DONAT, kudapan berbentuk lingkaran dengan lubang di tengah menjadi makanan ringan favorit banyak orang. Di waktu-waktu tertentu, donat menjadi makanan yang selalu ada atau pilihan utama dalam suatu acara. Sebut saja ketika seorang pegawai berhenti dari pekerjaannya, donat seringkali dibagikan kepada rekan-rekannya di hari terakhir ia bekerja. Tak jarang donat juga dipilih sebagai pengganti kue ulang tahun dalam sebuah pesta kejutan.
Bersama hot dog, pie apel, dan Buffalo Wings, donat disebut sebagai makanan khas Amerika Serikat. Meski begitu, donat muncul dari perpaduan berbagai budaya yang membentuk kultur Amerika. Donat yang dalam bahasa Inggris ditulis doughnuts atau donuts dipengaruhi oleh kudapan dari Eropa. Tak heran bila asal-usul donat dikaitkan dengan sejumlah negara di Benua Biru. Peneliti makanan, Heather Delancey Hunwick dalam Doughnut: A Global History menyebut ada klaim yang meyakini donat Amerika berasal dari Prancis.
“Klaim ini berkaitan dengan keberadaan calas, sebuah kudapan berbahan dasar beras dari New Orleans, dan kerabat dekatnya, beignet de riz dari Carolina Selatan, yang dikaitkan dengan imigran Huguenot. Di seluruh wilayah Selatan yang berbahasa Prancis, para chatelaines beralih ke resep dari buku-buku resep Prancis seperti Le Nouveau cuisinier royal et bourgeois karya François Massialot, yang salinannya ditemukan di inventaris rumah tangga Louisiana pada 1769. […] Calas awalnya dibuat dari beras, tepung dan telur yang diuleni dan dibumbui dengan pala, namun versi selanjutnya menggunakan ragi. Kudapan ini dapat dikatakan merupakan donat, tetapi kehadirannya bahkan di Louisiana Selatan sekarang sudah berkurang,” tulis Hunwick.
Baca juga:
Amerika, Hamburger, dan Perang Dunia I
Tak sedikit pula peneliti yang menganggap donat berasal dari Jerman. Jauh sebelum abad ke-19, ketika donat Amerika mulai muncul, Krapfen (donat Jerman) telah menghiasi meja makan orang-orang Eropa, khususnya Jerman, sebagai hidangan perayaan maupun praktik keagamaan. Adonan Krapfen yang manis dibuat dengan madu, anggur, dan tepung, diperkaya dengan kuning telur, diberi pewarna dengan kunyit, serta diberi ragi yang dilarutkan dengan air. Kudapan ini biasanya diisi dengan campuran apel dan pir yang telah dimasak dan diberi aneka bumbu.
“Resep-resep yang dikembangkan dari Krapfen menyebar ke wilayah-wilayah yang pada abad ke-16 dan 17 menjadi tempat tinggal para penjajah yang selanjutnya melakukan eksplorasi dan kolonisasi di Dunia Baru,” tambah Hunwick.
Sementara itu, arkeolog Paul R. Mullins menjelaskan dalam Glazed America: A History of the Doughnut, klaim populer mengenai asal-usul donat dikemukakan oleh Washington Irving, yang menggunakan kata donat dalam bukunya, History of New York pada 1809. Irving menggambarkan pesta-pesta kolonial awal yang penuh gaya, di mana pertemuan-pertemuan tersebut menjadi saksi munculnya berbagai hidangan yang istimewa.
“Di antara berbagai hidangan yang menghiasi meja, selalu ada hidangan bola-bola besar dari adonan yang dimaniskan, digoreng dengan lemak babi, dan disebut dough nut, atau oly koeks – suatu jenis kue yang lezat, yang saat ini hampir tidak dikenal lagi di kota ini, kecuali di keluarga-keluarga Belanda asli; tetapi menjadi yang terbaik di meja-meja minum teh di Albany,” tulis Irving sebagaimana dikutip oleh Mullins.
Deskripsi singkat Irving memandang donat dan olykoek Belanda sebagai hidangan yang mirip. Istilah doughnut kemungkinan besar digunakan secara populer pada akhir abad ke-18, tetapi belum diketahui pasti apakah istilah ini digunakan secara luas atau khusus untuk kelompok regional atau budaya tertentu. “Referensi Irving sendiri mengindikasikan bahwa donat tidak biasa dikonsumsi di luar ‘keluarga Belanda asli’, sehingga pada awal abad ke-19, donat mungkin merupakan hidangan etnis Belanda yang khas,” jelas Mullins.
Baca juga:
Ragam Versi Kemunculan California Roll Sushi
Sebagian besar kisah asal mula donat mengarah pada orang Belanda sebagaimana diceritakan oleh Irving. Olykoek masuk ke Amerika bersama para migran Belanda pada abad ke-17. Di awal abad ke-17, United East India Company atau Perusahaan Hindia Timur Bersatu yang didirikan di Belanda mengirim Henry Hudson untuk mencari jalan ke arah barat laut menuju Hindia. Pada 1609, Hudson tiba di daerah yang kini dikenal sebagai New York dan berlayar ke sungai yang sekarang menggunakan namanya. Dalam waktu dua tahun, orang Belanda kembali untuk berbisnis bulu, dan pada 1624 imigran pertama tiba di koloni New Netherland. Diperkirakan sembilan ribu penduduk tinggal di wilayah ini pada 1664, ketika Inggris merebut New Amsterdam.
Menurut sejarawan kuliner, Andrew F. Smith dalam Fast Food and Junk Food: An Encyclopedia of What We Love to Eat, donat dengan lubang di tengah tidak umum hingga akhir abad ke-19 di Amerika. Sebelumnya, kudapan ini biasanya dibuat dalam bentuk bulat dan tak jarang diberi isian di dalamnya, sering kali buah-buahan yang dipotong kecil-kecil seperti bentuk kacang. Berangkat dari hal ini, kudapan tersebut dikenal dengan nama doughnut.
“Konon, lubang di tengah adonan dikembangkan oleh orang Pennsylvania Dutch karena memudahkan mereka mencelupkan donat ke dalam kopi. Ada juga yang berpendapat bahwa bentuknya dibuat agar lebih mudah digoreng,” tulis Smith.
Sementara itu, Mullins menyebut seorang pelaut bernama Hanson Gregory sebagai “penemu” lubang donat. Hanson muda melihat ibunya tengah membuat kue goreng. Ia bertanya mengapa bagian tengah kue tersebut tampak belum matang. Ibunya menjawab karena suatu alasan bagian tengah dari kue tersebut tampak tidak pernah matang. Hanson kemudian mencungkil bagian tengah adonan kue yang akan dimasak dengan garpu. Setelah itu, ibunya memasaknya. Adonan kue yang dicungkil oleh Hanson itulah yang dianggap sebagai donat (cincin) pertama.
Kendati asal-usulnya berkaitan dengan Eropa, donat menjadi ikon Amerika berkat perannya dalam Perang Dunia I. Pada 1917, sejumlah wanita dari Salvation Army atau Bala Keselamatan secara sukarela bergabung ke garis depan pertempuran untuk mendukung pasukan Amerika. Mereka diberi beberapa perlengkapan, seperti masker gas, helm, dan pistol berkaliber 0.45. Salah satu wanita, Helen Purviance ditugaskan di Divisi Pertama Amerika, dan dikirim ke Korps Amunisi di Montiers-sur-Saulx.
Helen Purviance bersama sejumlah wanita membantu para prajurit di medan perang dengan menyediakan makanan dan hiburan. Para prajurit merindukan kehangatan rumah dan kekhawatiran tak dapat lagi bertemu dengan orang tua, pasangan, anak, maupun keluarga dapat menyebabkan merosotnya semangat juang para tentara. Purviance dan rekan-rekannya membuat donat untuk memuaskan kerinduan para prajurit.
Baca juga:
Awal Mula Kemunculan Hidangan Penutup
Para wanita dari Salvation Army memanfaatkan bahan-bahan yang tersedia seperti tepung, gula, susu dan air, minyak goreng, soda kue, botol sebagai penggilas adonan, kulit kerang sebagai pemotong, dan wadah sampah sebagai tempat penggorengan. Mereka membagikan donat dan kopi di sepanjang garis pertempuran. Bau khas donat yang baru dimasak menyebar ke parit-parit dan membuat banyak tentara mendatangi “Doughnut Girls”, julukan bagi para wanita yang membuat donat tersebut.
“Aroma donat yang digoreng dan kopi yang tercium menjadi pengingat akan apa yang diperjuangkan oleh para prajurit: rumah, ibu, dan keluarga. Diminta untuk terus membuat donat, ‘Doughnut Girls’ memproduksi 9.000 donat per hari, dan pada akhir perang diperkirakan mereka telah membagikan lebih dari satu juta donat. Tentara Amerika disebut sebagai doughboys –meskipun sebenarnya istilah ini digunakan pada masa Perang Saudara yang berasal dari kecintaan para tentara terhadap dumpling,” tulis Hunwick.
Para prajurit yang kembali ke Amerika setelah berakhirnya Perang Dunia I berperan besar dalam meningkatkan popularitas donat di Negeri Paman Sam. Tingginya permintaan akan donat dimanfaatkan oleh Adolph Levitt, pemilik sebagian dari jaringan toko roti di New York. Imigran Rusia itu mendorong ketel penggorengan donat ke jendela salah satu toko rotinya dan tak butuh waktu lama, orang-orang yang lewat terpaku oleh pemandangan itu dan segera membuat pesanan. Alat masaknya tak mampu memenuhi permintaan yang terus berdatangan, dan karenanya Levitt bersama seorang insinyur muda mengembangkan mesin yang dapat mengotomatiskan produksi donat.
“Pada 1920, setelah banyak upaya yang membuat frustrasi, mesin donat otomatis yang luar biasa muncul di etalase toko roti Levitt di Harlem. Orang-orang berdiri menyaksikan adonan masuk dan donat keluar... mesin generasi pertama yang dikembangkan Levitt dapat menghasilkan 1.000 donat dalam satu jam. Ia berhasil menjual 128 mesin pada tahun pertama... Levitt mengekplorasi setiap peluang yang ada untuk mengukuhkan perannya sebagai ‘Raja Donat Amerika’: pada tahun 1921 ia mendaftarkan merek dagang untuk Downyflake Donut Oil atas nama perusahaannya, Display Doughnut Machine Corporation; ia beralih memproduksi dan menjual adonan donat kering ke restoran dan toko roti, serta menjalin kerja sama dengan perusahaan roti lebih besar yang memasok jaringan supermarket yang berkembang pesat,” jelas Hunwick.
Ketika Depresi Besar melanda Amerika Serikat, donat mampu bertahan dan semakin populer. Dengan harga yang ramah di kantong, masyarakat yang tengah menghemat pengeluaran rama-ramai membeli donat dan segelas kopi sebagai menu sarapan yang populer hingga kini.
Baca juga:
Propaganda Wortel Inggris Melawan Jerman dalam Perang Dunia II
Selama Perang Dunia II, donat kembali memainkan peran dalam menjaga moral pasukan Amerika. Tugas tersebut lebih banyak diberikan kepada Palang Merah dan perusahaan Levitt meminjamkan ratusan mesin pembuat donat secara gratis kepada mobil klub Palang Merah.
Seiring dengan berakhirnya Perang Dunia II, penjualan donat berkembang pesat. Bisnis ritel donat banyak diminati karena peralatannya tidak terlalu mahal. Tak hanya menjamur di Amerika, toko-toko yang menjual donat juga banyak ditemukan di berbagai negara, tak terkecuali Indonesia. Ada yang berlubang dengan taburan beraneka ragam, dan ada yang tidak berlubang dengan isian berbagai selai maupun krim. Donat polos yang dilapisi gula juga masih menjadi favorit bagi banyak orang.*