PRAHARA mendera Partai Golkar setelah Ketua Umum Airlangga Hartarto mengundurkan diri. Menurut desas-desus, alasan pengunduran diri Airlangga lantaran tersandera kasus korupsi izin ekspor minyak sawit mentah. Partai berlambang pohon beringin itu disebut-sebut tengah digoyang penguasa. Andai kata Golkar partai gurem, tak jadi soal. Tapi, Golkar adalah partai besar yang sejak masa Orde Baru merupakan partai penguasa.
Meski digdaya di masa Orde Baru, kampanye Golkar dalam Pemilu 1982 juga pernah direcoki hingga berujung kerusuhan. Insiden ini dikenal sebagai Peristiwa Lapangan Banteng 1982. Huru-hara di Lapangan Banteng ini tercatat sebagai peristiwa kelam dalam sejarah Golkar.
“Panggung peralatan kampanye dan alat-alat musik dirusak dan dibakar, bendera Golkar dicabuti dan dirobek, yang paling menyedihkan bendera Merah Putih juga dirobek dan dibakar,” demikian dicatat dalam Kenang-kenangan Sekber Golkar: Sejarah Kepeloporan, Pembaruan dan Pembangunan Politik.
Baca juga: Golkar Zaman Orba: Panas di Dalam, Adem di Luar
Kampanye Golkar yang berlangsung pada 18 Maret 1982 semula berjalan aman dan lancar. Massa simpatisan Golkar berjubel-jubel memadati Lapangan Banteng, di sekitar Tugu Pembebasan Irian Barat. Apalagi penyanyi dangdut Elvy Sukaesih turut meramaikan kampanye, membuat suasana riang berdendang. Ditaksir, lebih dari sejuta orang datang ke Lapangan Banteng hari itu. Kekacauan mulai terjadi menjelang juru kampanye utama Golkar yang juga Menteri Penerangan Ali Murtopo naik ke atas panggung.
“Namun, di tengah-tengah membanjirnya massa sejak jam 10.00--11.00 tengah hari, beberapa kelompok kecil orang sempat mengadakan aksi pengacauan,” lansir Berita Yudha, 19 Maret 1982. “Atas kejadian di Lapangan Banteng tersebut, Gubernur DKI Jakarta Raya minta maaf kepada seluruh keluarga besar Golongan Karya dan kepada calon (legislatif) tetap nomor satu DKI Jaya Ali Murtopo.”
Menurut Sarwono Kusumaatmadja, anggota DPR Golkar yang saat itu ikut kampanye di Lapangan Banteng, pelaku perusakan dan pembakaran panggung adalah orang-orang yang berdiri di sekeliling panggung serta mengenakan jaket serta baret Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI, organ pemuda Golkar). Para petugas AMPI yang sedianya bertugas mengamankan panggung kecele. Mereka mengira bahwa yang datang belakangan itu sebagai kekuatan tambahan.
Baca juga: Dari Lapangan Banteng untuk Indonesia
Ketika kerusuhan pecah, Ali Murtopo segera diungsikan ke Hotel Borobudur. Para penjaga panggung gadungan yang menggunakan atribut AMPI tiba-tiba melepaskan jaket serta baret AMPI yang melekat. Yang kemudian banyak terlihat adalah kaus oblong bergambar Ka'bah, lambang Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
“Mereka lantas meneriakkan takbir dan menyerbu kendaraan di sekitar tempat kampanye, banyak di antaranya kendaraan pelat merah, baik mobil penumpang maupun bus. Suasana langsung kacau-balau. Vandalisme dan penjarahan pun menjalar cepat,” kenang Sarwono dalam Memoar Sarwono Kusumaatmadja: Menapak Koridor Tengah.
Tiga hari sebelum kampanye Golkar, PPP lebih dulu melangsungkan kampanye di Lapangan Banteng. Harian Kompas, 16 Maret 1982 mencatat massa yang berkumpul pada kampanye PPP mencapai 500.000 orang. Selain Jakarta menjadi basis massa PPP, membludaknya orang yang datang karena kehadiran si raja dangdut Rhoma Irama beserta grup Sonetanya yang ikut mengisi acara kampanye PPP.
Baca juga: Rebutan Rhoma Irama
Kampanye PPP, menurut Ridwan Saidi yang waktu itu ketua kampanye PPP Jakarta, merupakan pukulan telak buat Golkar. Golkar pun menyiapkan balasan. Puluhan artis kondang dikerahkan untuk manggung pada giliran Golkar kampanye pada 18 Maret. Sayangnya, kampanye Golkar berakhir ricuh gara-gara diamuk oleh massa Golkar sendiri yang mengikuti kampanye. Sebanyak 318 orang ditangkap. Dari jumlah tersebut 274 orang dibebaskan karena diprovokasi untuk ikut-ikutan merusuh. Sebagian besar terdiri dari anak-anak pelajar sekolah.
“Berita beredar kampanye Golkar bubar karena kekuatan involutif anak-anak STM yang tidak sudi dipaksa hadir dalam kampanye Golkar. Guru-guru STM mewajibkan siswa-siswanya untuk mengisi daftar hadir di Lapangan Banteng ini yang membuat siswa-siswa STM marah. Berita desas-desus yang disebarkan bahwa saya dalang peristiwa Lapangan Banteng 18 Maret 1982. Tragisnya segelintir orang-orang PPP juga ikut menyebarkan fitnah ini,” tutur Ridwan Saidi dalam Biografi Politikus dan Budayawan Ridwan Saidi yang ditulis Ridwan Saidi bersama Ali Akbar.
Konon kata pakar politik militer Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto, unit intelijen Operasi Khusus (Opsus) bentukan Ali Murtopo membina kelompok kriminal Jawa Tengah yang dikenal sebagai Gali (Gabungan Anak Liar). Mereka kerap dipakai Opsus pada kampanye pemilu untuk meneror saingan-saingan politik pemerintah, terutama dari kalangan Islam politik. Kuat dugaan Ali Murtopo dan kelompok ini berada di balik sabotase kampanye Golkar yang bermuara pada kerusuhan di Lapangan Banteng.
Baca juga: Ali Moertopo “Penjilat” Soeharto
Sementara itu, aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) Budiman Sudjatmiko menyebut kerusuhan dalam kampanye Golkar diprovokasi oleh massa bayaran Ali Murtopo yang dikirim dari Jawa Tengah. Ketika itu, Ali Murtopo menugaskan sebuah organisasi masyarakat untuk menyamar menjadi massa PPP. Dalam bentrokan, para provokator ini melancarkan aksi pelemparan batu dan memukuli massa simpatisan Golkar.
“Insiden Lapangan Banteng membuat banyak aktivis ditangkap. Media massa berusaha mengungkap fakta di balik peristiwa itu. Akan tetapi akhirnya mereka dipaksa menandatangani surat pernyataan bersedia bekerjasama dengan pemerintah. Menteri Penerangan Ali Murtopo kemudian menugaskan media-media massa untuk mengeksploitasi peristiwa ini dengan sejumlah pemberitaan yang mendatangkan simpati kepada Golkar,” terang Budiman dalam Anak-anak Revolusi Jilid 1.
Majalah Tempo jadi media yang ditindak oleh pemerintah karena pemberitaan kritis menyoal Peristiwa Lapangan Banteng. Dalam artikel bertajuk “Huru Hara Lapangan Banteng”, Tempo menyebut kerusuhan di Lapangan Banteng tidak melibatkan PPP secara organisasi. Akibatnya, Tempo dilarang terbit selama dua pekan. Selain itu, kerusuhan dalam kampanye Golkar menjadi kali terakhir Lapangan Banteng dijadikan tempat kampanye. Setelah Pemilu 1982, Lapangan Banteng tidak digunakan lagi oleh partai politik sebagai lokasi pengarahan massa.
Baca juga: Ali Moertopo Moncer di Banteng Raider