PUTRI proklamator Bung Hatta, Meutia Hatta, mengatakan bahwa sebelum meninggal ayahnya sempat menulis dua surat wasiat. Satu surat ditujukan kepada keluarganya, berisi permintaan agar dia tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
“Saya ingin dikuburkan di kuburan rakyat biasa yang nasibnya saya perjuangkan seumur hidup saya,” kata Hatta dalam surat wasiatnya yang dibacakan Meutia ketika memberi sambutan dalam pembukaan Pameran “Surat Pendiri Bangsa” di Museum Nasional, 10 November 2018.
Surat wasiat kedua ditujukan kepada Guntur Sukarnoputra, putra sulung Presiden Sukarno. Surat wasiat kedua bukan mengungkapkan hubungan pribadi kedua proklamator tapi mengenai fakta sejarah yang saat itu ditutup-tutupi oleh rezim Orde Baru bahwa Bung Karno bukan penggagas Pancasila. “Bung Karno merupakan penggali Pancasila,” kata Hatta dalam suratnya seperti ditirukan Meutia.
Meski pameran tidak menampilkan dua surat wasiat itu, surat-surat Bung Hatta yang lain mengisi banyak bagian dalam pameran yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan Historia itu. Selain surat-surat Hatta, pameran menampilkan surat-surat Sukarno, Haji Agus Salim, Sutan Sjahrir, Ki Hadjar Dewantara, RA Kartini, John Lie, dan Tan Malaka.
Melalui pameran tersebut, sejarawan sekaligus kurator utama pameran Bonnie Triyana ingin mengajak masyarakat, terutama generasi muda, untuk membiasakan melihat sebuah fenomena langsung dari sumber pertama. "Dengan melihat langsung dari sumber primer, kita jadi tahu fakta yang sebenarnya. Terlebih di masa serangan hoax yang begitu gencar sekarang," ujarnya ketika memberi sambutan dalam pembukaan pameran.
Ada 25 surat yang dipamerkan dalam pameran itu. "Ke-25 surat tersebut dipilih karena terverifikasi otentisitasnya dan muatan pesannya," kata Bonnie dalam pengantar di katalog pameran. Surat-surat tersebut bukan surat-surat formal tapi merupakan surat-surat pribadi para tokoh bangsa. Dengan demikian, tokoh-tokoh pendiri bangsa bisa dikenali lebih jauh.
Surat Sjahrir yang ditulis ketika menjalani pembuangan di Tanahmerah, 30 Mei 1935, misalnya, merupakan surat berisi curahan hati yang ditulis untuk istrinya di Belanda, Maria Duchateu. “Di dalam diri kita begitu banyak hal sepele, begitu banyak kebodohan dan piciknya pandangan. Aku terkejut melihat itu ada di dalam diriku sendiri. Sepertinya, aku kira, ketenangan dan kedamaian telah direbut oleh penjara untuk selamanya,” tulis Sjahrir.
Surat-surat pribadi itu berasal dari banyak pihak setelah melalui penelusuran panjang sejak Agustus 2018 di Belanda dan Indonesia. Surat milik Hatta diperoleh dari koleksi keluarga dan beberapa surat tokoh lain diperoleh dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Sementara, surat Tan Malaka dan Sjahrir ditelusuri di International Institute for Social History, Amsterdam dan Kantor Arsip Nasional Belanda (Het Nationaal Archief) di Den Haag.
“Surat Sjahrir saya dapatkan dari Kees Snoek, guru besar sastra dan peradaban Belanda Universitas Sorbone, Prancis,” kata sejarawan Bonnie Triyana, yang mengunjungi Snoek di Rotterdam, ketika memberi sambutan dalam pembukaan pameran.
Sumbangan arsip surat juga didapat dari Harry A. Poeze, sejarawan yang meneliti Tan Malaka selama 48 tahun. Dalam pidatonya di pembukaan pameran, Poeze mengatakan bahwa surat-surat Tan Malaka yang dimilikinya merupakan pemberian dari Dick van Wijngaarden, teman sekelas Tan Malaka ketika sekolah di Belanda. Wijngaarden bahkan memberikan kartu pos yang dikirim Tan Malaka untuknya sebagai bahan penelitian Poeze.
“Surat-surat yang disimpan Dick (van Wijngaarden) menjadi sarana untuk mengenal tokoh yang selama 50 tahun dihujat dan dilupakan,” kata Poeze.
Selain Poeze, Museum Taman Siswa Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta juga ikut menyumbang dengan meminjamkan surat-surat Ki Hadjar Dewantara.
“Baru kali ini pameran tentang sumber sejarah dilaksanakan. Ada 25 surat asli dari delapan tokoh yang sudah diterjemahkan agar diterima dan dipahami generasi muda. Hampir semua surat berbahasa Belanda dan tidak semua bisa diakses dengan mudah,” kata Triana Wulandari, Direktur Sejarah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pameran “Surat Pendiri Bangsa” merupakan pameran surat-surat pendiri bangsa pertamakali di Indonesia.