Masuk Daftar
My Getplus

Dewi Dja Memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia di Amerika

Lewat pertunjukan seni-budayanya, Dewi Dja ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di Amerika. Sempat diinterogasi FBI karena dituding antek komunis, Dja tak gentar galang dukungan untuk tanah airnya

Oleh: Amanda Rachmadita | 15 Okt 2024
Dewi Dja (nomor 5 dari kanan di bagian belakang) duduk bersama Sutan Sjahrir (nomor 6) dan Haji Agus Salim (nomor 8) dalam sebuah pertemuan yang digelar di Amerika Serikat pada tahun 1947. (Ramadhan KH, Gelombang Hidupku: Dewi Dja dari Dardanella).

SOETIDJA, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Miss Dja atau Dewi Dja, tiba di Amerika melalui Eropa pada tahun 1939. Bersama sejumlah orang Indonesia yang tergabung dalam Devi Dja’s & Javanese Cultural Dancers, ia sebelumnya mengunjungi berbagai negara di Asia dan Eropa sebelum pecah Perang Dunia II.

Seperti di dua benua sebelumnya, rombongan ini juga melakukan tur ke berbagai kota di Negeri Paman Sam. Tak tanggung-tanggung, Dja pun tampil dalam sejumlah film yang diproduksi Hollywood seperti Road to Singapore (1940), Road to Morocco (1942), hingga The Picture of Dorian Gray (1945).

Perempuan kelahiran Pandaan, Jawa Timur, 1 Agustus 1914, itu tak hanya menarik perhatian orang-orang di industri film, musik maupun teater tetapi juga para ahli di dunia mode Amerika. Seorang perancang topi bernama Lilly Dache, misalnya, menciptakan sebuah serban berdasarkan tata rambut Dewi Dja dan rekan-rekanya.

Advertising
Advertising

Baca juga: 

Dardanella Menembus Panggung Dunia

Bertahun-tahun hidup di negeri orang, Dja tak pernah sedikitpun melupakan tanah airnya. Maka ketika mendapat kabar bahwa kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 mendapat tantangan dari Belanda, Dja ingin ikut ambil bagian dalam perjuangan negaranya.

Dua tahun setelah Indonesia merdeka, Dja mendapat undangan untuk menyambut Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim, dan anggota rombongan dari Indonesia yang datang ke New York pada Agustus 1947. Kala itu Sjahrir yang menjabat sebagai perdana menteri dan Agus Salim yang ditunjuk menjadi menteri luar negeri Indonesia datang ke Amerika Serikat untuk menggalang dukungan bagi kemerdekaan Indonesia.

Di Hotel Commodore, New York City, Dja dan rekan-rekannya menampilkan pertunjukan tari pada 18 Agustus 1947 ketika menghadiri makan malam bersama delegasi Indonesia. Momen ini dikisahkan Dewi Dja dalam memoarnya yang ditulis oleh Ramadhan KH, Gelombang Hidupku: Dewi Dja dari Dardanella. Ia mengenang dalam acara tersebut Sjahrir dan Agus Salim bergantian memberikan pidato mengenai tujuan kedatangan mereka ke Negeri Paman Sam dan menyampaikan dukungan serta bantuan dari negara lain untuk membantu Indonesia mempertahankan kemerdekaan dari ancaman Belanda.

“Selesai acara makan bersama, mulailah tugas kami menghibur hadirin dengan pelbagai macam tari-tarian. Sukoro keluar dengan suatu tarian Jawa. . . Mima, Tina, dan aku keluar dengan tarian Bali secara bersama-sama. […] Acara kesenian pada pertemuan ini akhirnya ditutup dengan mendapat pujian dari banyak orang,’’ kenang Dja.

Selama di New York, Dja bertemu dengan sejumlah pemuda Indonesia yang tergabung dalam American Committee for Indonesia’s Independence (ACII). Dua di antaranya adalah Lari Bogk dan Charles Biddien. Menurut Matthew Isaac Cohen dalam Performing Otherness: Java and Bali on International Stages, 1905-1952, Lari Bogk yang nama aslinya Mansoer Bogok merupakan aktivis kelahiran Padang yang pernah menjadi asisten masinis di sebuah kapal Belanda. Ia tiba di California tahun 1942 dan bekerja di Voice of America, yang memproduksi siaran berita setengah jam setiap hari dalam bahasa Jawa, Melayu, dan Indonesia.

Dewi Dja menari di depan Claudette Colbert, menjelang pembuatan film "Three Came Home"-nya 20th Century Fox. (Ramadhan KH, Gelombang Hidupku: Dewi Dja dari Dardanella).

Sementara itu dalam suratkabar De Waarheid, 23 Juli 1981, dilapokan bahwa Charles Biddien merupakan salah satu anak buah kapal dari Indonesia yang ambil bagian dalam aksi unjuk rasa yang diikuti dengan pemogokan terhadap 11 kapal Belanda di Pelabuhan New York pada Oktober 1945.

“Berkat hubungan yang erat antara pelaut Indonesia dengan berbagai organisasi di Amerika, senjata-senjata yang dikapalkan berhasil dibawa kembali ke daratan. Nama-nama pelaut Indonesia seperti Charles Biddien, Eddy Marie, Masrie, dan lainnya tidak bisa dilepaskan dari sejarah Revolusi Kemerdekaan Indonesia,” tulis suratkabar berbahasa Belanda itu.

Bersama dengan para pemuda Indonesia itu, Dja mengorganisir sebuah rombongan tarian yang terdiri dari orang-orang Indonesia dan Filipina dari Bay Area yang tampil di sekitar California untuk mendapatkan simpati dan menggalang dukungan bagi perjuangan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan dari serangan Belanda. Tak hanya itu, aksi ini juga diselenggarakan dengan maksud memberi dukungan bagi para pelaut Indonesia yang ditahan oleh pemerintah Amerika Serikat atas pelanggaran imigrasi.

Baca juga: 

Sandiwara Dardanella Diawasi Intel Belanda

Bogk memuji keberanian dan semangat tak kenal lelah Dewi Dja dalam melawan propaganda Belanda yang marak dimuat di berbagai surat kabar Amerika. “Menurut Lari Bogk, bukan keuntungan finansial yang Dewi Dja utamakan, melainkan cita-cita rakyat jelata Indonesia yang merupakan prioritasnya. […] Peringatan teman-temannya di Amerika agar hati-hati dalam pergaulannya dengan pihak-pihak kiri tak digubrisnya. Ia tidak takut akan diusir oleh Dinas Imigrasi Amerika,” tulis Jaap Erkelens dalam Dardanella: Perintis Teater Indonesia Modern, Duta Kesenian Indonesia Melalang Buana.

Meski begitu, apa yang dikhawatirkan kawan-kawan Dja nyatanya terbukti benar. Ketika tengah mengajar di sebuah sekolah balet di Los Angeles, Dja didatangi petugas-petugas Federal Bureau of Investigation (FBI). Bintang panggung Dardanella itu diinterogasi karena dicurigai terafiliasi dengan kelompok komunis. Kecurigaan itu berasal dari keikutsertaan Dja dalam sebuah pertunjukan yang digelarnya bersama Lari Bogk dan kawan-kawan lain beberapa waktu sebelumnya.

Pertunjukan yang digelar di Memorial Theater itu merupakan salah satu rangkaian dari aksi penggalangan dukungan bagi kemerdekaan Indonesia di Amerika Serikat. Mulanya pertunjukan yang menampilkan kepiawaian Dewi Dja menari tarian tradisional Indonesia itu menuai decak kagum dari para penonton yang berbondong-bondong membeli tiket pertunjukan tersebut. Namun ketika pertunjukan akan selesai, Lari Bogk muncul di depan layar dan memberikan pidato berapi-api mengenai kemerdekaan Indonesia. Tak hanya itu, ia juga berbicara mengenai sikapnya yang antikolonialisme, antiimperialisme, dan antikapitalisme. Berulangkali pria itu menyebut bahwa ia benci kepada kapitalis-kapitalis yang hanya tahu mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dari negara-negara manapun. Ia juga menyoroti koran-koran dagang yang gencar menyuarakan propaganda Belanda.

Dewi Dja bertemu dengan Sukarno di Jakarta pada 1959. (Ramadhan KH, Gelombang Hidupku: Dewi Dja dari Dardanella).

Pidato panjang Bogk rupanya dianggap berlebihan oleh sejumlah penonton. Tak sedikit yang merasa tersinggung dengan pernyataan salah satu pemimpin ACII itu. Suara gaduh mulai terdengar di barisan kursi belakang penonton.

“Ku dengar orang mencela dengan menyebutkan bahwa ia rugi membayar karcis untuk mendengarkan pidato politik. Orang-orang keluar gedung sambil marah-marah. Malahan ada yang melemparkan kursi dan botol-botol,” kenang Dja.

Peristiwa itu berbuntut panjang bagi Dja. Ia dianggap sebagai antek komunis. Tudingan itu segera dibantah Dja yang mengatakan bahwa ia tidak masuk partai manapun dan tak tahu apa-apa tentang komunis.

“Aku cuma mau ikut membantu perjuangan negeriku. Aku mau ikut dengan mereka yang berjuang mempertahankan kemerdekaan negeriku,” katanya.

Pengalaman kurang menyenangkan itu tak mengurangi semangat Dja untuk tetap terlibat dalam perjuangan rakyat Indonesia. Cohen menulis bahwa studio Dja di daerah Vermont, Los Angeles menjadi pusat kegiatan orang Indonesia selama tahun 1950-an dengan acara-acara rutin dan pertemuan-pertemuan sosial.

‘’Dja merupakan contoh utama dari apa yang disebut oleh filsuf Kwame Anthony Appiah sebagai seorang patriot kosmopolitan. Ia memilih untuk menjadi warga negara Amerika demi kebebasan yang dijamin oleh negara dalam mengejar karir artistiknya, namun ikatan sentimentalnya tetap ada pada negara asalnya,’’ tulis Cohen.

Baca juga: 

Saat Pemuda Menyuarakan Kemerdekaan Indonesia di Amerika Serikat

Dja tak pernah berhenti menampilkan berbagai tarian tradisional Indonesia di panggung Amerika. Melalui penampilannya itu Dja tak hanya mengenalkan kesenian Indonesia kepada masyarakat Amerika, tetapi juga membantu meningkatkan pemahaman serta apresiasi yang lebih baik terhadap budaya Indonesia melalui seni. Oleh karena itu ketika Sutan Sjahrir mengunjungi New York pada 1947, Dja diangkat sebagai duta budaya Indonesia.

Aktivitas Dja tak melulu soal seni dan kebudayaan, pada awal 1980-an bersama dengan Departemen Kehakiman, FBI, dan Konsulat Indonesia, ia juga membantu mengadvokasi para pekerja Indonesia yang ditipu oleh pengusaha tidak bertanggungjawa untuk bekerja secara ilegal di Amerika. Para pelaku akhirnya didenda dan menjalani masa percobaan.

Sementara itu, keinginan Dja untuk dapat kembali menginjakkan kaki di tanah air akhirnya terwujud setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada Desember 1949. Tercatat tiga kali Dja mengunjungi Indonesia, yakni pada tahun 1959, 1977, dan 1982. Ia pernah mengutarakan keinginannya untuk dimakamkan di Indonesia, namun harapan itu belum sempat terwujud karena pada 19 Januari 1989 Dja meninggal dunia di Los Angeles. Ia dimakamkan di Forest Lawn Memorial Park (Hollywood Hills), yang juga menjadi tempat bersemayam sang suami, Alli Asan, yang lebih dahulu menghadap sang pencipta pada 4 November 1985.

TAG

kemerdekaan indonesia amerika serikat

ARTIKEL TERKAIT

Warisan Persahabatan Indonesia-Uni Soviet di Rawamangun Ketika Kapolri Hoegeng Iman Santoso Kena Peremajaan Sekolah Dokter Dulu Sekolah Miskin Setelah  Jadi ABRI, Polisi Jadi Alat Politik Penguasa Cerita di Balik Pengunduran Diri Bung Hatta Akibat Bantuan untuk Penduduk Papua Dikorupsi Dulu Hoegeng Jadi Menteri Iuran Negara Arsip Merekam Anak Yatim Zaman Kolonial Beda Cara Polisi Dulu dan Sekarang dalam Berpolitik Partai Murba Seperti Tan Malaka