“Baju-baju bayi ini simbol revolusi.”
Merapi Obermayer mengisahkan episode kelahirannya sekitar 74 tahun lalu, tepatnya 6 September 1947 di koloni penderita kusta Plantungan, Jawa Tengah.
Baca juga: Yang Terkubur Amukan Merapi
Julia Nessen dan Paul Wolfgang mengambil nama gunung Merapi yang pernah meletus pada 1930 untuk nama depan putrinya itu. Nama yang kental dengan sejarah, begitu juga kehidupannya yang penuh perjuangan untuk bertahan di tengah kecamuk revolusi di Jawa.
Merapi mengisahkan kembali masa-masa sulit orang tuanya melewati periode kelam revolusi. Mereka menyaksikan mayat-mayat korban kekerasan bergelimpangan di antara arus sungai yang melewati koloni di Plantungan.
“Sungai itu dipenuhi mayat-mayat yang terdampar ke daratan. Jenazah-jenazah itu diangkat dan dibungkus dengan kain kafan untuk dimakamkan. Mereka adalah orang Indonesia yang dibunuh, juga orang-orang Indo,” ujar Merapi dalam channel Youtube Rijksmuseum pada 12 Februari 2022.
Dalam prahara perang itu, Merapi lahir. Ibunya bercerita, tak punya baju untuk dipakaikan kepadanya. Pabrik-pabrik tekstil kekurangan kain atau kapas untuk membuat baju bayi. Kain yang ada digunakan untuk membungkus jenazah-jenazah agar pantas dimakamkan. Jadi, kain-kain tak tersisa.
Orang tuanya kemudian mengambil beberapa buku di perpustakaannya dan melepaskan sampul-sampulnya yang terbuat dari kain linen. Kain itu direndam kemudian dijahit menjadi beberapa potong baju bayi dan sarung bantal.
Baca juga: Kesaksian Putri Tentara KNIL
Pada bantal Merapi tertulis bekas sampul buku De stem van he geweten (Suara hati nurani). Dalam rompinya yang kian memudar tertulis sampul buku Tarzan de Leeuwman (Tarzan si Manusia Singa), dan tertera nama penulis Burroughs –lengkapnya Edgar Rice Burroughs. Dan, pada salah satu popok yang dia kenakan tertulis Alleen voor zondaars (Hanya untuk orang-orang berdosa).
Menurut Merapi, ibunya memilih warna-warna kombinasi yang penuh makna. Pink tua, kuning, dan oker (cokelat tanah liat) adalah warna-warna kesukaan ibunya yang begitu dekat dengan lanskap Indonesia.
Bagi Merapi, baju-baju ini tak hanya unik, tapi juga menunjukkan kehidupannya di masa yang tidak biasa. Baju-baju ini merupakan simbol revolusi. “Orang tua saya bisa jadi satu-satunya orang di dunia yang merendam sampul buku linen untuk membuat baju bayi,” kata Merapi. “Langkah itu sendiri sudah revolusioner.”
Mendukung Indonesia Merdeka
Merapi, yang kini bekerja sebagai pekerja seni, mengungkapkan jati diri ibunya di masa kolonial. Dia menuturkan bahwa orang tuanya berada di dua belahan dunia yang terikat erat. Satu kaki berada di Eropa, dalam waktu yang sama, satu kaki berada di Indonesia. Kaki yang lebih besar berada di Indonesia, tempat yang begitu dekat dengan orang tuanya.
Menurut Merapi, orang tuanya sangat dekat dengan rakyat Indonesia. Keduanya mendukung kemerdekaan dan tahu betul mengapa orang Indonesia berjuang untuk merdeka. Meskipun orang tuanya tak mau membahas situasi tersebut.
“Ibu saya tak bisa membahas soal revolusi. Tetapi, tindak tanduknya sangat mewakili,” kata Merapi. “Dia wanita yang tangguh, tapi mengalami trauma. Dia adalah korban kolonialisme dan perang yang membuntuti setelahnya.”
Baca juga: Beranilah Melihat Sejarah Bersama Kita
Ibunya tak mau membicarakan soal itu, tetapi Merapi ingat satu momen yang membuatnya berlinang air mata. “Dia merangkul saya. Suatu hal yang belum pernah dia lakukan sebelumnya. Barangkali itu caranya minta maaf. Entah,” kata Merapi.
“Tidak apa-apa. Mama tidak harus bicara,” kata Merapi saat itu.
Itu momen paling berharga dalam hidup Merapi. Ada kedekatan, saling memahami, tanpa perlu mengucap sepatah kata. Dia merasakan anugerah dengan sejarah kehidupannya, yang terlahir di masa revolusi yang diliputi penderitaan.
Merapi terlahir dalam beragam kombinasi di kala revolusi. Baju-baju bayinya menjadi akar-akar kombinasi itu. Dia mengingat ucapan ayahnya ketika memberikan baju-baju itu. “Bukan sepenuhnya kebetulan, kami memakaikan buku kepadamu,” kata Merapi menirukan ucapan ayahnya.
Pameran Revolusi! Indonesia Independent yang digelar Rijksmuseum, Amsterdam, dari 12 Februari hingga 5 Juni 2022, memutar kembali episode sejarah Merapi. Dalam Indischmuseum.com, dia mengungkapkan bahwa ibunya adalah anak bungsu yang berlatar belakang keluarga Indonesia-Yahudi.
Baca juga: Kisah Revolusi Kemerdekaan Indonesia dalam Pameran
Pada 1952, keluarganya mengajukan menjadi warga negara Indonesia, namun pemerintah Indonesia menolaknya. Maka, dia dengan kedua orang tuanya dan adiknya, memutuskan pergi ke Belanda. Di sana, dia melewati penderitaan yang panjang. Hingga pada usia 20 tahun, hidupnya bangkit dengan bantuan para seniman, dan dia berkembang menjadi seorang seniman visual.
Pada 1981, Merapi mencoba kembali ke Indonesia untuk mengunjungi tanah kelahirannya. Namun, kedatangannya berbeda dari harapannya. Dia kemudian memutuskan untuk melakukan tur pameran di sejumlah negara, seperti Brasil, New York, Paris, Jerman, dan negara-negara lain.