Sejarah Perimbangan Keuangan
Upaya menghapus ketimpangan ekonomi antara pusat dan daerah butuh waktu yang panjang. Reformasi membuka keran desentralisasi keuangan.
PANDEMI Covid-19 menjadi tantangan utama dalam pemulihan ekonomi. Bukan hanya bagi pemerintah pusat tapi juga pemerintah daerah. Pemerintah memprioritaskan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi. Prioritas yang sama juga diharapkan kepada seluruh pemerintah daerah dalam realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Program-program yang dianggarkan melalui APBD sebagian besar bersumber dari Transfer Ke Daerah dan Dana Desa (TKDD). Karena itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga menekankan pentingnya refocusing anggaran TKDD untuk penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi.
Baca juga: Mengurai Sejarah APBN Indonesia
TKDD terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus Fisik, Dana Alokasi Khusus Non Fisik, Dana Insentif Daerah, dan Dana Desa. TKDD merupakan salah satu instrumen penting dalam APBN. Rasionya mencapai 1/3 dari APBN sejak desentralisasi fiskal dilakukan.
Di dalam struktur organisasi Kementerian Keuangan, eselon I yang memiliki peran strategis dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK). Tugasnya merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perimbangan keuangan.
Desentralisasi fiskal, yang beriringan dengan otonomi daerah, merupakan buah dari reformasi. Kendati demikian, gagasan desentralisasi fiskal sudah muncul jauh sebelumnya.
Masih Sempit
Desentralisasi bukanlah barang baru dalam sejarah keuangan Indonesia. Pada masa kolonial, isu ini sudah dibicarakan. Setelah perdebatan yang alot, terbitlah Undang-Undang (UU) Desentralisasi 1903.
UU Desentralisasi 1903 hanya merupakan amandemen (tambahan) parsial terhadap Regerings Reglement 1854. Penambahan itu adalah pasal 68a, 68b, dan 68c, yang menjadi pijakan bagi setiap residensi (gewest) dan bagian dari gewest untuk memiliki dan mengatur keuangan sendiri serta pembentukan dewan-dewan (raad) di daerah yang berwenang membuat peraturan-peraturan daerah.
“Mengingat konten pasal-pasal tersebut, tidak keliru bila yang tengah terjadi ini adalah desentralisasi anggaran, bukan desentralisasi teritorial semata,” tulis Soetandyo Wignjosoebroto dalam Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia-Belanda.
Baca juga: Menelaah Sejarah Otonomi Daerah
Undang-Undang Desentralisasi 1903 memang masih sempit. Alih-alih membentuk pemerintahan daerah otonomi, ia hanya membentuk dewan-dewan daerah yang bertanggungjawab atas pengelolaan dan penggunaan anggaran dari pemerintah pusat. Keanggotaan dewan-dewan itu pun timpang karena didominasi orang Eropa.
UU Desentralisasi 1903 kemudian diamandemen dan melahirkan UU Pembaruan Pemerintahan 1922 (Bestuurshervormings wet 1922). “Amandemen kali ini dimaksudkan untuk merintis jalan bagi golongan pribumi memperoleh tempat yang lebih besar dalam tata pemerintahan,” tulis Soetandyo
Desentralisasi yang diupayakan selama setengah abad pupus ketika Belanda menyerah kepada Jepang pada 1942. Setelah Indonesia merdeka, desentralisasi dihidupkan kembali.
Dalam UU No. 1/1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah, ide mengenai otonomi daerah yang juga merupakan embrio desentralisasi itu telah terkandung.
Baca juga: Permesta dan Awal Gagasan Otonomi Daerah
Komite Nasional Daerah merupakan Badan Perwakilan Rakyat Daerah yang berfungsi mengatur urusan rumah tangga daerah masing-masing selama tidak bertentangan dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang lebih tinggi. Urusan keuangan diatur dalam Pasal 5 yang berbunyi: “Biaya untuk keperluan Komite Nasional Daerah disediakan oleh pemerintah daerah.”
UU ini diumumkan di Jakarta 23 November 1945 oleh Presiden Sukarno dan berlaku bagi wilayah karesidenan, kota berotonomi, kabupaten dan daerah lainnya yang dianggap perlu oleh menteri dalam negeri. Surakarta dan Yogyakarta tak termasuk di dalamnya.
Pada awal 1947 pemerintah mulai memusatkan perhatian terhadap otonomi dan desentralisasi. Upaya itu mewujud dalam UU No. 22/1948 yang menyebutkan bahwa sebanyak-banyaknya kewajiban (urusan) pemerintah akan diserahkan kepada daerah.
“Undang-undang itu memuat penetapan aturan-aturan pokok mengenai pemerintahan daerah di daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengatur rumah tangganya sendiri dan karena itu lazimnya disebut juga Undang-undang Pokok Pemerintahan Daerah,” tulis buku 20 Tahun Indonesia Merdeka.
Baca juga: Jalan Panjang Penentu Arah Perekonomian
Namun, saat itu sebagian besar daerah di Indonesia sedang diduduki Belanda, sementara Belanda menciptakan negara-negara bagian dari Negara Indonesia Serikat (NIS). “Secara yuridis UU No. 22 Tahun 1948 ada, tetapi peraturan tersebut belum dapat dilaksanakan,” tulis Moh. Khusaini dalam Keuangan Daerah.
Setelah Indonesia kembali ke negara kesatuan, UU No. 22/1948 berlaku sepenuhnya bagi seluruh wilayah Republik Indonesia. Tapi UU ini belum merinci dengan detail perihal desentralisasi keuangan.
Seluas-luasnya
Penyusunan UU yang mengatur otonomi daerah dan perimbangan keuangan dilakukan sejak 1951. Setiap kabinet berupaya menyelesaikannya tapi gagal.
Namun, “setiap kali sudah dapat dicapai taraf tertentu dalam perencanaannya, ataupun dalam taraf pembicaraannya pada Dewan Perwakilan Rakyat, disebabkan pergantian kabinet masalah yang sudah cukup atau telah banyak mendapat pembahasan itu menjadi mentah kembali dan harus lagi ditinjau dari asal permulaan oleh menteri yang mengoper tanggung jawab,” tulis 20 Tahun Indonesia Merdeka.
Setelah sekian lama, penyusunan akhirnya rampung dan diundangkan. Terbitlah UU No. 1/1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. UU ini meletakkan dasar-dasar mengenai sistem perimbangan keuangan, yang kemudian diatur dalam UU No. 32/1956.
Baca juga: Kementerian Keuangan di Masa Perang
UU No. 32/1956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dengan Daerah-Daerah yang Berhak Mengurus Rumah-Tangganya Sendiri mulai digodok pada 1952. Melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 23 April 1952, Panitia Perimbangan Keuangan dibentuk dan diketuai oleh Moh Nasrun, yang menghasilkan UU No. 32/1956.
Sesuai amanat pasal 10 UU No. 32/1956, pemerintah diminta membentuk suatu panitia pertimbangan tentang perimbangan keuangan. Maka, Keputusan Presiden (Keppres) No. 196/1957, dibentuk Panitia Negara Perimbangan Keuangan yang diketuai pula oleh M. Nasroen. Hasil kerja Panitia Negara antara lain beberapa Peraturan Pemerintah (PP) pada 1958, 1959, dan 1960 mengenai penetapan persentase dari beberapa penerimaan negara untuk daerah.
Anggota-anggota Panitia Negara-Nasroen diberhentikan pada November 1960. Sebagai penggantinya, diangkat anggota-anggota baru yang diketuai oleh T.M. Hasan. Sama seperti sebelumnya, Panitia ini menghasilkan PP tentang penetapan persentase dari beberapa penerimaan negara untuk daerah pada 1961, 1962, dan 1963.
Baca juga: Menghapus Lembaga Keuangan Warisan Kolonial
Kendati setiap tahun naik, sumbangan pemerintah pusat kepada daerah-daerah otonom masih belum seperti yang dicita-citakan. Sumbangan pemerintah pusat masih merupakan bagian terbesar penerimaan daerah. “Hal seperti ini sebenarnya bertentangan dengan prinsip otonomi,” tulis 20 Tahun Indonesia Merdeka.
UU No. 32/1956 masih belum memuaskan. Pelaksanaannya belum lancar karena daerah belum punya tenaga teknis dan peralatan yang memadai. Penerimaan uang bagian dari pajak negara sering terlambat, karena menunggu perhitungan Inspeksi Keuangan. Nilainya pun masih kurang sesuai dengan kedudukan daerah. Maka, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) menyarankan agar UU No. 32/1956 disempurnakan agar lebih praktis.
Sesuai saran MPRS, pemerintah membentuk Panitia Negara Urusan Desentralisasi dan Otonomi Daerah yang diketuai oleh R.P. Soeroso. Panitia ini menghasilkan RUU yang diserahkan kepada pemerintah pada 1963.
Baca juga: Pajak Masa Revolusi Kemerdekaan
RUU tersebut memuat ketentuan-ketentuan yang lebih progresif daripada UU Perimbangan Keuangan 1957. Misalnya, penerimaan daerah (tanpa “ganjaran, subsidi dan sumbangan”) diperkirakan 34% dari penerimaan negara. Namun pembahasan RUU dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong (DPRGR) berjalan alot sehingga tak bisa disahkan. Maka, UU No. 32/1956 tetap berlaku.
Sementara yang berhasil disahkan adalah UU No. 18/1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. UU ini cukup menarik karena merumuskan prinsip dasar otonomi daerah adalah “otonomi riil dan seluas-luasnya”. Sayangnya, hanya beberapa minggu setelah disahkan, Sukarno dipaksa mengakhiri kekuasaannya.
Makin Sentralistik
Desentralisasi dan otonomi daerah kembali mengalami masa redup. Melalui Ketetapan MPRS No. XXI/MPRS/1966, pemerintahan Soeharto menegaskan bahwa UU No. 18/1965 harus ditinjau kembali karena dianggap memberi kekuasaan dan otonomi terlampau besar kepada daerah.
Sebagai gantinya, terbit UU No. 5/1974 tentang Pemerintah Daerah, yang mengedepankan mantra khas Orde Baru, yakni persatuan dan stabilitas politik, demi “otonomi daerah yang nyata, dinamis, dan bertanggung jawab”. Praktis, selama Orde Baru, tak ada desentralisasi dan otonomi daerah yang signifikan.
Pada masa ini, dikeluarkan UU No. 5/1974 mengenai Pemerintah Daerah. Namun kendali Soeharto yang otoriter membuat UU ini tampak tak ada gunanya. Politik pembangunan Soeharto yang mengabaikan ekonomi kerakyatan makin menjauhkan Indonesia dari pemerataan ekonomi, terlebih di daerah-daerah luar Jawa.
Baca juga: Jejak Direktorat Pajak
UU No. 5/1974 juga tidak dengan tegas memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerah. Pemerintah pusat masih memegang kendali dana pembangunan sehingga pemerintah daerah tidak bisa mengaturnya sendiri.
M. Ryaas Rasyid dalam “Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya” yang termuat dalam Desentralisasi dan Otonomi Daerah, menyebut paradigma pembangunan Orde Baru menuntut sistem perencanaan yang terpusat. Hal ini menyebabkan penyeragaman sistem organisasi pemerintah daerah dan manajemen proyek yang dikembangkan daerah.
“Akibat dari penerapan pendekatan terpusat itu adalah semakin kuatnya ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat. Inilah akar dari hubungan pusat-daerah yang bersifat patronase,” jelas Ryaas Rasyid.
Sistem ekonomi sentralistik ini berlangsung sepanjang Orde Baru. Pemerintah memperlebar ketimpangan antara pusat dan daerah hingga Soeharto lengser dari kekuasaan.
Baca juga: Mengurai Sejarah Lembaga Bea dan Cukai
Perihal desentralisasi mulai menjadi perhatian lagi pasca Reformasi. Urusan kewenangan daerah diatur melalui UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini menyerahkan kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. Hal ini melahirkan desentralisasi yang luas dan bertanggung jawab.
“Sumber pembiayaan daerah dalam rangka perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan,” tulis Moh. Khusaini.
Sumber-sumber pembiayaan pelaksanaan desentralisasi terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah, dan lain-lain penerimaan yang sah.
Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah, perlu diatur perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Terbitlah UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Secara umum, tujuan utama otonomi daerah adalah memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola keuangannya secara mandiri sesuai kebutuhan masing-masing daerah.
Baca juga: Surat Utang Membangun Negeri
Sesuai Keppres No. 165/2000, Kementerian Keuangan ditugaskan untuk menyelenggarakan fungsi pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Maka, dibentuklah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (DJPKPD) melalui KMK-02/KMK.1/2001.
“DJPKPD diberi tugas untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah,” tulis Saeful Anwar dan Anugrah E.Y. (ed.) dalam Organisasi Kementerian Keuangan dari Masa ke Masa.
Susunan awal DJPKPD terdiri dari Sekretariat Direktorat Jenderal, Direktorat Pendapatan Daerah, Direktorat Dana Perimbangan, Direktorat Pembiayaan dan Pinjaman Daerah, serta Direktorat Evaluasi Pembiayaan dan Informasi Keuangan Daerah.
Menuju DJPK
Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000 dan Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2002 merekomendasikan kepada pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat agar melakukan perubahan yang bersifat mendasar dan menyeluruh terhadap UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999.
Sementara di sektor keuangan, desentralisasi makin terwujud melalui paket UU, yaitu UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Munculnya UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah kemudian melanjutkan cita-cita desentralisasi. UU ini memberikan kewenangan kepada daerah untuk menyelenggarakan seluruh fungsi pemerintahan, kecuali kewenangan pemerintah di bidang pertahanan, keamanan, politik luar negeri, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama.
Sejalan dengan amanat Ketetapan MPR dan adanya perkembangan dalam peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara, UU No. 25/1999 perlu diperbaharui dan diselaraskan dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Baca juga: Kisah "Debt Collector" Negara
Tanggung jawab pemerintah daerah mengelola keuangannya sendiri makin jelas melalui terbitnya UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Disebutkan bahwa penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi meliputi pendapatan daerah dan sumber pembiayaan.
“Pendapatan daerah terdiri atas PAD, dana perimbangan dan lain-lain, sedangkan sumber pembiayaan adalah sisa lebih perhitungan anggaran daerah, penerimaan pinjaman daerah, dana cadangan daerah, dan hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan,” tulis Tjip Ismail dalam Potret Pajak Daerah di Indonesia.
UU No. 33/2004 menyatakan bahwa, dengan adanya desentralisasi fiskal, pemerintah daerah berhak mengatur susunan pendapatan dan pengeluaran yang dibutuhkan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam bentuk APBD. Agar pemerintah daerah dapat memberikan pelayanan publik secara lebih efektif dan efisien harus didukung oleh sumber-sumber keuangan yang mencukupi, baik dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, pinjaman, maupun bantuan dari pemerintah pusat atau daerah Lainnya.
Dana perimbangan yang digelontorkan oleh pusat kepada daerah berbentuk antara lain Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH). Pemberian dana perimbangan diharapkan dapat menumbuhkan perekonomian daerah dan mewujudkan otonomi daerah. Secara bertahap pemerintah daerah dapat mandiri dan menutup pengeluarannya dari PAD. Nyatanya, hal ini belum bisa terlaksana. Ketergantungan daerah terhadap alokasi anggaran dari pusat masih cukup tinggi.
Baca juga: Membangun Kader Keuangan
Pada tahun yang sama, DJPKPD mengalami perombakan. Melalui Keppres No. 36/2004, tugas dan fungsi DJPKPD digabungkan dengan dua unit eselon I lainnya. Bersama Badan Analisa Fiskal menjadi Badan Pengkajian Ekonomi Keuangan dan Kerjasama Internasional (BAPPEKI). Sedangkan bersama Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) menjadi Direktorat Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan (DJAPK).
DJAPK menjalankan fungsi penyusunan anggaran yang sebelumnya tersebar pada beberapa lembaga, yakni Direktorat Jenderal Anggaran (DJA), DJPKPD, Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan (DJLK) dan Badan Analisis Fiskal (BAF). Hal ini dilakukan karena tuntutan pemisahan antara fungsi penyusunan anggaran fungsi pelaksanaan anggaran agar tercipta check and balance.
“DJAPK mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang fiskal dan kerangka ekonomi makro, anggaran pendapatan dan belanja negara, perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, penerimaan negara bukan pajak, dan pembinaan keuangan Badan Layanan Umum,” tulis Saeful Anwar dan Anugrah E.Y.
Reorganisasi kembali terjadi pada 2007. DJAPK dipecah menjadi Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK). Hal ini dilakukan karena tugas dan fungsi DJAPK dinilai sangat kompleks. Fungsi-fungsi yang sebelumnya digabung dengan BAPPEKI dikembalikan.
DJA bertugas menyiapkan kerangka ekonomi makro, menyusun nota keuangan dan APBN/APBN-P, merumuskan dan melaksanakan kebijakan penganggaran kementerian/lembaga serta merumuskan kebijakan dan pelaksanaan penerimaan negara bukan pajak. Sementara DJPK bertugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang perimbangan keuangan.
DJPK memiliki peran strategis dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia. Melalui PMK 217/PMK.01/2018, DJPK menyempurnakan bentuk organisasi mengingat tanggung jawab dan tantangan semakin besar dan beragam serta dalam rangka mewujudkan organisasi yang lebih dinamis dan mampu menjawab kebutuhan para pemangku kepentingan.
Untuk meningkatkan kompetensi dan kualitas pegawai DJPK, dibentuk pula Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kekayaan Negara dan Perimbangan Keuangan pada 2008.
Hingga kini, DJPK terus menjalankan tugas dan fungsi agar desentralisasi keuangan terlaksana sebagai bagian dari pemerataan ekonomi serta menghapus ketimpangan antara pusat dan daerah.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar