Tahun 2020 hubungan diplomatik resmi Indonesia-Australia menapaki usia ke-70. Sepanjang itu, hubungan keduanya mengalami pasang surut. Keduanya pernah bersitegang ketika menyikapi masalah Hak Asasi Manusia, Timor Leste, perbatasan, dan terorisme. Tapi tak jarang juga keduanya menikmati masa “bulan madu”.
Istilah masa “bulan madu” Indonesia-Australia berasal dari Margaret George dalam bukunya Australia dan Revolusi Indonesia. Masa ini berlangsung selama periode awal kemerdekaan Indonesia.
“Australia adalah salah satu negara Barat yang pertama yang mendukung kemerdekaan Indonesia,” kata Kresno Brahmantyo, sejarawan pengkaji Australia. Dukungan ini tak lepas dari situasi dan kepentingan dalam dan luar negeri Australia.
Sebelum menyatakan dukungannya, pemerintah Australia kurang antusias dengan Proklamasi kemerdekaan Indonesia. “Semuanya ini terjadi tanpa Australia tampak segera memberi perhatian besar,” catat Margaret George.
Baca juga: Kisah Berlawan dari Benua Seberang
George juga mencatat tak ada pembicaraan antara pejabat Australia dengan Belanda, yang menjadi sekutunya dalam Perang Dunia II, terkait Proklamasi Indonesia.
Perhatian pemerintah Australia terhadap Proklamasi Indonesia mulai berubah ketika ada desakan dari rakyat Australia. “Mereka meminta Ben Chifley, Perdana Menteri Australia dari Partai Buruh, untuk bersikap mendukung kemerdekaan Indonesia,” kata Harry Dharmawan, peneliti hubungan Indonesia-Australia sekaligus pengajar di FISIP Universitas Az-Zahra.
Ada dua partai besar dan berpengaruh di Australia: Partai Buruh dan Partai Liberal. Keduanya memiliki ideologi, basis massa, dan garis perjuangan berbeda.
“Partai Buruh cenderung memilih jalan kiri, beranggotakan pekerja rendahan dan kaum imigran. Sedangkan Partai Liberal berada di garis kanan dengan anggota terdiri dari bangsawan dan pemodal,” ungkap Harry. Partai Buruh mulai memegang kekuasaan pada 1942.
Baca juga: Berita Proklamasi Bergema dari Australia ke Papua
Ketika orang-orang dari Partai Liberal meminta pemerintah Australia agar menunggu kabar resmi dari Blok Sekutu terhadap keadaan Indonesia, orang-orang dari Partai Buruh justru mendesak pemerintah menyatakan dukungannya untuk kemerdekaan Indonesia.
Banyak orang di Australia bahkan secara terang-terangan telah menyatakan dukungannya untuk Indonesia. Mereka antara lain berasal dari buruh pelabuhan dalam Waterside Workers’ Federations of Australia (WWF). Mereka menunjukkan dukungannya dengan mogok kerja dan memboikot kapal-kapal Belanda di pelabuhan Australia pada September 1945.
“Akibatnya kapal-kapal Belanda tak bisa berlabuh di Australia atau berangkat dari Australia untuk menuju Indonesia,” terang Harry. Aksi ini mendapat sokongan penuh dari Partai Buruh dan Partai Komunis Australia, pecahan Partai Buruh.
Melihat awak pelabuhan mogok, pemerintah pengasingan Hindia Belanda di Australia dan pemerintah Belanda protes keras. Mereka meminta Chifley bertindak tegas terhadap para pendukung kemerdekaan Indonesia di Australia.
Baca juga: Joris Ivens dan Dukungan Buruh Australia untuk Indonesia
Pemerintah Australia berupaya mengambil sikap terbaik untuk menjaga hubungannya dengan Belanda sebagai sesama Sekutu. Caranya dengan menangkapi sejumlah pendukung kemerdekaan Indonesia di Australia. “Beberapa di antaranya dituduh sebagai imigran gelap dan dipenjarakan,” catat Margaret. Tetapi protes terus berlanjut. Beberapa tahanan kemudian dilepaskan pemerintah Australia. Ini membuat Belanda berang.
Menurut Hilman Adil dalam Hubungan Australia dengan Indonesia 1945–1962, pemerintah Australia bahkan sampai harus mengeluarkan pernyataan “Mereka lebih menyukai kehadiran Belanda di Indonesia” untuk menenangkan Belanda.
Tetapi pemerintah Hindia Belanda di pengasingan belum puas dengan tindakan pemerintah Australia. Mereka meminta lebih banyak hal dari Australia.
Bagi orang Belanda, kekalahan Jepang atas Sekutu menyebabkan Indonesia berada dalam kekosongan kekuasaan. Karena itu, Belanda merasa berhak kembali menduduki Indonesia sejak Jepang menyerahkan kekuasaannya di Indonesia kepada Sekutu pada 2 September 1945.
Baca juga: Belanda Mengawasi Indonesia dari Australia
Karena Australia juga bagian dari Sekutu dan ikut menyelamatkan pemerintah Hindia Belanda ketika Jepang menyerang Hindia Belanda pada 1942, Australia diminta Belanda untuk ikut serta memperkuat militer Sekutu di Indonesia. Desakan ini kian deras ketika meletus pertempuran antara Sekutu dan orang-orang pro-Republik di Surabaya pada akhir Oktober 1945.
Pemerintah Australia terbagi dua dalam menyikapi permintaan Belanda. “Di satu sisi, ada desakan dari Partai Buruh untuk mendukung penuh kemerdekaan Indonesia. Di sisi lain, mereka tak bisa lepas dari Sekutu. Karena itu, mereka bersikap hati-hati dan lambat dalam berkeputusan,” terang Harry.
David Fettling dalam “J.B. Chifley and the Indonesian Revolution, 1945–1949” mengungkapkan, H.V. Evatt, menteri luar negeri Australia, mengirim proposal ke Chifley agar menuruti permintaan Sekutu untuk melibatkan militer Australia ke Jawa. “Untuk menyelesaikan tugas Sekutu,” tulis David termuat dalam Australian Journal of Politics & History, Vol. 59, Desember 2013.
Baca juga: Politisi Australia Sahabat Indonesia
Tapi bagi Partai Buruh dan kelompok penyokong kemerdekaan Indonesia di Australia, kehadiran militer Australia di Indonesia mengkhianati sikap awal Australia. Setelah Sekutu memenangkan Perang Dunia II, Australia telah menyatakan sikapnya tentang pendudukan suatu wilayah oleh Sekutu.
“Bahwa kalau kekuatan kolonial Eropa kembali memasuki wilayah Asia Tenggara, penduduk setempat mungkin akan menolak mereka,” ungkap Margaret. Sikap ini ditegaskan ulang oleh Chifley pada 29 Agustus 1945. Mereka tak ingin terlibat lebih jauh mencampuri urusan negara merdeka lainnya. “Australia harus menahan diri dari setiap perluasan tanggung jawabnya yang sekarang atas persoalan-persoalan sipil di wilayah yang diduduki kembali,” kata Chifley. Karena prinsip ini, Australia enggan mengirim pasukannya ke Indonesia. Meskipun pada akhirnya mereka terpaksa mengirimnya.
Harry menambahkan, pemerintah Australia juga terus mengamati siapa yang memimpin Indonesia sebelum mengeluarkan sikapnya. “Apakah yang memimpin Indonesia itu orang-orang dari sayap kiri atau kolaborator Jepang. Sama seperti Inggris dan Amerika Serikat, mereka semua menunggu dan membaca keadaan Indonesia,” kata Harry.
Baca juga: Tewasnya Perwira Australia di Bogor
Sikap seperti ini membuat Australia terlihat mendua bagi orang-orang Indonesia kala itu. Tapi bagi pemerintah Belanda, sikap Australia lebih sering mengecewakan mereka. Ini juga menempatkan Australia berbeda dari negara Barat lainnya. Bahkan diplomat Amerika Serikat dan Inggris melihat Australia terlalu menjadi “partisan bagi Indonesia”. Mereka bertanya-tanya, bagaimana orang Australia sampai bisa seperti itu.
“Kebijakan Australia dengan condong mendukung kemerdekaan Indonesia daripada memenuhi keinginan Belanda terlihat lebih radikal daripada negara Barat manapun,” catat Fettling.
Dari rangkaian peristiwa ini, Harry berkesimpulan sebenarnya pemerintah Australia tak bisa terlalu bulat dan langsung mendukung kemerdekaan Indonesia. Tapi mereka juga mustahil menolak sepenuhnya kemerdekaan Indonesia.
“Karena saat itu Australia dikuasai Partai Buruh dan pemerintahnya juga sempat mengirim delegasi untuk bertemu Sukarno tak lama setelah Proklamasi. Tapi di sisi lain, mereka juga harus melihat kepentingan dalam negeri dan hubungan dengan negara lainnya seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Belanda. Itulah strategi diplomasi. 'Main dua kaki',” kata Harry.