Perdana Menteri Sutan Sjahrir menggelar pesta kecil di Jakarta untuk perpisahan tentara Sekutu pimpinan Inggris pada akhir November 1946. Tugas mereka selesai dan akan meninggalkan Indonesia per 30 November 1946.
Sjahrir mengakui tugas Sekutu rumit dan tak mudah di tengah konflik Indonesia-Belanda. Banyak kesalahpahaman terjadi antara orang Indonesia dengan tentara Sekutu. Mulanya, orang Indonesia menganggap tentara Sekutu ikut mendukung upaya kembalinya Belanda ke Indonesia. Tapi pada akhirnya, Sekutu tak ikut campur urusan kedaulatan Indonesia.
Sekutu, melalui Inggris, mendorong Indonesia dan Belanda menyelesaikan konflik lewat diplomasi. Inggris terlibat sebagai penengah dalam perundingan Indonesia-Belanda di Linggajati, Kuningan, Jawa Barat. Tapi seiring penarikan Sekutu dari Indonesia, Inggris meninggalkan perannya sebagai penengah.
“Setelah kepergian Inggris, pemerintah Australia berupaya mengambil peran menonjol dalam perselisihan Indonesia dan Belanda,” kata Harry Dharmawan, pengajar di FISIP Universitas Az-Zahra sekaligus kandidat doktor Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran.
Baca juga: Sikap Australia Terhadap Kemerdekaan Indonesia
Selama Inggris berada di Indonesia, peran Australia dalam perselisihan Indonesia-Belanda kurang menonjol. Inggris seringkali mementahkan keinginan Australia untuk terlibat lebih jauh dalam perselisihan Indonesia-Belanda. Misalnya terjadi ketika Inggris, Indonesia, dan Belanda akan menggelar perundingan di Linggajati pada 7 Oktober 1946.
Menteri Luar Negeri Australia H.V. Evatt menyatakan kepada pemerintah Inggris bahwa kepentingan Australia terhadap penyelesaian perselisihan Indonesia-Belanda lebih besar daripada kepentingan Inggris.
“Ia menyatakan keinginan kuat supaya Australia terwakili dalam perundingan tiga pihak di Cirebon (Jawa) pada 7 Oktober di mana wakil-wakil Inggris, Belanda, dan Republik akan membicarakan penyelesaian politik,” ungkap Margaret George dalam Australia dan Revolusi Indonesia. Tapi Inggris menolak permintaan itu.
Ditolak Inggris, Australia beralih kepada Belanda. Mereka mengajukan kesediaannya untuk membantu Belanda dalam setiap perundingan dengan Indonesia. Tapi Belanda tak bersedia menerima bantuan Australia dalam perundingan di Linggajati.
Belanda kadung kecewa dengan sikap Australia dalam menangani pemogokan buruh di pelabuhan (waterside workers) Brisbane dan Sydney sejak Agustus 1945. Peristiwa ini terkenal dengan nama Armada Hitam (Black Armada).
Baca juga: Larangan Hitam untuk Armada Hitam
Australia enggan bertindak terlalu keras pada buruh-buruh pelabuhan. Padahal Australia tergabung dalam kubu Sekutu bersama Belanda. Mereka memang sempat menangkapi buruh-buruh tersebut, tapi kemudian melepasnya. Ini membuat pemogokan berlangsung hingga 1946 dan menyebar ke Melbourne dan Freemantle.
Akibat pemogokan berlarut-larut itu, kapal-kapal Belanda tak bisa berlayar. Padahal Belanda butuh kapal-kapal itu untuk memobilisasi pasukan dan senjatanya ke Indonesia. Belanda menganggap Australia “terlalu memberi hati” kepada Indonesia.
Dunia yang Berubah
Kepergian Inggris dari Indonesia menjadi titik balik peran Australia dalam perundingan Indonesia-Belanda. Saat bersamaan, muncul desakan dari rakyat Australia agar pemerintah keluar dari bayang-bayang Inggris dalam menentukan politik luar negerinya. Selama hampir 50 tahun, politik luar negeri Australia tak pernah mandiri dan mengekor kebijakan Inggris.
“Ini berlangsung ketika Australia dikuasai Partai Liberal, partai konservatif. Mereka lebih dominan, solid, dan berpengalaman daripada Partai Buruh,” kata Harry.
Tapi setelah Perang Dunia II, orang-orang Australia melihat dunia sudah berubah. Inggris kehilangan beberapa daerahnya di Asia. Mereka tak percaya lagi pada kemampuan Inggris dan rekan negara “kulit putih” lainnya dalam melindungi keamanan wilayah Pasifik.
Selain itu, orang-orang dari Partai Buruh Australia, partai yang berkuasa di Australia selama 1941–1949, menilai Indonesia memiliki posisi strategis untuk menjadi mitra Australia dalam pertahanan dan ekonomi. “Indonesia daerah kaya sumber daya alam. Secara ekonomi mengutungkan buat Australia,” kata Harry.
Baca juga: Belanda Mengawasi Indonesia dari Australia
Sejak Indonesia merdeka pada Agustus 1945 sampai perundingan Linggajati pada November 1946, sikap pemerintah Australia terhadap kemerdekaan Indonesia kurang jelas. Tak sepenuhnya mendukung atau menolak secara bulat.
“Strategi diplomasi pemerintah Australia ‘main dua kaki’. Lagipula di dalam negeri mereka sendiri, situasinya juga terbelah. Sebagian ke Belanda, lainnya ke Indonesia. Oposisi terhadap Partai Buruh juga keras. Bahkan Perdana Menteri dan Menteri Luar Negerinya sering berbeda pandangan dalam melihat hubungan dengan Indonesia dan Belanda meski mereka sama-sama dari Partai Buruh. Jadi susah juga bagi pemerintah bersikap bulat,” kata Harry.
Tapi setelah Indonesia dan Belanda menandatangani perjanjian Linggajati pada Maret 1947, pemerintah Australia secara terbuka mulai menyatakan dukungannya kepada upaya Indonesia mempertahankan kemerdekaan. Australia bahkan mengajukan tawaran kepada Perdana Menteri Sjahrir untuk memperkuat hubungan dagang dengan Indonesia tanpa menunggu persetujuan Belanda.
Upaya ke DK-PBB
Ketika Belanda menggelar agresi militer di wilayah Indonesia sejak 21 Juli 1947, Perdana Menteri Australia Joseph Benedict Chifley mengecam keras tindakan itu. Dia meminta Belanda agar menghentikan agresinya. Australia juga menggalang kekuatan bersama India untuk membawa masalah ini ke Dewan Keamanan Persatuan Bangsa-Bangsa (DK-PBB). Keduanya memiliki wewenang ini karena anggota DK-PBB.
“Chifley percaya membawa perselisihan tersebut kepada PBB sebagai cara untuk melindungi Republik Indonesia,” catat David Fettling dalam “J.B. Chifley and the Indonesian Revolution, 1945–1949” termuat di Australian Journal of Politics and History, Desember 2013.
India menggunakan pasal 34 Piagam PBB untuk membawa agresi militer Belanda ke DK-PBB. Ini berarti India menganggap serangan Belanda sebagai ancaman terhadap perdamaian dunia.
Baca juga: Politisi Australia Sahabat Indonesia
Tapi Australia melangkah lebih jauh daripada India dengan membawa masalah ini menggunakan pasal 39 Piagam PBB. Dengan pasal ini, Australia berusaha mendakwa Belanda telah melanggar kedaulatan wilayah negara lain.
Langkah ini cukup progresif. Pertama, Australia untuk kali pertama bertindak mandiri dalam sengketa Indonesia-Belanda tanpa bayang-bayang Inggris. Kedua, dakwaan itu harus berangkat dari adanya dua negara setara yang sedang berkonflik. Ini berarti semakin menegaskan pengakuan pemerintah Australia terhadap Indonesia sebagai negara berdaulat.
Belanda mengkritik upaya Australia dan India. Menurut Belanda, urusan Belanda-Indonesia merupakan urusan dalam negeri Belanda. PBB dan negara lain tak berhak ikut campur. Sikap ini menunjukkan bahwa Belanda tak mengakui Indonesia sebagai sebuah negara.
Jadi Anggota Komisi Jasa Baik
Australia mengajukan proposal kepada DK-PBB agar menindak Belanda. Tapi Amerika Serikat sebagai anggota tetap DK-PBB memveto proposal tersebut. Dukungan veto datang dari Inggris, Prancis, dan Belgia.
Sebagai gantinya, Amerika Serikat mengajukan proposal yang lebih lunak daripada proposal Australia. Isinya tentang pembentukan Komisi Jasa Baik (Committee of Good Office for Indonesia) untuk membicarakan perselisihan Indonesia-Belanda sesuai dengan pasal 17 Perjanjian Linggajati, yaitu melalui arbitrase.
Australia menerima proposal Amerika Serikat dengan syarat wakil Indonesia harus diizinkan ikut dalam sidang DK-PBB untuk menjelaskan agresi itu dan terlibat dalam pembahasan komisi tersebut. Usulan Australia disetujui. Untuk kali pertama, wakil Indonesia duduk dalam sidang DK-PBB.
Baca juga: Kisah Berlawan dari Australia
Meski gagal menggolkan proposalnya, Australia bersama India cukup berhasil membuat negara lain ikut menekan Belanda agar menghentikan serangannya. Belanda pun bersedia gencatan senjata dengan Indonesia selama sidang DK-PBB. Hasilnya DK-PBB mengeluarkan resolusi kepada Indonesia-Belanda untuk menyelesaikan perselisihan lewat arbitrase Komisi Jasa Baik pada 25 Agustus 1947.
Indonesia dan Belanda menerima resolusi itu. Resolusi menyebutkan Indonesia dan Belanda berhak memilih dua negara anggota DK-PBB untuk masuk ke dalam Komisi Jasa Baik (kemudian disebut sebagai Komisi Tiga Negara atau KTN). Indonesia memilih Australia, sedangkan Belanda menunjuk Belgia. Kemudian Australia dan Belgia berhak menunjuk satu negara anggota DK-PBB sebagai penengah. Mereka memilih Amerika Serikat untuk memainkan peran tersebut lantaran negara itu punya kemampuan untuk menekan.
Keputusan Indonesia memilih Australia daripada India atau negara lainnya berlandas pada setidaknya dua hal. “Sjahrir melihat sikap Australia yang kian condong pada Indonesia setelah Linggajati hingga sidang DK-PBB dan hubungan diplomatik Australia di DK-PBB dengan Prancis, Inggris, dan AS,” kata Harry.
Baca juga: Joris Ivens dan Dukungan Buruh Australia untuk Indonesia
Australia telah menggapai keinginannya terlibat dalam perselisihan Indonesia-Belanda dengan menjadi anggota KTN. Melalui KTN, Australia berusaha pula menggapai agenda politik luar negerinya terhadap Indonesia.
“Semua itu disesuaikan pula dengan kondisi dan kepentingan dalam negerinya. Hal ini akan terlihat pada perundingan Indonesia-Belanda selama dan setelah KTN. Terutama menyangkut Irian Barat,” kata Harry.
Pada akhirnya, menurut Harry, kebijakan Australia merupakan kompromi dari cita-cita sekaligus kenyataan di lapangan. “Idealnya mereka ingin merangkul Indonesia dan Belanda. Tapi realitasnya tak bisa seperti itu. Mereka harus memilih. Dan pilihannya jatuh ke Indonesia. Ya, ini pragmatis,” kata Harry.