BUDIDAYA lada (Piper nigrum) di Lampung saat ini cenderung berkurang. Menurut penelusuran Abd Rachman Hamid, pengajar sejarah Universtas Islam Negeri Radin Intan, dan kolega penelitinya di Lampung, saat ini perkebunan lada Lampung masih ada di daerah Sukadana, Lampung Timur.
Lampung Timur dan Selatan yang tanahnya relatif rendah, kemungkinan daerah penanaman lada. Terlebih, keduanya lebih dekat dengan Banten.
Banten adalah kerajaan penting di ujung barat pulau Jawa di masa lalu sekitar abad ke-16 hingga ke-17. Pengaruhnya tak hanya di sekitar bagian barat Jawa, tapi juga sampai ke Sumatra. Letak Banten cukup strategis karena berada di persimpangan jalur pelayaran laut Jawa, Laut Cina, dan Samudra Hindia. Banten merupakan kerajaan yang maju dalam perdagangan, dengan pedagang Islam begitu berpengaruh di dalamnya. Antara abad ke-16-ke-17, Banten terlibat dalam perdagangan lada.
“Pembelian lada di Banten dari para petani dilakukan melalui pedagang perantara,” catat Djoko Marindahono dan Bondan Kanumuyoso dalam Rempah, Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Nusantara.
Baca juga: Menelusuri Jalur Rempah dari Nusantara Menuju Dunia
Ketika kebutuhan lada meningkat di awal 1600, Kesultanan Banten berusaha memproduksi lada lebih banyak daripada sebelumnya. Lada yang ditanam kemudian tak hanya berasal dari Jawa bagian barat saja tapi juga dari bagian selatan Sumatra, yakni Lampung.
Ketika boom lada itu, Lampung merupakan daerah kekuasaan Banten. P Swantoro dalam Perdagangan Lada Abad XVII mencatat bahwa Lampung diduduki Banten ketika Banten dipimpin Sultan Maulana Hasanuddin. Lada dari Sumatra bagian selatan pun menjadi penting bagi Banten. Di Lampung, seperti di Palembang, lada ditanam di hutan. Penanaman lada dikerjakan setelah tanahnya dijadikan ladang padi terlebih dulu.
Ambisi Kesultanan Banten demi menjual lada lebih banyak membuat laki-laki di Lampung mendapatkan wajib kerja. Jadi, sultan Banten mendahului Van den Bosch dalam perkara tanam paksa.
“Tahun 1570 di zaman Maulana Yusuf, Banten memerintahkan rakyat Lampung, bagi laki-laki yang sudah berkeluarga diharuskan menanam lada sebanyak 1000 pohon. Kalau masih bujangan menanam 500 pohon,” catat Akhmad Sadad dalam Kerajaan Tulang Bawang, Rangkaian Sejarah yang Hilang.
Baca juga: Jaringan Intelektual dan Spiritual dalam Jalur Rempah
Lada-lada yang dipanen orang Lampung tentu wajib dijual kepeda Kesultanan Banten. Demi kelancaran penanaman dan kekuasaan yang tabil di Lampung, Sultan Maulana Yusuf mengangkat Jenjem pertama di Lampung. Jabatan itu semacam wakil sultan Banten terkait perdagangan hasil bumi. Sultan Banten yang gila lada itu memberi hadiah gelar bagi penyetor lada kepada pejabat yang menyetor. Gelar kehormatan itu diberikan pangeran atau tumenggung. Jumlah lada yang disetor mempengaruhi gelar yang diperoleh.
“Bila terjadi konflik antara para pemuka adat di Lampung, lalu kemudian mereka ke Banten untuk meminta jalan penyelesaian, karena bagaimanapun Banten membawahi Lampung saat itu, kalau ada masalah akan dibawa ke Banten. Maka penyelesaian yang akan dilakukan oleh penguasa Banten adalah sangat bergantung kepada berapa banyak lada yang dibawa,” kata Abd Rachman Hamid.
Jumlah lada amat berpengaruh terhadap posisi yang akan diraih dari persengketaan mereka. Siapa yang paling banyak mebawa lada, akan memenangkan perkara.
“Itulah cara agar lada yang bukan tanaman asli lokal dapat dubudidaya,” sambungnya.*