Kisah Pram dan Gadis Belanda Tanpa Nama

Semasa muda, Pram mengalami masalah kepribadian semacam minder atau rendah diri, yang disebutnya penyakit inco. Sembuh waktu berkunjung ke negeri Belanda.

Oleh: Martin Sitompul | 20 Feb 2025
Kisah Pram dan Gadis Belanda Tanpa Nama
Pramoedya Ananta Toer bersua dengan gadis Belanda di Taman Vondel, Amsterdam, Belanda. (Ilustrasi oleh M.A. Yusuf/Historia.id.)

TAK ada yang begitu berkesan bagi Pramoedya Ananta Toer kala menetap di Belanda, kecuali perkenalannya dengan seorang gadis di Taman Vondel, Amsterdam. Gadis Belanda tanpa nama itu dengan ramah menyapa Pram lebih dulu. Dari perkenalan singkat itu, keduanya lantas menjalin hubungan percintaan.

“Di Belanda inilah suatu kali saya bertemu dengan noni Belanda berpacar-pacaran, sampai dengan hubungan seks,” aku Pram dalam dokumenter On The Record, “Mendengar Si Bisu Bernyanyi: Biografi Pramoedya Ananta Toer” yang diproduksi Lontar Foudation pada 1995.

Pram ke Belanda dalam rangka memenuhi undangan residensi kebudayaan yang dibiayai Yayasan Sticusa. Program yang semestinya berlangsung selama setahun itu hanya dijalani Pram separuhnya. Pram tak kerasan berkutat dengan kegiatan Sticusa. Lebih banyak nombok-nya ketimbang pemasukan. Tapi, bersentuhan dengan budaya masyarakat Belanda jadi pengalaman baru bagi Pram. Terkait hubungannya dengan gadis Belanda, Pram mengaku itu berdampak besar terhadap psikologisnya.

Advertising
Advertising

Baca juga: Pramoedya Melancong ke Negeri Belanda

Sejak kecil Pram dididik dengan keras oleh ayahnya. Apalagi prestasi Pram di sekolah kurang menonjol. Semasa pendidikan dasar, Pram tiga kali tinggal kelas. Dia pun makin dikerasi oleh ayahnya. Yang paling menyakiti hati Pram adalah kekerasan verbal tatkala sang ayah menyebutnya anak bodoh. Pola asuh demikian turut membentuk pribadi Pram. Dia tumbuh jadi anak yang minder, penyendiri, dan penakut. Bahasa psikologinya inferiority complex. Pram menyebutnya penyakit inco.

“Saya kan menderita rendah diri karena kekerasan ayah saya dulu. Nggak berani ngomong, nggak berani apa. Itu hilangnya tahun '53 di negeri Belanda,” ujar Pram pada suatu wawancara yang terangkum dalam Pram Melawan suntingan Hasudungan Sirait.

Sepulangnya ke Indonesia, Pram mengisahkan pengalamannya semasa di Belanda. Saat itu, nama Pram sudah mulai disorot dalam dunia kepengarangan berkat karya-karyanya yang melejit seperti novel Keluarga Gerilya, Perburuan, dan kumpulan cerpen Cerita dari Blora. Dalam Majalah Minggu Pagi, 19 Juni 1955, Pram membagikan fakta mencengangkan yang disaksikannya di Belanda.

“Disana terlalu banyak gadis-gadis yang keramahan. Dia berani bilang, bahwa 90% tidak ada gadis yang utuh. Kecuali daerah Katolik di Zuid Nederland. Gadis-gadis kalau duduk di HBS (sekolah menengah -red.) boleh disangsikan. Lapangan-lapangan terbuka, kalau malam berubah menjadi parade dari hati ke hati. Begitulah dia bilang,” ulas Minggu Pagi sebagaimana tuturan Pram.

Baca juga: Remang Terang Prostitusi

Masih dalam Minggu Pagi, Pram mengenang pengalamannya mengunjungi distrik merah di Amsterdam, tempat di mana banyak wanita menjajakan diri, berdiri di etalase seperti reklame. Pram juga membeberkan sedikit kisah pribadinya dengan gadis Belanda. Tapi, Pram hanya mengulik sedikit, tak seterang benderang pengakuannya berpuluh tahun kemudian. Atau, Pram bisa jadi mengaburkan sebagian cerita yang sebenarnya.

“Suatu kali ia duduk sendirian di sebuah taman. Ada gadis duduk pula disitu. Ia ingin. Tanya ini tanya itu. Akhirnya kena. Tetapi ia tak jadi, karena gadis itu sakit. Ia ketakutan dan pergi tersipu-sipu,” demikian Pram seperti dikisahkan dalam Minggu Pagi.

Nyatanya, hubungan Pram dengan gadis Belanda kian rapat. Dalam otobiografinya yang ditulis semasa penahanan di Pulau Buru pada 1975, Pram mengaku perkenalannya dengan gadis Belanda berkembang jadi persahabatan. Si gadis sekali waktu mengundang Pram datang ke tempatnya. Ketika Pram bertandang, si gadis menghadiahinya novel karya penulis Prancis Romain Roland, serta menjamu Pram penganan. Barangkali semacam makam malam romantis seperti zaman sekarang.

“Dari percakapan-percakapan dan pergaulan dengannya, mulai aku mengerti, bahwa bukan aku, tetapi orang Eropalah yang semestinya menderita kompleks terhadap orang Asia karena dosa nasional berabad selama ini. Dan sahabat baru itu sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda menderita sesuatu kompleks,” kata Pram dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 2.

Baca juga: Orang Eropa Asli Berkulit Gelap

Kompleks yang dimaksud Pram tentulah inferiority complex yang menjadi kelemahannya di masa muda. Menurut Pram penyakitnya itu sembuh setelah menjalin hubungan dengan gadis Belanda. Dalam dokumenter tentang dirinya yang rilis 42 tahun setelah kejadian di Belanda, Pram secara jujur mengakui, pertama kali melakukan hubungan seks dengan orang Belanda, ternyata perasaan inferioritas itu lenyap sama sekali.

“Saya merasa sederajat dengan siapapun setelah melakukan hubungan seks dengan orang Belanda,” kata Pram.

Pada berbagai keterangan tertulis maupun wawancara, Pram tak sekalipun menyebut nama si gadis Belanda. Sosoknya begitu misterius. Namun, yang terang, “Saya masih merasa berterimakasih kepada pacar Belanda saya,” tutup Pram.

Baca juga: Kisah Romansa Pramoedya

TAG

pramoedya ananta toer sastrawan seksualitas

ARTIKEL TERKAIT

Al-Asma'i, Penyair di Balik Lantunan "Tob Tobi Tob" Pramoedya Berkarya Mereka yang Memihak Pramoedya Perjalanan Hidup Pramoedya Ananta Toer (Bagian 2) Ketika Karya Pramoedya Diakui Dunia Perjalanan Hidup Pramoedya Ananta Toer (Bagian 1) Pramoedya dan Gelanggang Asia-Afrika Pramoedya Melancong ke Negeri Belanda Tiga Supir Palang Merah yang Jadi Pesohor Dunia Menyingkap yang Tabu Tempo Dulu