
Album selanjutnya adalah Reflections (1971), Crazy Joe (1972), dan lain-lain. Bersama God Bless, AKA dikenal sebagai pelopor band gahar. Meski begitu, AKA dikenal publik tanah air karena lagu mendayunya “Badai Bulan Desember”.