Saat Pemuda Menyuarakan Kemerdekaan Indonesia di Amerika Serikat
Tiga pemuda Indonesia untuk pertama kalinya menghadiri Kongres Pemuda Sedunia di New York, Amerika Serikat. Mereka menyuarakan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda.
PARA pemuda Indonesia yang mengenyam pendidikan di luar negeri mendapat kesempatan untuk mengasah dan mengembangkan keahlian di berbagai bidang. Tak hanya itu, mereka juga menumbuhkan kesadaran bahwa Indonesia juga berhak merdeka dari penjajahan, memiliki pemerintahan yang dipilih oleh rakyat, dan dapat menentukan nasib sendiri tanpa intervensi negara lain.
Atas dasar ini pula banyak pemuda Indonesia bergabung dengan sejumlah organisasi. Kendati tujuan utamanya adalah kemerdekaan Indonesia, tetapi para pemuda juga menyuarakan aspirasi seputar isu-isu kemanusiaan dan perdamaian dunia.
Salah satu organisasi yang didirikan pemuda adalah Roekoen Peladjar Indonesia (Roepi) pada 18 Februari 1936. Menurut sejarawan Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600–1950, meski organisasi ini menyatakan diri tidak bergerak dalam politik maupun agama, Roepi turut mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia dan perbedaan pendapat dipandang sebagai pegangan bersama. Sebab, tujuan organisasi ini untuk mempersatukan semua pelajar Indonesia di perantauan. Tak butuh waktu lama hingga Roepi berkembang menjadi perhimpunan yang diminati oleh mahasiswa Indonesia.
Baca juga:
Berbagai kegiatan dilakukan oleh anggota Roepi, mulai dari menyelenggarakan diskusi dan pertandingan olahraga yang mempertemukan para pelajar dari berbagai kota, menerbitkan majalah perhimpunan yang dinamai Soeara Roepi, hingga aktif ambil bagian dalam berbagai kongres internasional. “Roepi berkembang menjadi organisasi yang menghimpun semua mahasiswa dan menjadi pemimpin serta pengambil prakarsa untuk berbagai macam kegiatan,” tulis Poeze.
Salah satu kongres yang dihadiri oleh perwakilan Roepi adalah World Youth Congress (Kongres Pemuda Sedunia) di New York, Amerika Serikat pada Agustus 1938. Dua orang pemuda diutus ke kongres tersebut, yakni Soenito dan Maroeto Daroesman. Sebuah kegiatan diselenggarakan untuk menggalang dana bagi kebutuhan perjalanan Soenito dan Maroeto.
“Acara-acara propaganda diadakan; dalam acara demikian diadakan pidato untuk menarik masyarakat, disusul dengan acara tarian dan musik. Seluruhnya berhasil dikumpulkan uang seribu gulden,” tulis Poeze. Setibanya di New York, Herawati Latip yang kala itu tengah menempuh pendidikan di Amerika turut bergabung dengan Soenito dan Maroeto sebagai perwakilan dari Indonesia di kongres internasional tersebut.
Menurut Herawati dalam Kembara Tiada Berakhir, Roepi bukan satu-satunya organisasi Indonesia yang ambil bagian dalam World Youth Congress di New York. Bersama dengan Roepi, Indonesisch Vredes Bureau (Biro Perdamaian Indonesia) juga ikut serta dalam kongres ini. World Youth Congress memang bukan sekadar pertemuan biasa. Kongres internasional itu dihadiri oleh ratusan anak muda dari berbagai negara. Mereka berkumpul di New York untuk membahas berbagai isu-isu kemanusiaan yang tengah menjadi sorotan dunia, salah satunya ancaman Perang Dunia II.
“Tujuh ratus anak muda dari 53 negara berkumpul untuk mendiskusikan dunia seperti apa yang ingin mereka warisi. Kongres Pemuda Sedunia menolak segala bentuk perang dan kehancuran, menjunjung tinggi persaudaraan antarbangsa, dan mengupayakan perdamaian dunia. Ini juga merupakan pertama kalinya Indonesia diwakili di Amerika,” tulis Herawati yang kelak menikah dengan B.M. Diah, jurnalis sekaligus pemimpin pergerakan pemuda pada masa revolusi Indonesia.
Pembukaan konferensi ini ditandai dengan defile dari 53 negara yang diwakili oleh para peserta. Peserta dari Indonesia berjalan dengan membawa bendera dan panji-panji sendiri. Ketiga perwakilan Indonesia itu kemudian berbicara dalam sidang komisi dan sidang pleno. Selain itu, mereka juga mementaskan tarian dan pencak, serta menyelenggarakan pameran kecil. Bagi Herawati dan kawan-kawannya, konferensi ini membuka kesempatan bagi Indonesia untuk menunjukkan kepada dunia gerakan pemuda dan gerakan nasionalis dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan dari penjajahan Belanda.
“Keterwakilan kami di kongres ini merupakan tanda yang jelas bahwa pemuda Indonesia mau dan mampu bekerjasama dengan pemuda negara lain. Para pemuda Indonesia menyadari bahwa harapan yang dijunjung tinggi oleh mayoritas pemuda di negara-negara tersebut juga menjadi aspirasi para pemuda Indonesia,” tulis wanita kelahiran Tanjung Pandan, 3 April 1917 itu.
Perwakilan Indonesia memanfaatkan kongres ini untuk menyuarakan kondisi masyarakat yang terbelenggu penjajahan. “Kemiskinan telah menyebar di antara mereka, dan mereka terbelenggu oleh kebodohan. Kami menyampaikan kepada kongres bahwa jutaan rakyat kita tidak bisa membaca dan menulis, kekurangan makanan dan air, dan tidak mungkin mendapatkan pendidikan karena kurangnya dan mahalnya biaya sekolah,” jelas Herawati.
Tak hanya itu, Herawati, Soenito, dan Maroeto juga menyampaikan bahwa di Indonesia hak berserikat dan berkumpul dibatasi oleh pemerintah kolonial Belanda. Para pemuda dan pelajar tidak diizinkan memiliki organisasi seperti yang mereka inginkan. Selain itu, diskriminasi dan ketimpangan sosial-ekonomi antara orang kulit putih dan kulit berwarna membuat kehidupan penduduk lokal semakin sulit.
“Banyak mahasiswa Indonesia yang menganggur, sementara orang Belanda menguasai begitu banyak posisi senior dan strategis. Rakyat Indonesia ingin memperluas hak-hak mereka dan memperbaiki kehidupan mereka. Tetapi kami juga bersikeras bahwa perdamaian yang kami inginkan bukanlah perdamaian yang hanya berdiam diri, melamun dan menolak untuk berjuang,” tulis Herawati. “Jika suatu bangsa ingin mewujudkan hak-hak mereka dan mencapai kemajuan, maka mereka harus berjuang untuk mengatasi semua rintangan,” tambahnya.
Menurut Poeze, setelah kongres World Youth Congress selesai –penutupannya ditandai dengan penandatanganan Vassar Peace Pact– gagasan-gagasan dalam kongres tersebut harus segera disebarluaskan di Indonesia. Oleh karena itu, dibentuklah Dana Pengiriman Utusan Indonesia yang bersifat permanen. Selain itu, sebagai langkah awal, diterbitkan brosur dalam bahasa Indonesia mengenai kongres di Amerika itu.
Sementara itu, surat kabar De Waarheid, 23 Juli 1981, mengabarkan bahwa atas prakarsa Herawati, Soenito, dan Maroeto Daroesman, didirikanlah sebuah organisasi di New York yang dikenal dengan nama Indonesian Committee for Democracy (INCODEM). Organisasi ini menerbitkan sebuah majalah, pertama kali dengan nama Suara Kita yang kemudian diubah menjadi Indonesian Review.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar