Masuk Daftar
My Getplus

Nobar Film Terlarang di Rangkasbitung

Kendati sudah nyaris setengah abad, film Max Havelaar yang berkisah tentang derita rakyat Lebak masih aktual. Banyak fenomena sosial dari masa lebih dari seabad lalu yang masih terjadi sekarang.

Oleh: Petrik Matanasi | 25 Apr 2024
Suasana nobar film Max Havelaar di pendopo Museum Multatuli, Rangkasbitung. (Museum Multatuli/Historia)

Tua-muda, pria-wanita, bule-kulit berwarna, semua “tumplek-blek” jadi satu mengarahkan pandangan mereka ke sebuah layar putih bujur sangkar di depan. Tak ada kesan formal sama sekali. Banyak yang di bagian depan, termasuk seorang bule, duduk berselonjor kaki di atas hamparan karpet hijau. Itulah suasana “Nonton Bareng Film Max Havelaar: Saidjah dan Adinda (1976) karya Sutradara Fons Rademakers” di Pendopo Museum Multatuli, Rangkasbitung, Rabu (24/4/24) malam.

Pemutaran film berlangsung dari pukul 19.00 hingga 21.30 WIB. Acaranya dihelat Museum Multatuli Lebak bekerjasama dengan Historia.id dan Arjanodw Foundation. Dalam pemutaran film ini, hadir Fonds Rademaker Jr., yang dulu ikut serta dalam pembuatan film tersebut.

Film ini melibatkan beberapa aktor-aktris senior yang bermain dengan baik seperti Maruli Sitompul yang berperan sebagai Demang Parangkujang, Rima Melati sebagai Nyonya Slotering, Sofia WD sebagai pembantu rumah tangga Max dan Elang Ademan Soesilaningrat yang berperan sebagai bupati Lebak. Beberapa pemeran film ini berhasil ditemui Arjan Onderdenwijngaard, sineas yang ikut mendukung acara. Sejak lama, Arjan yang juga seorang aktor ini juga menelusuri jejak Max Havelaar. Ia pernah ditemui seseorang bernama Haji Sapari, yang mengaku memerankan kakak Saidjah yang kepalanya ditembak serdadu kompeni.

Advertising
Advertising

Film Max Havelaar: Saidjah dan Adinda dibuka dengan scene pemandangan pagi alam tropis Nusantara, lalu diikuti suara tiupan terompet militer yang memainkan sedikit potongan lagu “Wilhelmus van Nassau” dengan agak loyo. Kemudian terlihat Saidjah menggembala kerbaunya yang bernama Pantang.

Meski dikenal payah dalam membajak sawah, si Pantang berhasil menanduk mati seekor harimau. Rupanya bukan harimau yang kejam kepada masyarakat Lebak, tetapi penguasanya.

Baru juga sekali menunjukkan kehebatannya, Pantang malah dirampas seorang priyayi untuk bupati. Mungkin hendak dijadikan santapan. Ketika kakak Saidjah menuntut si Pantang dikembalikan dengan mengangkat cangkul, pemuda itu tertembak peluru seorang serdadu kompeni HIndia Belanda. Begitulah adegan-adegan awal film Max Havelaar (1976).

Max Havelaar: Saidjah dan Adinda berdasar novel berjudul sama karangan Multatuli alias Eduard Douwes Dekker (1820-1887). Novelnya terbit dengan judul Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij —artinya: Max Havelaar, atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda—pertama kali pada 1860 di Negeri Belanda. Novel ini bercerita tentang perjalanan dinas pegawai negeri kolonial bernama Max Havelaar selama berada di Kabupaten Lebak.

Max Havelaar adalah asisten residen di Lebak. Max menggantikan pejabat sebelumnya yang bernama Slotering, yang meninggal dunia setelah makan malam bersama bupati Lebak. Isitilah bupati di zaman itu adalah Adipati. Kisah ini terjadi sekitar 1855.

Di dunia nyata, antara 1830 hingga 1865, adipati Lebak dijabat oleh Raden Tumenggung Adipati Kartanata Negara.

Selama bertugas di Lebak, Max sering berhadapan dengan bupati. Max yang naif sadar Lebak adalah daerah yang miskin. Kopi adalah komoditas penting di daerah ini. Kala itu pemerintah kolonial sedang menggalakkan tanam paksa (Cultuur Stelsel) di Nusantara. Sistem tanam paksa memberatkan petani. Sebab, seperlima hasil tanam harus diserahkan kepada pemerintah kolonial. Selain meladeni pemerintah dengan hasil tanam paksa, petani juga masih harus meladeni priyayi dengan kerja wajib, seperti mencabut rumput.

Meski Lebak daerah yang menurut pemasukan ekonomis miskin, ia adalah penghasil kopi. Pemandangan kuli pengangkut kopi tergambar pula di awal film ini. Namun meski rakyatnya miskin, pesta keluarga bupati tak bisa ditinggalkan. Demi makanan enak di dalam pesta itu, kerbau-kerbau rakyat diambili oleh Demang Parangkujang, mantu bupati. Si Pantang, kerbau Saidjah, termasuk ke dalam ratusan kerbau yang dirampas priyayi yang suka meminta lebih kepada rakyat Lebak. Tanpa kerbau, petani sulit membajak sawah.

Pesan film ini jelas: penindasan priyayi lokal sepaket dengan penjajahan Kerajaan Belanda di Nusantara. Kompeni (tentara Belanda) jadi beking priyayi.

Meski menjadi film terlarang selama satu dekade hingga 1987, Max Havelaar: Saidjah dan Adinda jelas film yang menarik. Setidaknya Belanda dan sebagian elit pribumi terlihat jahat di dalamnya. Kendati dianggap sebuah mitos, Max Havelaar berhasil membuka mata orang Belanda terkait penderitaan rakyat Lebak di masa Tanam Paksa (Cultuur Stelsel).

Sebagian orang Belanda tak suka Tanam Paksa. Mereka kemudian membuat gerakan yang terus membesar guna mengakhiri sistem tersebut. Pemerintah kolonial pada 1870 akhirnya mengakhiri sistem Tanam Paksa yang memberi banyak pemasukan kepada kas pemerintah kolonial. Namun kas pemerintah kolonial tidak berhenti mengalir sebab di Hindia Belanda kemudian pemerintah memberlakukan ekonomi liberal yang menggandeng pihak swasta dalam bisnis perkebunan sejak 1870 sehingga muncul banyak perkebunan di berbagai daerah.

TAG

max havelaar eduarddouwesdekker tanam paksa

ARTIKEL TERKAIT

Kisah Bupati Sepuh Menjegal Multatuli Buah Pena Multatuli Mata Hari di Jawa Genderuwo yang Suka Menakut-nakuti Maqluba Tak Sekadar Hidangan Khas Palestina Eric Carmen dan "All By Myself" Warrior, Prahara di Pecinan Rasa Bruce Lee Yusman Sang Maestro Patung dari Pasaman Menengok Tradisi Sadran di Dua Desa