Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato kenegaraan dalam sidang tahunan MPR RI dan sidang bersama DPR dan DPD RI pada 16 Agustus 2021. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Jokowi memakai pakaian adat. Kali ini pakaian adat suku Baduy atau Kanekes yang terletak di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Dari empat tugas hidup masyarakat Baduy, salah satunya berkaitan dengan pemerintah, yaitu ngasuh ratu ngajayak menak (mengasuh penguasa dan mengemong para pembesar negara).
"Oleh karena itu, mereka tabu melawan atau memberontak kepada pemerintah 'yang harus diasuh dan dibimbingnya'. Keyakinan terhadap tugas tersebut tidak pernah luntur ataupun berubah sekalipun terjadi pergantian pemerintahan," tulis Toto Sucipto dan Julianus Limbeng dalam Studi Tentang Religi Masyarakat Baduy di Desa Kanekes Provinsi Banten.
Baca juga: Beban Berat Lestarikan Adat Baduy
Dengan demikian, hubungan Baduy dengan pemerintah daerah dan pusat terjaga dengan baik. Sebagai wujud hubungan baik itu, mereka memiliki tradisi seba, yaitu upacara adat tahunan menghadap pemerintah daerah Lebak dan Banten untuk mempersembahkan hasil pertanian. Mereka datang berduyun-duyun dengan berjalan kaki sebagai ciri khasnya menuju pendopo kabupaten dan provinsi.
Di samping acara seba yang diikuti ratusan sampai ribuan orang Baduy, dalam keadaan tertentu pemimpin adat (puun) biasa mengirim utusan untuk menghadap presiden. Dan utusan Baduy beberapa kali bertemu Presiden Sukarno.
Pada 1950, Sukarno menerima dua orang Baduy di Istana Negara, Jakarta. Foto pertemuannya tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia. Foto lain koleksi Yayasan Idayu yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia menunjukkan Ibu Negara Fatmawati hadir dalam pertemuan itu.
Tahun berikutnya, pada 1951, dalam kunjungan kedua kalinya ke Banten, Sukarno juga bertemu utusan masyarakat Baduy. Berikutnya, pada 3 Juli 1954, Sukarno menerima utusan Baduy bernama Saltiwin dan Darjeuni di Istana Bogor.
Baca juga: Mang Odon di Tanah Kebuyutan Baduy
Pikiran Rakjat, 22 Juli 1954, sebagaimana dimuat dalam blog Sekecap, menyebutkan bahwa utusan Baduy itu meminta supaya leuweung (hutan) titipan kebuyutan (leluhur yang keramat) mereka dilindungi dari penyerobotan yang dilakukan orang luar. Peristiwa penyerobotan itu mengakibatkan rusaknya stroomgebied (Daerah Aliran Sungai) Kali Ciujung yang meliputi kawasan Lebak dan sebagian Kabupaten Bogor. Hal itu terjadi sejak berapa tahun sebelumnya. Permintaan itu berulang kali disampaikan dalam dua tahun kepada Jawatan Kehutanan, pamongpraja, dan Kementrian Dalam Negeri.
Berita Antara, 22 Juli 1954, melaporkan dalam Agustus 1952 Sekretaris Jenderal Dalam Negeri mengeluarkan larangan supaya hutan Baduy tidak diganggu dan dijadikan huma (lahan untuk menanam padi) secara liar oleh rakyat. Pada 1953, beberapa orang dihukum karena menyerobot hutan. Namun, perusakan hutan tetap terjadi hingga 1954. Hutan seluas 500 hektar dalam wilayah Baduy digunduli. Itu sebabnya mereka melaporkan langsung ke Sukarno.
Baca juga: Pabrik Senjata di Rangkasbitung
Berita pertemuan itu juga dimuat dalam majalah Warga. Melalui majalah inilah, Ayatrohaedi, arkeolog, linguis, dan peneliti sejarah Sunda, mengenal masyarakat Baduy.
"Gambar yang muncul dalam tulisan yang dimuat majalah Warga itu adalah beberapa orang Baduy yang berpakaian serba hitam, memakai destar, bertelanjang kaki, bersama dengan Bung Karno," kata Ayat dalam memoarnya 65=67: Catatan Acak-acakan dan Cacatan Apa Adanya.
Ada bagian dari tulisan itu yang menghentak Ayat bahwa "pada saatnya nanti, bahasa Sunda, akan naik derajatnya, sejajar dengan bahasa lain. Begitu keyakinan orang Baduy itu." Orang Sunda harus ngamumule (menghidupkan) bahasanya jika ingin naik derajat. Selain kata "aing", yuk kenalkan kata-kata Sunda lain!
Kendati telah mengenal suku Baduy sejak tahun 1950-an, Ayat baru bertemu langsung dengan mereka pada tahun 1967. "Perkenalan jasadiku dengan orang Baduy menyebabkan aku merasa kian kerdil sebagai orang Sunda," kata Ayat yang kemudian menjadi guru besar arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Orang Baduy kembali bertemu dengan Sukarno pada 29 Maret 1957 ketika Sukarno berkunjung ke Rangkasbitung (Lebak), Banten.
Baca juga: Perang Koncang di Rangkasbitung
Partaatmadja, staf direktorat publikasi departemen penerangan, yang mengikuti kunjungan itu melaporkan dalam Mimbar Penerangan, Tahun VIII, No. 4, April 1957: "Setelah kurang lebih tujuh tahun tak bertemu dengan rakyat Rangkasbitung, Bung Karno merasa sono (kangen), demikian pula sebaliknya rakyat Rangkasbitung merasa sono pula dengan Bung Karno."
Sebelum menyampaikan pidato dalam rapat umum "Persatuan" di alun-alun Rangkasbitung, Sukarno menemui utusan Baduy sebanyak tujuh orang yang diketuai oleh Pak Hasan, mantan lurah di daerah Baduy, dan Pak Katje.
"Sampaikanlah salamku kepada saudara-saudara lainnya dari Baduy yang tak dapat hadir," kata Sukarno kepada Pak Hasan.
Sukarno merupakan presiden yang paling dikenang oleh masyarakat Baduy. Mereka beberapa kali bertemu. Sehingga mereka punya joke soal presiden, sebagaimana dicatat budayawan Radhar Panca Dahana: “Presiden saya Soekarno, kalau Pak Harto kan cuma penggantinya.”
Ketika berkunjung ke Baduy Dalam pada 2015, Gubernur Banten Rano Karno membuktikannya. "Di sana, tak seorang pun yang kenal saya…Tetapi, yang mengagetkan saya, ada warga Baduy yang menyimpan dan memasang foto Presiden Sukarno ketika bertemu masyarakat Baduy tahun 1950-an," kata Rano dikutip J. Osdar dalam tulisannya, "Rano, Jokowi, dan Badui", Kompas, 21 April 2015.
Baca juga: Museum Multatuli dari Rangkasbitung untuk Dunia
Presiden Soeharto sendiri pertama kali menerima utusan Baduy bernama Jaro Nakiwin di Bina Graha pada 27 Mei 1985. Dia didampingi Aspan Sudiro, staf Menko Kesra.
Nakiwin menyampaikan bahwa masyarakat Baduy ingin hidup tentram dan damai dengan menjalani hidup sesuai adat dan istiadat. Oleh karena itu, masyarakat Baduy memohon kepada pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap hutan, sumber air, dan lingkungan hidup mereka dari berbagai usaha perusakan. Ini harapan semua masyarakat adat. Bisakah pemerintah?