Sandiwara Dardanella Diawasi Intel Belanda
Kelompok sandiwara Dardanella mementaskan berbagai lakon yang mengangkat isu-isu sosial di masyarakat. Sejumlah lakonnya menjadi sorotan intel Belanda.
MEMASUKI abad ke-20, semangat nasionalisme tumbuh subur di kalangan generasi muda Hindia Belanda. Gagasan kebangsaan muncul seiring meningkatnya kesadaran akan dampak kolonialisme Belanda. Kesadaran ini tak hanya mendorong lahirnya berbagai organisasi untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia, tetapi juga disebarluaskan kepada masyarakat melalui cerita-cerita di panggung sandiwara.
Dardanella memanfaatkan panggung sandiwara sebagai media propaganda untuk menumbuhkan gagasan kebangsaan. Kelompok sandiwara yang dipimpin A. Piedro ini kerap mementaskan lakon yang bermuatan kritik sosial maupun sindiran terhadap pemerintah kolonial. Salah satunya adalah Annie van Mendut (Annie dari Mendut) karya R. Soedarmo, direktur majalah mingguan De Samenwerking di Semarang.
Annie, diperankan Miss Riboet II, merupakan siswi berusia 14 tahun. Ia menentang kehendak orang tuanya yang menikahkannya dengan pengacara muda bernama Raden Andogo. Namun, Annie tak dapat berbuat banyak. Ia harus menuruti keinginan orang tuanya.
Baca juga:
Sementara itu, didorong oleh temannya, Swart, Andogo kemudian meninggalkan Annie dan anaknya untuk belajar hukum di Belanda. Selama menempuh pendidikan di Belanda, dia tak pernah mengabari Annie. Bertahun-tahun berlalu, Andogo akhirnya berhasil meraih gelar sarjana hukum dan kembali ke Indonesia.
Sekembalinya ke tanah air, Andogo mengirim surat kepada Annie untuk memberitahu bahwa dirinya telah kembali ke Jawa. Namun, ia pulang dengan membawa istri baru, seorang wanita Belanda bernama Louise. Hubungan Andogo dan Louise tak bertahan lama karena Swart menyukai istri kawannya itu. Pasangan itu pun berpisah, Andogo kembali pada Annie dengan rasa malu dan bersalah, sementara Swart menikahi Louise.
Menurut Jaap Erkelens dalam Dardanella: Perintis Teater Indonesia Modern, Duta Kesenian Indonesia Melalang Buana, Annie van Mendut tak hanya mengandung pesan bahwa zaman telah berubah dan kebiasaan lama, seperti pernikahan yang diatur oleh orang tua harus ditinggalkan, tetapi melalui karyanya itu juga, Soedarmo yang dikenal pula sebagai pendiri dan guru pada Hollandsch-Inlandsche School “Mardi Siswo” di Semarang, hendak menggambarkan bagaimana seorang manusia menjadi terasing dari bangsanya sendiri setelah mengenyam pendidikan Barat.
Annie van Mendut, yang mulai dipentaskan pada 1929, tak hanya mendapat respons positif dari penonton, tetapi juga menuai pro dan kontra. “Pada akhir Mei 1931, tersiar desas-desus di Padang kalau lakon Annie van Mendut yang dipentaskan untuk pertama kali di Padang tanggal 22 Mei mengandung maksud politik serta penghinaan terhadap orang Eropa di Hindia Belanda. Andjar Asmara yang menilai rumor ini muncul karena kesalahpahaman segera memasang iklan di surat kabar untuk membantah rumor itu, sekaligus memberitahukan pertunjukan ulang untuk lakon tersebut,” tulis Erkelens.
Baca juga:
Lakon Annie van Mendut sampai menarik perhatian intel Belanda. Mengutip surat kabar Soemanget, 29 Juni 1932, Erkelens menulis, sebelum menggelar pertunjukan di Bandung, Andjar Asmara diperingatkan oleh Komisaris Politieke Inlichtingendienst (PID, Dinas Intelijen Politik) di Bandung, H.M. Albreghs. Sang komisaris bahkan menghadiri seluruh pertunjukan.
“Menurut surat kabar ini, lakon Annie van Mendut mengkritik orang Indonesia, yang setelah belajar di universitas di Belanda, lantas menghilangkan kebangsaannya, tidak sudi bercampur gaul dengan bangsanya,” tulis Erkelens. “Alasan spesifik bagi Albreghs untuk memberikan peringatan kepada Andjar Asmara mungkin, setidaknya menurut surat kabar ini, ialah sebuah pertanyaan yang diajukan dalam lakon itu, yakni soal ‘apa artinya cinta bangsa’,” tambahnya.
Pengalaman berhadapan dengan intel Belanda tak hanya sekali dialami Andjar Asmara. Dua tahun setelah peristiwa di Bandung, tangan kanan A. Piedro itu kembali dimintai keterangan oleh intel Belanda ketika Dardanella hendak pentas di Manado pada Juli 1933. Kali ini, mantan pemimpin redaksi majalah film pertama, Doenia Film, itu diinterogasi mengenai lakon ciptaannya berjudul Dr. Samsi.
Pada suatu hari, Soegiat, putra Samsi, mendapat tugas membela Soekaesih yang dituduh membunuh suaminya. Tanpa diketahui Soegiat, ternyata Soekaesih adalah ibu kandungnya yang juga wanita dari masa lalu Samsi. Seiring keberhasilan Soegiat membebaskan Soekaesih dari tuduhan pembunuhan, ia pun akhirnya mengetahui bahwa Samsi merupakan ayah kandungnya, dan dokter itu yang membunuh suami Soekaesih, Leo van den Brink, yang juga rekan kerjanya di rumah sakit.
Baca juga:
Lakon Bung Karno di Panggung Tonil
Lakon-lakon yang ditulis maupun digarap ulang oleh Andjar Asmara bertujuan untuk menarik perhatian kaum intelektual di Hindia Belanda. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikannya di surat kabar Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 30 Oktober 1931. Pria yang lahir dengan nama Abisin Abbas itu mengatakan, sebuah pertunjukan lakon sudah sepatutnya dimanfaatkan juga sebagai sarana edukasi bagi masyarakat.
“Dengan teater pedagogis kita dapat memberikan kepada rakyat apa yang seharusnya kita berikan dengan alat-alat lain, seperti buku-buku, tulisan, koran, dan sebagainya. Sementara dengan buku-buku dan tulisan-tulisan masih menjadi pertanyaan besar apakah mereka akan dibaca, para penonton dari kalangan atas sampai bawah datang ke teater kami untuk bersantai, dan saya tidak bisa membayangkan bidang yang lebih baik untuk pendidikan moral bagi penduduk lokal,” ungkap Andjar Asmara.
Menurutnya, sandiwara atau tonil dapat digunakan sebagai alat untuk pendidikan moral masyarakat, “untuk memperhalus dan mempertinggi budi pekerti, mengasihi sesamanya, menanamkan rasa tanggung jawab, memberantas perjudian, mendiskusikan poligami, mengangkat derajat wanita, dan hal-hal penting lainnya.”*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar