Cara Istana Menjamu Tamunya Kala Indonesia Masih “Balita”
Saat Indonesia baru merdeka dan belum punya protokoler Istana, resepsi-resepsi kenegaraan dilakukan ala koboi di bawah "Komandan" Husein Mutahar.
Setelah hampir tanpa kegiatan resmi akibat pandemi COVIC-19, Istana Kepresidenan kembali “buka” pada 4 Juni 2020 dengan menerapkan new normal. Keputusan itu dikemukakan Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono. Menurutnya, sebagaimana diberitakan kompas.com, 4 Juni 2020, “Yang pertama adalah kita lihat arahan Bapak Presiden bahwa kita memang sudah mulai harus kegiatan sehari-hari dengan melakukan new normal.”
Heru melanjutkan, sejumlah prosedur baru juga diterapkan di lingkungan seperti penyediaan sabun dan hand sanitizer di beberapa titik. New normal juga mengubah banyak kebiasaan yang sudah terjadi sebelumnya. “Adaptasi kebiasaan baru juga diterapkan dalam kegiatan-kegiatan presiden di Istana. Untuk acara pelantikan, misalnya, pejabat yang hadir dibatasi antara 5 hingga 7 orang,” sambungnya.
Upaya tersebut merupakan langkah antisipatif pihak Istana dengan organisasi yang sudah mapan. Di masa Indonesia masih “balita”, kebijakan-kebijakan yang diambil Istana amat spontan karena memang belum ada institusi resmi yang menanganinya. Protokoler acara-acara kenegaraan pun setali tiga uang.
“Tamu-tamu pemerintah ditempatkan di satu rumah dan tiga kali dalam sehari seorang pembantu istana mengisi mobil Cadillac presiden dengan makanan untuk tamu-tamu terhormat itu. Begini cara kami bekerja di hari-hari ini. Kami tidak mengetahui sama sekali tentang tata-cara penerimaan tamu,” kata Presiden Sukarno dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Baca juga: Istana Kepresidenan sebagai Ruang Budaya
Dalam serba ketidaktahuan dan keterbatasan itu, Sukarno banyak meminta tolong Husein Mutahar, komposer yang pernah ditugaskan Sukarno menyelamatkan Sang Saka Merah Putih. Sebagai bekas pelaut, Mutahar dianggap Sukarno lebih tahu soal urusan etiket resepsi resmi. Maka jadilah dia kepala rumah tangga Istana tak resmi.
Berbekal pengetahuan seadanya, Mutahar mengomandani rumah tangga Istana yang dalam keadaan nol itu sebisanya. Perangkat makan, misalnya, baru diperoleh Istana setelah Mutahar meminjam barang pecah-belah plus sendok-garpu perak dari Toko Oen. Taplak meja juga diperoleh Istana setelah Mutahar berkeliling ke tetangga untuk meminjam taplak-taplak yang mereka punya.
Pengaturan taplak pun dilakukan sekehendak Mutahar. Itu sempat mengundang pertanyaan dari Ibu Negara Fatmawati mengapa hanya taplak putih yang digunakan. “Putih itu suci. Ia melambangkan kemurnian. Kebersihan. Kekudusan. Lagi pula taplak meja putih itulah yang bisa banyak kita peroleh,” kata Mutahar menjawab pertanyaan Fatmawati, dikutip Cindy Adams.
Apa yang dikatakan Mutahar bahwa putih melambangkan kemurnian itu pun benar-benar terjadi dalam tindakan. Ketika Jenderal Rumulo dari Filipina menjadi tamu negara, Istana hanya menyuguhkan air putih sebagai minuman sang tamu lantaran hanya itu yang dimiliki.
Baca juga: Husein Mutahar Penggerak Nasionalisme
Mutahar tak pernah malu dengan kondisi Istana presidennya dalam menjamu tamu-tamu negara. Akalnya tak pernah habis untuk menyiasati keterbatasan kemampuan maupun pengetahuan dalam menjamu tamu-tamu negara. “Panjang akal” itu pula yang dilakukan Mutahar ketika presiden menanyakannya bagaimana cara mengatur duduk ketika presiden menerima tamu.
“Menjawablah ‘Pembesar Protokol dengan tenang, ‘Presiden duduk di kepala meja menghadap ke beranda. Di kepala meja di depannya, Ketua KNI. Pembesar tentara di sebelah kiri. Di sebelah kanan anggota Kabinet’,” kata Mutahar menjelaskan. Lalu ketika ditanya lebih lanjut di mana para tamu terhormat didudukkan, Mutahar menjawab, “di antara itu.”
Meski terkesan “semau gue”, Mutahar tak mengecewakan Sukarno lantaran selalu punya akal untuk mendapat solusi soal perjamuan resmi. Ketika kehabisan akal, Mutahar pergi ke keraton untuk mencontoh tata-cara penerimaan tamu adat Jawa. Tata-cara keraton tentu tak mentah-mentah ditelan karena presiden dan pejabat tinggi lain selalu menentang sistem feodal.
“Apa yang tidak bisa dicaplok sama sekali dari cara ini lalu diubah, ditambah, dikurangi dan diperbaharui sehingga ia cocok untuk Republik,” kata Sukarno.
Kebijakan “semau gue” Mutahar pernah juga membuat presiden amat nurut seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Itu terjadi ketika acara jamuan makan terhadap korps diplomatik yang dihelat di ruang resepsi Istana. Sebelum acara, Mutahar mengatur presiden duduk membelakangi dinding sehingga bisa melihat Mutahar yang akan berdiri di sudut pintu pertama sebelah kanan. Di posisi yang hanya akan bisa dilihat oleh presiden itu Mutahar akan memberi aba-aba.
Baca juga: Husein Mutahar dan Paskibraka
“Supaya pesta ini berjalan lancar, saya telah mengatur caranya dengan baik. Kalau saya menggerakkan jari, itu berarti Bung berdiri. Kalau mengedipkan mata, Bung memperkenalkan tamu terhormat itu. saya menganggukkan kepala sebagai tanda dimulainya toast untuk keselamatan,” kata Mutahar mengarahkan presiden yang seratus persen menurutinya.
Maka ketika resepsi dimulai, ia berjalan lancar. Presiden pun keasyikan berbincang dengan para tamunya sambil sebentar-sebentar menatap Mutahar yang stand-by di tempatnya.
“Sepanjang malam berlangsungnya jamuan itu Mutahar memberikan tanda-tanda. Aku begitu asyik dengan pembicaraan politik, sehingga aku bahkan tidak menyadari bahwa aku secara membabi-buta mengikuti cara seorang ahli etiket yang tidak mempelajari huruf dari orang buta,” kata Sukarno.
“Mutahar memutuskan secara serampangan menurut pikirannya sendiri. Ia merasa terhibur oleh karena betapapun juga ternyata tak seorang pun yang lebih mengetahui daripada dia sendiri."
Tambahkan komentar
Belum ada komentar