Dari Lapangan Banteng untuk Indonesia
Kementerian Keuangan berkali-kali memodifikasi struktur organisasi dan nomenklaturnya. Perubahan diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dan perkembangan zaman.
HARI masih pagi ketika pesawat Dakota mendarat di bandara Kemayoran, Jakarta, pada 28 Desember 1949. Presiden Sukarno turun dari pesawat menuju mobil berkap terbuka. Bersama Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sukarno bergerak menuju istana. Sepanjang perjalanan, orang berteriak “merdeka!”
Kembalinya Sukarno ke Jakarta, setelah empat tahun menjalankan pemerintahan di Yogyakarta, menandai kembalinya pula para pegawai pemerintah, termasuk dari Departemen Keuangan.
“Pejabat-pejabat keuangan Republik Indonesia berangsur-angsur datang dari Yogya menempati kembali gedung keuangan di jalan Lapangan Banteng Timur No. 4,” catat Tasmuzi Asjaari dan Gatot Sujono dalam “Departemen Keuangan Pada Masa Revolusi” termuat dalam Rupiah di Tengah Rentang Sejarah.
Baca juga: Menghapus Lembaga Keuangan Warisan Kolonial
Banyak pekerjaan menanti menyusul pengakuan kedaulatan melalui Konferensi Meja Bundar (KMB). Tapi jalan menuju pemerintahan sendiri, sesuai cita-cita perjuangan, masih panjang. Sesuai kesepakatan KMB, Republik Indonesia Serikat (RIS) dibentuk yang terdiri dari beberapa negara bagian, termasuk Republik Indonesia. RIS kemudian dibubarkan pada 17 Agustus 1950 dan digantikan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dimulailah era baru. Departemen Keuangan pun mulai menata diri. Pada akhir 1951, struktur organisasi Departemen Keuangan meliputi Kantor Pusat, Thesauri Negara, Direktur Iuran Negara, Jawatan Resi dan Candu, dan Jawatan Pegadaian. Menariknya, Jawatan Pajak, Jawatan Bea dan Cukai dan Jawatan Pajak Bumi justru ditempatkan di bawah koordinasi Direktur Iuran Negara.
“Hal ini dilakukan agar memudahkan penerimaan negara,” sebut Saeful Anwar dan Anugrah E.Y. dalam Organisasi Kementerian Keuangan dari Masa ke Masa.
Baca juga: Kementerian Keuangan di Masa Perang
Struktur organisasi tersebut dinilai lebih efektif untuk bekerja. Tapi hasilnya belum dapat terlihat. Sebab, masa awal 1950-an ini, pucuk pimpinan Departemen Keuangan seringkali berganti mengikuti pergantian kabinet. Umumnya Kabinet hanya bertahan satu sampai dua tahun.
Selain itu, penerimaan negara terutama dari pajak masih belum bisa memenuhi kebutuhan dan pengeluaran yang kian meningkat. Bahkan, sejak 1950 defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terus meningkat. Hal ini memaksa pemerintah bertindak hati-hati.
“Penasehat dan ahli keuangan bangsa Belanda, Amerika dan Jerman silih berganti mendampingi para menteri keuangan,” tulis 20 Tahun Indonesia Merdeka. Kendati demikian, banyak pandangan ahli-ahli keuangan tersebut tak cocok diterapkan di Indonesia.
Pada pertengahan 1950-an, kondisi perekonomian belum juga membaik. Sebagian besar penerimaan negara berasal dari utang luar negeri, yang dipakai untuk menghadapi pemberontakan di daerah maupun proyek-proyek pembangunan.
Di lingkungan Departemen Keuangan terdapat kebutuhan tenaga-tenaga ahli yang sebelumnya dikuasai orang-orang Belanda. Untuk mengisi kekosongan itu, Departemen Keuangan melanjutkan dan meningkatkan kursus-kursus sesuai kebutuhan organisasi. Bahkan pada pertengahan 1950-an muncul akademi-akademi dan perguruan tinggi yang menghasilkan pegawai-pegawai keuangan yang handal dan terampil.
Baca juga: Jejak Direktorat Pajak
Hingga 1959, tak banyak perombakan struktur organisasi Departemen Keuangan. Periode Demokrasi Terpimpin menunjukkan kecenderungan baru. Mulanya susunan organisasi terdiri dari Departemen Pusat, Thesauri Negara, dan jawatan-jawatan/organisasi yang punya susunan vertikal, dan kantor/perusahaan yang tidak punya susunan vertikal.
Kemudian, menyusul regrouping Kabinet Kerja tahun 1962, bidang keuangan dimasukkan dalam wewenang Wakil Menteri Pertama Bidang Keuangan dengan tiga orang menteri: Menteri Urusan Pendapatan Pembiayaan dan Pengawasan (P3), Menteri Urusan Anggaran Negara, dan Menteri Urusan Bank Sentral.
Pemecahan itu bertujuan untuk memecahkan masalah perekonomian setelah Sukarno melemparkan gagasan tentang Ekonomi Terpimpin. “Dengan regrouping ini, terjadi perombakan struktural dalam pengurusan keuangan dan moneter,” tulis Tasmuji Asjaari.
Baca juga: Mengurai Sejarah Lembaga Bea dan Cukai
Pada 1963, menteri keuangan dipecah jadi lima pos. Tiga lainnya tetap, ditambah dua pos Menteri Koordinator dan Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta.
Setahun berikutnya, kompartemen ini berubah lagi. Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta dihapus dan diganti dengan Menteri Iuran Negara. Satu kompartemen baru ditambah, yaitu Menteri Perasuransian.
Pemecahan kompartemen tersebut ternyata tak mampu memecahkan masalah kesulitan ekonomi. Inflasi tetap melambung tinggi, harga-harga kebutuhan pokok sulit turun, dan APBN masih defisit.
Tugas Lebih Luas
Menyusul Peristiwa G30S, pemerintahan Orde Baru muncul dengan mengusung semangat pembangunan ekonomi. Sasaran lainnya: stabilitas intern dan ekstern mata uang dan nilai uang Indonesia dan penyusunan APBN yang berimbang. Karena itu, tugas Departemen Keuangan menjadi lebih luas.
Melalui Keputusan Presidium Kabinet No 15/U/KEP/8/1966, dibentuklah Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan yang merupakan pecahan Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan. Sebagai unit baru, Inspektorat Jenderal bertugas mengawasi semua langkah kerja jajaran internal Departemen Keuangan.
Selain itu, ada penambahan pada Direktorat Jenderal Anggaran (dari 3 menjadi 5), Direktorat Jenderal Pajak (dari 4 menjadi 5), Direktorat Jenderal Bea Cukai (dari 4 menjadi 5), Direktorat Jenderal Keuangan (dari 3 menjadi 5), dan Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara (dari 3 menjadi 4).
Baca juga: Jalan Panjang Penentu Arah Perekonomian
Penataan organisasi juga diikuti oleh rencana perbaikan kualitas pegawai dengan membuka pelatihan-pelatihan yang terkait dengan posisi mereka. Langkah ini diperkuat dengan pembentukan Badan Pendidikan dan Latihan Keuangan (BPLK), Pusat Penelitian dan Pengembangan Keuangan (Pulitbang Keuangan), Kantor Wilayah, dan Pusat Analisa Informasi Keuangan (PAIK). Harapannya, kualitas pegawai keuangan akan merata di setiap daerah.
Upaya-upaya itu berdampak cukup signifikan pada kinerja Departemen Keuangan. Inflasi turun drastis, harga-harga kebutuhan pokok mulai terjangkau rakyat, APBN mulai berimbang, dan peningkatan pada hasil ekspor migas. Ini membuat belanja rutin pemerintah mulai bisa dipenuhi dari pos penerimaan dalam negeri.
Secara bertahap, Orde Baru juga mengerek nilai tabungan pemerintah. Ini peran dari Direktorat Jenderal Pajak serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Direktorat Jenderal Anggaran turut menyumbang penghematan pengeluaran rutin.
Memasuki 1980-an, Departemen Keuangan merombak sejumlah unit dan membentuk unit baru. Antara lain pembentukan Ditjen Moneter, perluasan kerja BPLK, pembentukan Badan Urusan Piutang Negara (BUPN), dan pengalihan tugas Ditjen Pengawasan Keuangan Negara kepada Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Baca juga: Mengurai Sejarah APBN Indonesia
Dekade 1990-an menandai arah baru dalam kerja Departemen Keuangan. Masa ini perekonomian Indonesia sudah lepas dari ketergantungan migas. Ekspor non-migas dan pajak menjadi andalan utama pemasukan negara. Pasar saham juga mulai menggeliat. Pembangunan infrastruktur di daerah berlangsung pesat.
Mengikuti laju ekonomi dan pembangunan yang pesat, Departemen Keuangan berupaya mengikutinya dengan memperbaiki struktur organisasinya. Struktur yang lama seringkali tak bisa dipertahankan lantaran perkembangan zaman lebih cepat daripada struktur organisasi.
Organisasi Modern
Perubahan internal Departemen Keuangan kadang diikuti oleh perkembangan ekonomi yang di luar prediksi. Seperti krisis ekonomi 1998. Krisis ini mengakibatkan perekonomian lumpuh dan Orde Baru tumbang. Kritik terhadap pembangunan yang cenderung memusat dan kinerja birokrat negara yang korup pun berhamburan keluar dalam agenda-agenda reformasi.
Tuntutan pemerataan pembangunan dan reformasi birokrasi, dan transparansi kerja birokrat negara juga menyasar Departemen Keuangan. Karena itulah, semasa reformasi, Departemen Keuangan banyak melakukan penyesuaian. Yang cukup fundamental terjadi pada 2000-2001.
“Antara lain dengan pembentukan Ditjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Ditjen Piutang dan Lelang Negara, Badan Analisa Fiskal, Badan Informasi dan Teknologi Informasi Keuangan, dan Pusat Manajemen Obligasi Negara,” catat Saeful Anwar dan Anugrah E.Y.
Baca juga: Kisah "Debt Collector" Negara
Era reformasi juga mendorong perubahan fundamental pada pengelolaan keuangan negara. Antara lain dengan terbitnya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Paket UU ini menjadi landasan pengelolaan keuangan negara, menggantikan undang-undang warisan Belanda.
Terbitnya paket UU pengelolaan keuangan negara menandai era baru pengelolaan APBN. Jajaran Departemen Keuangan dituntut mewujudkan APBN yang kredibel, transparan, dan akuntabel.
Kemudian pada 2009, keputusan perubahan nomenklatur Departemen Keuangan menjadi Kementerian Keuangan keluar. Perubahan ini mengikuti Peraturan Presiden No. 47 tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara. Perubahan nomenklatur ini bertujuan untuk menajamkan tugas dan fungsi dari masing-masing kementerian beserta unit-unit di bawahnya.
Sebagaimana sejarahnya, Kementerian Keuangan terus mengalami berbagai perubahan secara dinamis dan menjadi organisasi yang modern.
Saat ini, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018,struktur organisasi Kementerian Keuangan meliputi Inspektorat Jenderal, Sekretariat Jenderal, 8 Staf Ahli Menteri Keuangan, Direktorat Jenderal Anggaran, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Badan Kebijakan Fiskal, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Pusat Sistem Informasi dan Teknologi Keuangan, Pusat Pembinaan Profesi Keuangan, serta Pusat Analisis dan Harmonisasi Kebijakan. Masing-masing unit memiliki struktur di bawahnya.
Baca juga: Sejarah Perimbangan Keuangan
Jika menilik bagannya secara keseluruhan, struktur organisasi Kementerian Keuangan terlihat begitu “gemuk” dan kompleks, yang memang dirancang sesuai perkembangan zaman dan tuntutan stakeholder. Bahkan ia merupakan satu-satunya kementerian yang bersifat holding company type department.
Kantor Kementerian Keuangan berada di Jalan Dr. Wahidin Nomor 1 dan Jalan Lapangan Banteng Timur Nomor 2-4, Jakarta Pusat. Keduanya merupakan kompleks yang terdiri dari beberapa gedung yang letaknya saling berseberangan. Kebanyakan instansi setingkat eselon I di bawah Kementerian Keuangan bertempat di lokasi ini.
Sepanjang sejarahnya, Kementerian Keuangan mengambil peranan vital dalam mendukung perjuangan bangsa dan pembangunan ekonomi. Peranan tersebut masih terus berlanjut dalam mengelola keuangan dan kekayaan negara. Wajar jika Kementerian Keuangan disebut sebagai penjaga keuangan negara (nagara dana rakca).
Tambahkan komentar
Belum ada komentar