Ali Moertopo “Penjilat” Soeharto
Bukannya bungah, pengungkapan silsilah Soeharto dari trah bangsawan malah membuatnya murka. Menyeret nama Ali Moertopo dan operasi khususnya.
RUMOR tentang asal-usul Presiden Soeharto berasal dari keluarga ningrat pernah bikin gempar se-Indonesia. Sebuah majalah hiburan terbitan Jakarta pada 1974 menyebutkan bahwa Soeharto sesungguhnya berayahkan seorang lurah keturunan Sultan Hamengkubuwono II bernama Raden Rio Padmodipuro. Berita itu sempat mencuat ke publik. Alih-alih merasa terhormat dengan status darah biru, Soeharto justru marah dan terusik.
“Di depan wartawan luar dan dalam negeri saya beberkan, saya bukan seorang dari keturunan ningrat. Saya hadapkan dalam pertemuan dengan wartawan-wartawan itu beberapa orang tua, saksi-saksi yang masih hidup yang mengetahui benar silsilah saya. Saya adalah keturunan Bapak Kertosudiro alias Kertorejo, ulu-ulu yang secara pribadi tidak memiliki sawah sejengkal pun,” bantah Soeharto dalam otobiografi Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya yang disusun Ramadhan K.H.
Adalah Majalah POP – singkatan dari Peragaan, Olahraga, dan Perfilman -- Vol. 2, No. 17, Oktober 1974, yang menguak silsilah Soeharto dalam artikel lima halaman berjudul “Teka Teki Sekitar Garis Silsilah Soeharto”. Menurut majalah itu, Raden Rio terpaksa menitipkan istri dan putranya yang berusia enam atau tujuh tahun, Raden Soeharto, kepada seorang penduduk desa bernama Kertorejo karena harus menikah lagi dengan putri seorang wedana yang berpengaruh. Kisah ini didasarkan pada wawancara dengan adik laki-laki Raden Rio, Raden Mas Purbo Waseso (Romo Gayeng) dan saudara iparnya, Sastroatmodjo. Dari pertautan silsilah tersebut, Soeharto, disebut POP, masih terhubung tali kekerabatan dengan Sri Sultan Hamengkubowono IX yang kelak menjadi wakil presiden periode 1973—1978.
Baca juga: Di Balik Heboh Silsilah Soeharto
Bagi Soeharto, pemberitaan soal silsilahnya yang dimuat Majalah POP bukan hanya mengusik tapi sudah melukai harga diri pribadi, keluarga, dan leluhurnya. Lebih lanjut, perkara ini juga dapat menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat. Karena menurut Soeharto, “Berita tersebut menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dalam masyarakat dan membingungkan. Sebenarnya Presiden yang sekarang itu keturunan dari mana?”
“Kalau sudah menimbulkan pembicaraan, timbul kemudian pro dan kontra. Kalau timbul pro dan kontra, dengan sendirinya mereka saling mempertahankan pendapat masing-masing dan bisa terjadi perselisihan. Ini kesempatan yang baik untuk pihak yang melakukan subversi dalam melaksnakan gerpolnya, dan dapat meningkatkan gangguan stabilitas nasional,” terang Soeharto.
Akibat pemberitaan itu, Majalah POP menemui ajal. Pemimpin redaksinya, Rey Hanityo, yang dianggap bertanggung jawab atas pemuatan berita itu dipenjara selama tiga tahun. Di luar redaksi POP, tersebutlah dua nama yang punya kedudukan penting.
Baca juga: Teka-Teki Silsilah Presiden Soeharto
Pertama, Letnan Kolonel Aloysius Soegianto. Perwira intelijen TNI yang punya ketertarikan penerbitan dan pembuatan film ini merupakan pemimpin umum Majalah POP. Namun, dia mengaku tidak tahu-menahu soal pemuatan artikel tentang teka-teki silsilah Soeharto. Alasannya, pada saat yang sama dirinya sedang bertugas dalam persiapan operasi militer ke Timor Timur (kini Timor Leste).
Lalu, atasan Aloysius Soegianto, Mayor Jenderal Ali Moertopo juga sosok yang mendukung penerbitan POP. Sebagai perwira telik sandi berpengalaman, rekam jejak Ali Moertopo mentereng sebagai perancang Operasi Khusus (Opsus). Nama Ali Moertopo pun santer disebut-sebut sebagai inisiator pemberitaan POP sehubungan dengan silsilah Soeharto.
“Moertopo tampaknya memutuskan bahwa Soeharto akan senang jika orang mengetahui bahwa Presiden mereka adalah keturunan bangsawan. Untuk tujuan ini, ia menyarankan agar Soegianto menerbitkan artikel tentang hal itu atau mendukung gagasan tersebut ketika ide itu dibuat oleh orang lain,” catat David Jenkins, jurnalis Australia penulis biografi Soeharto dalam Young Soeharto: The Making of a Soldier, 1921--1945.
Menurut Jenkins, citra Ali Moertopo memburuk setelah Peristiwa Malari 1974 sekaligus merenggangkan hubungan dengan Presiden Soeharto. Dengan pengungkapan asal-usulnya dari trah bangawasan, Soeharto diharapkan bakal senang, sebagaimana raja-raja Jawa tempo dulu yang membutuhkan legitimasi melalui geneologi silsilahnya dari kalangan terhormat. Namun, upaya itu telah menyimpang ke bagian masa lalu Soeharto yang sangat sensitif.
“Mereka ingin menjilat Soeharto sebenarnya, untuk menyenangkan Soeharto,” kenang salah seorang mantan penasihat Moertopo sebagimana dikutip Jenkins.
Jika Ali Moertopo berusaha menyenangkan Soeharto, lanjut Jenkins, maka rencananya gagal total. “Anda mencoba menjilat tetapi ada luka! Jadi Anda menjilati luka itu (dan) itu menyakitkan bagi Soeharto, dengan memujinya dan menunjukkan bahwa ia bukan hanya orang biasa.' Tetapi Soeharto merasa bahwa itu adalah penghinaan, karena itu menghina ibunya,” kata Jenkins bermetafora.
Baca juga: Menelanjangi Silsilah Pribadi Presiden Soeharto
Hubungan Ali Moertopo dengan Soeharto pun tak pernah kembali lagi seperti semula. Jenkins menekankan bahwa Soeharto menganggap Ali Moertopo dan bawahannya di Opsus bertanggung jawab atas artikel POP, dan memang demikian adanya. Hal ini menjadi blunder bagi karier Ali Moertopo selanjutnya.
Kendati sempat berperan dalam operasi invasi Timor Timur pada 1975, menurut pakar politik militer Salim Said, Ali Moertopo dicampakkan begitu saja ketika masa bergunanya bagi presiden sudah habis. Ali Moertopo memang ditunjuk menjadi Menteri Penerangan periode 1978--1983. Setelahnya, Ali Moertopo digantikan oleh Harmoko, seorang tokoh pers yang kabarnya dianggap sebagai penghinaan yang amat menyakitkan Ali Moertopo. Lepas dari kabinet, Ali Moertopo menuduki kursi Dewan Pertimbangan Agung (DPA), tapi tak lama, sebab dia meninggal pada 15 Mei 1984.
“Moertopo bukan saja tidak hati-hati menjaga kesehatannya, lebih penting dari itu, dia juga tidak cukup jeli mempelajari tingkah laku politik Soeharto yang telah didukungnya sejak mereka bersama di Semarang,” ungkap Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar