Golkar Zaman Orba: Panas di Dalam, Adem di Luar
Kendati banyak yang cakar-cakaran, pertikaian di pohon beringin tak kentara dari luar. Tangan kekuasaan Soeharto menutupinya.
SEJAK menang pemilu 1971, persaingan dan perebutan pengaruh terus mewarnai perjalanan Golkar. Khususnya antara kelompok Ali Murtopo dan Pertahanan dan Keamanan (Hankam). Soeharto memegang kendali.
Konflik di tubuh Golkar kian santer dalam Munas II di Bali pada Oktober 1978. “Sejak awal sudah ada indikasi tentang adanya perpecahan internal. Dalam laporan umum tentang Golkar yang disiapkan oleh Amir Murtono, dia cenderung mengesampingkan peranan Trikarya di dalam Golkar,” tulis Leo Suryadinata, sejarawan National University of Singapore.
Melihat gejala perpecahan, Presiden Soeharto berusaha meredamnya. Dia menjabat Ketua Umum Dewan Pembina sejak 1978. Wewenang dan kekuasaannya sangat besar. “Dewan Pembina memiliki kewenangan untuk membatalkan semua keputusan DPP,” tulis Nanang Dwi Prasdi dalam Golkar Retak. Baca juga: Cerita Lawas Golkar Terpecah Belah
Semua masalah internal berpulang pada Soeharto, dibereskan di sana. Dia bahkan bisa menahan gejolak konflik internal Golkar dari amatan pers dan publik.
Pernah ada satu artikel di majalah Topik pada 1981 menyorot kemungkinan terjadinya lebih banyak gesekan dalam Golkar ketimbang partai lain. “Tetapi tidak menjelaskan selain spekulasi meningkatnya persaingan akibat berkurangnya dana dan klik-klik bersaing yang dikaitkan dengan para jenderal berkuasa dalam dewan pembina,” tulis David Reeve.
Situasi berubah memasuki 1992. Militer dan Golkar mulai menjaga jarak. Muncul isu Leonardus Benyamin Moerdani, menteri pertahanan dan keamanan (1988-1993), ingin mengganti Soeharto sebagai presiden. LB Moerdani punya pengaruh kuat di Golkar. Soeharto pun beralih ke kelompok Islam dalam Golkar usungan Habibie. Melalui peran Habibie, Harmoko menjabat sebagai ketua umum Golkar. Harmoko menghentikan dominasi militer di posisi ketua umum. “Biasanya yang menduduki posisi ini berasal dari kalangan militer,” tulis Nanang. Baca juga: Muatan Politik di Balik Soeharto Naik Haji
Konflik dalam Golkar pun berubah menjelang kejatuhan Soeharto pada 1998. Bukan lagi sipil dengan militer, melainkan Habibie dengan Siti Hardijanti Rukmana (Tutut) dan Bambang Trihatmodjo, anak-anak Soeharto.
“Menurut Din Syamsudin, ada beberapa faktor yang membuat Habibie dan anak-anak Soeharto ini tidak utuh lagi,” tulis Nanang. Pertama, banyak penjegalan terhadap bisnis anak Soeharto. Kedua, kecemburuan anak-anak Soeharto terhadap posisi “anak emas” Habibie. Dalam konflik ini, Soeharto berpihak pada anak-anaknya.
Saat Soeharto jatuh, Golkar kehilangan tempat untuk menyelesaikan masalah. “Partai Golkar akan kesulitan menyelesaikan konflik yang melanda tubuhnya karena mekanisme penyelesaian konflik yang demokratis tak pernah dilakukan… Setelah ia lengser tak ada lagi otoritas pemegang hukum besi,” tulis Kompas, 20 Agustus 1999, mengutip Aribowo MA, pengamat politik dari Universitas Airlangga, Surabaya. Baca juga: Golkar Sepeninggal Daripada Soeharto
Tokoh-tokoh utama pun keluar dari Golkar. Musyawarah Kekaryaan Gotong Royong (MKGR), organisasi penyokong Golkar pimpinan Mien Soegandhi, memisahkan diri lalu menjelma menjadi partai baru. Partai baru bentukan kader Golkar bermunculan, biasanya setelah Munas, seperti Partai Karya Peduli Bangsa, Partai Keadilan dan Persatuan (kini Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), dan Partai Nasional demokrat (NasDem).
Pohon beringin tak rindang lagi, kelihatan meranggas.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar