Masuk Daftar
My Getplus

Misi Diplomat Australia Sesudah Proklamasi Kemerdekaan

Utusan asing pertama yang menemui Sukarno pasca-proklamasi kemerdekaan RI. Sempat terjebak baku tembak hingga diusir panglima Inggris.

Oleh: Randy Wirayudha | 15 Agt 2024
Narasi sejarah perihal misi diplomat Australia setelah proklamasi di Pameran “Two Nations: A Friendship is Born” (Randy Wirayudha/Historia)

“MACMAHON Ball ditunjuk oleh Dr. Evatt, Menteri Luar Negeri, untuk memimpin delegasi Australia guna membuat laporan tentang Republik Indonesia yang baru saja mendeklarasikan kemerdekaannya. Ia mengajak Joe Isaac, dosen muda Universitas Melbourne yang menguasai bahasa Belanda dan Indonesia, bergabung sebagai asisten pribadinya. Setelah briefing di Canberra, mereka berputar terbang ke Indonesia.” 

Begitulah informasi dari panel bertema “Misi Pencari Fakta ke Batavia” di Pameran “Two Nations: A Friendship is Born” yang digelar di Museum Bahari, Jakarta, 15 Agustus-1 September 2024. Pameran dalam rangka mempererat 75 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Australia sekaligus turut merayakan HUT RI ke-79 itu bertujuan mengingatkan publik bahwa rakyat dan pemerintah Australia berdiri di barisan pendukung kemerdekaan Indonesia.

“Pada saat Australia dan Indonesia merayakan 75 tahun hubungan diplomatik, pameran ini menawarkan wawasan menarik tentang sejarah bersama dan persahabatan yang terjalin lama antara kedua negara kita,” tutur Duta Besar Australia untuk Indonesia Penny Williams dalam pembukaan pameran, Selasa (13/8/2024).

Advertising
Advertising

Hal serupa juga disampaikan Head of Knowledge Australian National Maritime Museum Dr. Peter Hobbins dalam diskusi bertajuk “Australia Memanggil: Menceritakan Sejarah Dua Negara” pasca-pembukaan pameran. Perdana Menteri (PM) Australia saat itu, Joseph Benedict ‘Ben’ Chifley, turut memberi dukungan moril dan cenderung menentang ambisi Belanda yang dibantu Inggris untuk kembali mendirikan koloni di Indonesia kendati tidak secara resmi.

“Karena Chifley (yang politisi Partai Buruh) paham dan bersimpati pada perjuangan orang-orang biasa karena dia juga pernah aktif di serikat buruh. Jadi yang saya pahami Chifley membuat orang Belanda malu (terkait blokade ‘Armada Hitam’) dan juga Inggris yang ingin membantu (Belanda) mendirikan koloni lagi,” ujar Hobbins.

Baca juga: Goresan Tinta Seniman Australia Merekam Revolusi Kemerdekaan

Dr. Peter Hobbins dalam diskusi “Australia Memanggil: Menceritakan Sejarah Dua Negara” (Randy Wirayudha/Historia)

Perjalanan Misi Diplomat Australia 

Tidak butuh waktu lama berita proklamasi kemerdekaan Indonesia yang didengungkan Ir. Sukarno pada 17 Agustus 1945 tiba di Australia. Kabar itu diterima 18 Agustus 1945 oleh Mohamad Bondan, eks-tahanan politik Boven Digul yang bermukim di Melbourne, Australia, via siaran Radio Republik Indonesia (RRI) di Bukittinggi. 

“Bersama Arif Siregar, saya menerjemahkannya (berita proklamasi) dengan bantuan seorang warga Australia yang berprofesi sebagai guru,” ungkap Bondan dalam Memoar Seorang Eks-Digulis: Totalitas Sebuah Perjuangan. 

Sebulan berselang, Bondan dkk. mendirikan Komite Indonesia Merdeka (KIM) di Brisbane sebagai kelanjutan upaya mempertahankan proklamasi Indonesia. Dengan antusias, para aktivis pro-kemerdekaan RI mengibarkan bendera Sang Saka Merah Putih di seluruh kota. 

Baca juga: Berita Proklamasi Bergema dari Australia ke Papua

Kabar itu sampai juga ke telinga PM Chifley. Menurut Ide Anak Agung Gde Agung dalam Twenty Years Indonesian Foreign Policy: 1945-1965, pemerintahan Chifley tak bisa menutup mata akan perkembangan politik negeri tetangganya yang hanya dipisahkan Selat Timor itu. 

“Perhatian di lingkaran pemerintahan (Chifley) kian serius menyikapi pergerakan nasional Indonesia yang ingin mempertahankan kemerdekaannya. Walaupun kemudian intervensi Australia dalam mendukung Indonesia yang melawan kembalinya kolonialisme Belanda datang karena dua hal. Pertama, gerakan mogok para pekerja pelabuhan yang didukung serikat buruh. Kedua, ketika Belanda melancarkan aksi militer (Agresi Militer I) pada Juli 1947,” tulis Gde Agung.

Gerakan mogok yang berlangsung di sejumlah kota pelabuhan Australia sejak September 1945 membuat pemerintahan Australia mengambil sikap. Salah satunya misi diplomatik pencarian fakta.

PM Joseph Benedict 'Ben' Chifley (kiri) & Menlu Herbert Vere Evatt (National Archives of Australia/nationaalarchief.nl)

Jemma Purdey dalam From Vienna to Yogyakarta menulis, agenda misi itu digagas menteri luar negeri di Kabinet Chifley, Herbert Vere Evatt. Tujuannya untuk mencari tahu lebih dalam soal lingkaran kepemimpinan Republik Indonesia yang baru berdiri itu.

“Yang ditugaskan (Evatt) adalah William Macmahon Ball, akademisi dan penasihat delegasi Australia yang sebelumnya ikut hadir di Konferensi San Francisco (25 April-26 Juni 1945) menjelang lahirnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), untuk jadi utusan Australia ke Hindia Belanda (Indonesia, red.),” ungkap Purdey.

Untuk melancarkan tugasnya, Macmahon Ball mengikutsertakan Joe Isaac, seorang ekonom muda di Queen’s College, Melbourne University. Isaac diikutsertakan karena pernah menulis tesis tentang perdagangan di Hindia Belanda dan cukup fasih berbicara bahasa Belanda maupun bahasa Indonesia.

“Suatu hari saat saya sedang minum teh bersama beberapa kolega, Mac mendatangi saya dan bilang, ‘saya dengar Anda menulis tesis tentang Hindia Belanda. Saya ditugaskan memimpin sebuah misi ke Hindia Belanda. Apakah Anda tertarik untuk ikut?’ Saya yang antusias mengatakan, ‘ya, tentu saja dengan senang hati,’” kenang Isaac dalam sebuah video wawancara bertajuk “Batavia 1945” di akun resmi Youtube Australian Embassy Jakarta, 11 November 2019.

Baca juga: Sikap Australia Terhadap Kemerdekaan Indonesia

Setelah menghadap Evatt di Canberra, Macmahon Ball dan Isaac pun memulai misi kurun 7-30 November 1945 itu. Mereka berangkat ke Jakarta via udara dengan rute Sydney-Brisbane-Cape York-Morotai-Labuan-Singapura-Batavia (kini Jakarta). 

Saat mereka tiba pada 7 November, Inggris sudah lebih dari dua bulan menguasai Batavia dan sekitarnya. Pemerintahan NICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda) pun sudah kembali dari Australia ke Jawa. Maka Macmahon Ball dan Isaac lebih dulu menemui Panglima Sekutu di Hindia Belanda Letjen Philip Christison dan Letnan Gubernur-Jenderal NICA Hubertus van Mook.

“(Saat bertemu Christison) menurut dia, tugasnya adalah memulangkan tahanan perang Jepang, memfasilitasi kembalinya Belanda dan pergi. Dia ingin semuanya berjalan selancar mungkin,” lanjut Isaac.

Letjen Alexander Frank Philip Christison (kiri) & Hubertus Johannes van Mook (Anefo/nationaalarchief.nl)

Tapi toh yang terjadi di Batavia tak selancar yang diinginkan Christison. Macmahon Ball dan Isaac bahkan sempat jadi saksi terjadinya baku tembak di sebuah sudut kota.

“Baku tembak terjadi di jalan-jalan Batavia. Bahkan, dalam catatan hariannya, Ball mengungkapkan pernah suatu waktu nyawa Joe Isaac nyaris melayang ketika mereka terjebak dalam sebuah pertempuran di jalan-jalan di bawah tembakan-tembakan tank-tank, mortar, dan senapan mesin,” tulis Frank C. Bennett dalam The Return of the Exiles: Australia’s Repatriation of the Indonesians, 1945-47. 

Agenda kedua Ball-Isaac, bersua Van Mook dan bawahannya, Charles van der Plas, sembari makan siang di Bogor. Isaac mendapat kesan bahwa kehadirannya dan Macmahon sebagai delegasi Australia tidaklah diinginkan.

“Kami diberitahu bahwa orang Australia tidak diterima dan tidak diinginkan oleh Belanda. Bahwa kami tidak punya urusan di sini dan urusan mereka hanyalah dengan Inggris. Tapi bukan berarti Mac mau disuruh-suruh (Belanda). Bahkan dia mengatakan, ‘saya ingin bertemu dengan Sukarno dan kelompoknya’,” sambung Isaac.

Baca juga: Politisi Australia Sahabat Indonesia

Agenda bertemu dengan Presiden Sukarno pun diatur oleh seorang staf. Macmahon dan Isaac berangkat dengan dua mobil dikawal aparat kepolisian republik.

Macmahon dan Isaac tidak hanya bersua Presiden Sukarno. Mereka turut diperkenalkan kepada Wakil Presiden Moh. Hatta dan PM Sutan Sjahrir beserta beberapa menteri di Kabinet Sjahrir I (1945-1946).

“Setibanya kami di sebuah rumah, seseorang yang tampan sekali (Presiden Sukarno) keluar dan menyambut Mac. Saya menyusul dan ikut berjabat tangan. Penampilannya mengesankan sekali. Elok dan percaya diri. Berpakaian necis, anggun, dan berwibawa,” tambahnya.

Joseph Ezra 'Joe' Isaac (kiri) & William Macmahon Ball (Australian National Maritime Museum/National Library of New Zealand)

Berbeda dari pertemuannya dengan Van Mook, kedua utusan Australia itu mendapat sambutan hangat di pertemuan dengan Sukarno cs.

“Ada (wapres) Hatta, (menteri keamanan rakyat merangkap menteri penerangan, Amir) Syarifuddin, Sjahrir, (menlu, Achmad) Soebardjo. Yang paling banyak bicara, Sukarno. Tapi PM Sjahrir yang bahasa Inggrisnya bagus sekali. Kami tidak habis pikir bagaimana orang yang halus seperti itu menjadi PM dari sebuah negara yang memberontak (dari Belanda).” 

Macmahon Ball lantas menyampaikan maksud kedatangannya. Mewakili pemerintah Australia, mereka sebagai delegasi asing pertama yang menemui Sukarno cs. berniat mencari tahu lebih detail tentang segala hal yang terjadi di Indonesia pasca-proklamasi. Macmahon juga menawarkan berbagai bantuan medis dan bantuan lain sebagai rasa simpati terhadap Indonesia.

Baca juga: Awal Keterlibatan Australia dalam Sengketa Indonesia-Belanda

Pertemuan itu berjalan lancar dan cair dalam nuansa persahabatan. Namun, di sisi lain pertemuan itu dianggap mengusik urusan Inggris dalam rangka membantu Belanda kembali berkuasa di Indonesia. Misi Mcmahon oleh Jenderal Christison dianggap tidak sah karena surat tugasnya hanya berasal dari Menlu Evatt, bukan dari PM Chifley. 

“Secara naluriah saya tidak menyukai orang itu,” tulis Christison merujuk pada Macmahon, dalam otobigrafinya, Life and Times of General Sir Philip Christison.

Macmahon dan Isaac akhirnya diusir paksa. Militer Inggris mengawal mereka dari penginapannya di Bogor hingga Pangkalan Udara Kemayoran untuk dipulangkan ke Australia via Singapura.

Macmahon, sambung Purdey, menuliskan laporannya terkait pertemuan dengan sejumlah anggota kabinet RI yang membuatnya terkesan. Laporannya mengindikasikan dukungannya terhadap pengajuan Sukarno untuk penyelidikan PBB tentang situasi di Hindia Belanda dan merekomendasikan Australia membantu pengajuan Sukarno.

“Ia (Macmahon Ball) meyakini bahwa situasi di sana (Indonesia) harus stabil demi kepentingan keamanan kawasan. Laporannya ia serahkan ke Departemen urusan Luar Negeri sekembalinya ke Australia pada pertengahan Desember, meski sayangnya laporan itu diabaikan,” tandas Purdey. 

Baca juga: Joris Ivens dan Dukungan Buruh Australia untuk Indonesia

TAG

indonesia australia australia indonesia australia kemerdekaan indonesia kemerdekaan pameran

ARTIKEL TERKAIT

Sebelum Jenderal Symonds Tewas di Surabaya Menyibak Warisan Pangeran Diponegoro di Pameran Repatriasi Pisang Asal Jawa Dibutuhkan Australia Bos Sawit Tewas di Siantar Melihat Tentara Hindia dari Keluarga Jan Halkema-Paikem Saat Peti Laut jadi Penanda Pangkat Pegawai VOC KNIL Jerman Ikut Kempeitai Dewi Dja Memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia di Amerika Menuturkan Sejarah Jakarta Lewat Furnitur Kakek Marissa Haque dan Kemerdekaan Indonesia