Masuk Daftar
My Getplus

Menjegal Multatuli

Meski antikolonialisme, film Max Havelaar ternyata sempat dilarang di Indonesia. Sebagian orang Indonesia tak menyukainya.

Oleh: Petrik Matanasi | 25 Apr 2024
Seminar ?Menyimak Ulang Film Max Havelaar? di Pendopo Museum Multatuli, Rangkasbitung, 24 April 2024 (Ubaidillah Muchtar/Museum Multatuli)

Akhirnya dia menginjakkan kakinya lagi di Jawa bagian barat. Dia bertemu lagi dengan makanan-makanan Indonesia, yang tidak asing bagi perutnya. Kali ini dia menyantap masakan Padang di kota Rangkasbitung setelah hampir setengah abad sejak dia berada di Banten sewaktu masih sangat muda.

“Aku masih 14 tahun ketika itu,” ujar Fond Rademaker Jr. di sela-sela pemutaran film Max Havelaar: Saidjah dan Adinda (1976) pada Rabu, 24 April 2024, malam di Pendopo Museum Multatuli, Rangkasbitung, Banten.

Ia ikut dalam rombongan pembuat film dari Belanda yang hendak mengambil gambar untuk film tersebut. Fond Rademaker Jr. menjadi fotografer set film tersebut. Itu pengalaman pertamanya sebagai fotografer perfilman.

Advertising
Advertising

Putra dari sutradara Alphonse Marie Rademaker (1920-2007) alias Fond Rademaker senior yang menyutradarai film tersebut, pada Kamis, 25 April 2024 ini ikut menjadi pemantik seminar “Menyimak Ulang Film Max Havelaar” yang diadakan di Pendopo Museum Multatuli. Dalam seminar, dia bercerita banyak tentang pembuatan film ini.

Fons Rademakers dan timnya melakukan pengambilan gambar film tersebut selama enam bulan. Kebanyakan dilakukan pada malam hari. Beberapa properti seperti pendopo penyambutan Max Havelaar dibuat khusus di sekitar tempat pengambilan gambar. Pengambilan gambar film itu sendiri sebagian dilakukan di Cirebon lantaran ada bangunan tua yang cocok dengan suasana era 1850-an.

Orang-orang Indonesia tentu dilibatkan dalam pembuatan Havelaar: Saidjah dan Adinda. Film ini tak punya fotografer resmi. Foto yang diambil Fons jr. pun akhirnya banyak dipakai koran-koran Belanda.

Film Max Havelaar: Saidjah dan Adinda dianggap sebagai diplomasi kebudayaan Belanda yang ingin memperbaiki hubungan Indonesia-Belanda. Max Havelaar adalah judul novel dan film yang berdasar kisah Multatuli alias Eduard Douwes Dekker (1820-1887). Multatuli kerap diartikan sebagai “Aku yang banyak menderita.”

Film tentang kesewang-wenangan pemerintah kolonial Hindia Belanda ini anehnya sempat dilarang tayang di Indonesia. Film ini dianggap kurang menonjolkan perjuangan rakyat Indonesia.

Awalnya, David Albert Peransi diajak menjadi asisten sutradara film tersebut. Peransi tak ingin sekadar jadi pembantu dan sangat ingin mengamankan visi film ini bagi Indonesia. Konon, keberadaan Peransi membuat izin film ini terbit.

Treatment yang dikarang oleh Soeteman berpegang teguh pada pada isi buku Max Havelaar,” catat Daniel Albert Peransi di Suara Pembaharuan tanggal 14 Desember 1987). 

Maksud Treatment itu sendiri adalah: bentuk dasar dari skenario sudah dengan gambaran dan urutan adegan-adegan. Lantaran tidak berdasar visi yang disampaikan Peransi, Peransi pun angkat kaki dari proyek ini.

“Film itu tetap dibuat, dilarang beredar oleh Badan Sensor di bawah pimpinan Bapak Sumarmo,” kata Peransi.

Beberapa pihak mengatakan, film Max Havelaar: Saidjah dan Adinda merusak pikiran generasi muda karena menonjolkan Belanda. Peransi sendiri bilang, “Max Havelaar adalah mitos Belanda yang membuat kita terkecoh.”

Setelah film rampung, perjuangan orang Indonesia tak menonjol. Memang digambarkan bagaimana tentara kolonial Hindia Belanda bersenjata lengkap menghabisi perlawanan rakyat bersenjata golok di dalamnya, namun jelas terlihat dalam film ini kejahatan elit priyayi bumiputra bersama pegawai-pegawai Belanda.

Kuasa Badan Sensor Film (BSF) sangat besar di dunia hiburan. Film ini pun tak bisa tayang di Indonesia, bahkan di Lebak yang notabene setting latar tempat kejadian dari cerita Max Havelaar ini. Selama lebih dari satu dekade, film antikolonial ini tak bisa tayang di Indonesia. Namun, ganti anggota ganti pikiran. Pada 1987, film Max Havelaar: Saidjah dan Adinda diloloskan BSF. Alhasil lebih banyak orang yang menontonnya.

Beberapa anak muda lalu menggalakkan pemutaran film ini ketika zaman makin canggih. Ubaidillah Muchtar salah satunya. Dari tahun 2010 hingga 2014, dia sering melakukan pemutaran di sekitaran Lebak. Dimulai di Desa Ciseel.

“Saya setiap tahun mengadakan (pemutaran) film ini sampai 2014,” aku Ubaidillah Muchtar yang kini kepala Museum Multatuli.

Bagi Ubaidillah, memutarkan film Max Havelaar: Saidjah dan Adinda sangat penting sekali untuk masyarakat Lebak. Agar setidaknya mereka bisa memahami sejarah mereka. Malam sebelum seminar filmnya diadakan, film Max Havelaar: Saidjah dan Adinda untuk ke sekian kalinya diputar di Lebak.

TAG

multatuli max havelaar eduarddouwesdekker lebak sejarah banten anti kolonialisme kopinusantara

ARTIKEL TERKAIT

Kisah Bupati Sepuh Nobar Film Terlarang di Rangkasbitung Menggoreskan Kisah Tragis Adinda dalam Lukisan Mengeksplorasi Max Havelaar lewat Karya-karya Seni Rupa Multatuli dalam Bingkai Kritik Pascakolonial Hitam Putih Baju Baduy Sukarno dan Baduy Membuka Mata dan Hati Setelah Multatuli Pergi Van Halen, Van Banten Perang Koncang di Rangkasbitung