MENGENAKAN baju adat Baduy berwarna putih atau jamang kurung bodas, lengkap dengan ikat kepala putih, Don Hasman, fotografer-cum-pecinta alam, menyapa kolega-koleganya yang datang pada peluncuran bukunya, Urang Kanekes: Baduy People di Restoran Kunstkring Paleis, Menteng, Jakarta Pusat (29/5).
Sekira 38 tahun lalu, Don memulai perjalanannya ke Baduy. Didasari semangat meneliti keunikan suku Baduy, dia rela mengorbankan waktunya dengan keluarga. “Baduy sulit dipelajari, dan perlu berkorban untuk meneliti dengan intensif dan dengan metodologi penelitian yang benar,” ujar Don.
Buku Urang Kanekes: Baduy People terbagi dalam dua tema. Pertama hasil pengamatan Don tentang sisi antropologi dan sosiologis masyarakat Baduy, dari sejarah, siklus kehidupan, hingga hubungan dengan pemerintah kabupaten dan provinsi atau disebut seba.
“Seba terbagi menjadi dua, yaitu seba gede, memberikan berbagai macam hasil pertanian yang ditaruh dalam dulang, sebuah mangkuk kayu besar. Kedua, seba leutik, penyerahan hasil pertanian, namun lebih sedikit dan tanpa dulang,” tulis Don.
Bagian kedua adalah tulisan dari Filomena Reiss, yang meneliti kain yang dikenakan masyarakat Baduy. Seperti kain boeh rarang yang hanya boleh ditenun perempuan dewasa.
Menurut Don, Baduy adalah sebutan bagi sekelompok masyarakat yang mendiami dusun-dusun di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Wilayah Desa Kanekes ini terletak di pegunungan Kendeng dengan ketinggian 150-700 meter di atas permukaan laut.
Masyarakat di Kanekes sendiri tidak suka disebut Baduy, seperti ditulis Edi S. Ekadjati dalam Kebudayaan Sunda Suatu Pendekatan Sejarah, karena menyamakan mereka dengan suku Badawi dari jazirah Arab, dan lebih menyukai disebut urang Kanekes. Namun, masyarakat umum kadung menyebut mereka dengan sebutan Baduy.
Urang Kanekes ini juga menolak ketika dikaitkan dengan pelarian dari Kerajaan Padjadjaran. Mereka, tulis Cecep Eka Permana dalam Kesetaraan Gender dalam Adat Inti Jagat Baduy, merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala (kawasan suci) secara resmi oleh raja, dan berkewajiban memelihara kabuyutan (nenek moyang) Sunda Wiwitan, yang sekaligus menjadi agama asli mereka.
Populasi warga Baduy pada 2010, berjumlah 11.183 jiwa, mendiami wilayah seluas 5.130 hektar. Mereka terbagi menjadi tiga kelompok: Baduy Dalam (urang tangtu), Baduy Luar (urang panamping), dan masyarakat di luar wilayah Kanekes (urang pajaroan). Untuk membedakannya, yang paling mudah melalui pakaian. Urang tangtu identik dengan pakaian warna putih, sedangkan urang panamping mengenakan pakaian dominan hitam.
Bagi masyarakat Baduy, tanah yang mereka diami adalah tanah titipan yang tidak dapat diubah oleh siapapun dan sampai kapanpun. “Lokasinya ini sakral. Baduy itu seperti negara sendiri,” ujar Don.
Buku setebal 109 ini merupakan dokumentasi foto dan tulisan mengenai suku Baduy, hasil kerja bareng Don Hasman dan Filomena Reiss, peneliti tekstil asal Filipina. “Tidak semua foto saya tampilkan di sini, sekitar 40 foto saja,” kata Don.