Presiden Joko Widodo memakai pakaian adat suku Baduy atau Kanekes ketika menyampaikan pidato kenegaraan dalam sidang tahunan MPR RI dan sidang bersama DPR RI dan DPD RI pada 16 Agustus 2021.
Jokowi memesan pakaian itu dari Kepala Desa Kanekes, Jaro Saija. Kepada Kompas.com, Saija menjelaskan, pakaian adat yang dikenakan Jokowi merupakan pakaian sehari-hari warga Baduy Luar yang disebut baju kampret. Baju hitam bermakna kesederhanaan, ikat kepala (lomar) bermakna persatuan, dan tas koja bermakna kelestarian alam yang masih dijaga masyarakat Baduy.
Namun, ada yang memaknai baju hitam itu sebagai “lambang kotor atau dosa. Orang Baduy yang lalai atau tak mampu mengikut aturan adat keluar dari kampung dan mulai berbaju hitam sebagai bentuk pengakuan atas kesalahan diri”.
Makna tersebut akan muncul ketika membahas klasifikasi masyarakat Baduy.
Klasifikasi
R. Cecep Eka Permana, guru besar arkeologi Universitas Indonesia, menyebut bahwa klasifikasi masyarakat Baduy memiliki dua makna, yakni teritorial dan tingkat kesucian/ketaatan pada adat.
Pertama, teritorial menunjukkan lokasi keberadaan kelompok-kelompok masyarakat Baduy yang sebagian berada di dalam (inti) dan sebagian lagi (terbanyak) berada di luar inti. Kelompok Baduy Dalam (tangtu atau kajeroan) merupakan inti pemukiman Baduy (Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik) yang terletak paling selatan dari kawasan. Sedangkan Baduy Luar (panamping) merupakan pelapis pemukiman Baduy yang terletak di luar sekaligus merupakan benteng bagi Baduy Dalam.
“Dengan adanya pemukiman Baduy Luar yang berlapis-lapis memungkinkan terjaganya kesucian inti Baduy di pemukiman Baduy Dalam,” tulis Cecep dalam Tata Ruang Masyarakat Baduy.
Baca juga: Sukarno dan Baduy
Kedua, tingkat kesucian dan ketaatan pada adat. Baduy Dalam dianggap lebih suci dan warganya merupakan pemegang adat paling taat, sementara Baduy Luar dianggap tidak begitu suci lagi dan tidak sepenuhnya taat kepada adat. Kesucian dan ketaatan terhadap adat bagi warga Baduy Dalam haruslah tetap dipertahankan agar dunia tetap selamat dan sejahtera. Kerusakan Baduy Dalam sebagai inti jagat, berarti rusak pulalah seluruh isi jagat. Oleh karenanya, warga Baduy Dalam yang tidak suci dan tak taat lagi harus ditamping “dibuang” ke Baduy Luar atau Dangka (kotor), kampung-kampung di luar wilayah Desa Kanekes.
“Tingkat kesucian dan ketaatan pada adat tercermin pula dalam warna ‘putih’ dan ‘hitam’,” tulis Cecep. “Putih warna pakaian warga Baduy Dalam dan warna pakaian hitam dikenakan oleh warga Baduy Luar. Bagi masyarakat Baduy, warna putih merupakan simbol kesucian, kejujuran, dan ketaatan mempertahankan tradisi, sedangkan warna hitam (juga biru tua) sering dianggap sebagai kotor, dosa, dan pelanggar aturan.”
“Walaupun demikian, ‘putih’ dan ‘hitam’ dianggap sebagai pasangan alamiah, bagaikan siang dan malam, terang dan gelap, baik dan buruk, pahala dan dosa, yang tidak dapat dipisahkan sekalipun bertentangan,” tulis Cecep.
Baca juga: Beban Berat Lestarikan Adat Baduy
Terlepas dari klasifikasi tersebut, warga Baduy Dalam dan Baduy Luar tetap menjalin hubungan baik karena terikat oleh kekeluargaan. Sejarawan Sunda, Saleh Danasasmita dan Anis Djatisunda dalam Kehidupan Masyarakat Kanekes menyebut bahwa di panamping banyak menetap keturunan orang tangtu, bahkan banyak keluarga puun (pemimpin adat).
“Hubungan kekerabatan di antara mereka tidak terganggu oleh status kemandalaan (kawasan suci), dan saling menjenguk anggota keluarga merupakan hal biasa. Dalam hal ini kerabat panamping biasanya lebih tahu diri dan membatasi pergaulannya dengan kerabat di kampung tangtu,” tulis Saleh dan Anis.
Kesederhanaan
Saleh dan Anis menjelaskan perbedaan pakaian Baduy Dalam dan Baduy Luar. Pakaian pria Baduy terdiri atas tiga bagian, yaitu ikat kepala yang disebut telekung, romal/lomar, atau iket, baju tanpa kerah berlengan panjang yang disebut kutung, dan sarung yang disebut aros.
Pakaian pria tangtu agak berbeda dari pria panamping, terutama pada warna dan kualitas bahannya. Pria tangtu memakai ikat kepala dan baju warna putih serta sarung terbuat dari benang kanteb (benang kasar) bergaris putih dan biru tua yang dikenakan sebatas dengkul (mirip rok wanita) dan diikat dengan beubeur (ikat pinggang) berupa selendang kecil.
Baca juga: Mang Odon di Tanah Kebuyutan Baduy
Sedangkan pria panamping mengenakan ikat kepala berwarna nila dan disebut merong. Bajunya disebut jamang kampret (baju kampret). Menurut tradisinya, baju pria panamping itu terdiri atas dua lapis. Baju putih di dalam dan baju hitam di luar. Ukuran dibuat sedemikian rupa sehingga sisi-sisi baju dalam yang putih tersebut menyembul lebih panjang sedikit sehingga kelihatan jelas dari luar.
Sekarang ada juga yang mengenakan baju rangkap “semu” karena warna putih yang mencuat ke luar itu bukan berasal dari baju dalam, melainkan dari carikan kain putih yang dijaitkan pada ujung bagian dalam baju hitamnya. Di samping itu banyak juga kaum pria panamping yang hanya mengenakan baju hitam tanpa rangkap putih. Kain sarung pria panamping disebut poleng hideung.
Kendati pakaian mereka berbeda warna, tapi tetap sama: sederhana. Sebagaimana ungkapan bijak mereka dalam menjalani hidup: sare tamba teu tunduh, madang tamba teu lapar, make tamba teu talanjang (tidur sekadar pelepas kantuk, makan sekadar pelepas lapar, berpakaian sekadar tidak telanjang).
“Pakaian orang Baduy pun memancarkan kesederhanaan,” tulis Cecep. “Menurut mereka meninggalkan kesederhanaan berarti membatalkan tapa dunianya.”