Masuk Daftar
My Getplus

Saat Peti Laut jadi Penanda Pangkat Pegawai VOC

Beragam peti dibawa para pegawai VOC ketika berlayar kembali ke Belanda. Tak hanya menjadi tempat penyimpanan barang berharga, peti kayu ini turut menjadi penanda pangkat pegawai VOC

Oleh: Amanda Rachmadita | 18 Okt 2024
Peti laut merupakan barang yang banyak dibawa para pejabat VOC saat berlayar kembali ke Belanda. Kompeni memberlakukan kebijakan khusus yang mengatur ukuran serta jumlah peti laut yang ditentukan oleh pangkat pegawai VOC. (www.furniturbertutur.com).

SEBUAH gambar menghiasi salah satu dinding pameran temporer bertajuk “Furnitur Bertutur” yang diselenggarakan di Museum Sejarah Jakarta.Gambar yang dibuat oleh seorang pendeta sekaligus pelukis bernama Jan Brandes pada tahun 1780-an itu menggambarkan interior kabin seorang dokter di atas kapal Stavenisse.

Gambar tersebut menarik karena tak hanya memberikan gambaran mengenai tata ruang sebuah kabin kapal di masa lalu, tetapi juga menyediakan informasi mengenai kehidupan para pegawai VOC. Darinya diketahui di mana kabin pribadi yang dilengkapi dengan berbagai furnitur seperti kursi dan laci biasanya hanya diberikan kepada mereka yang memiliki pangkat tinggi dalam hierarki kompeni. Kehadiran beragam furnitur itu tentu sangat membantu para penghuni kabin untuk beraktivitas di atas kapal selama pelayaran panjang yang tak jarang memakan waktu hingga setahun.

Selain menampilkan gambar karya Brandes, pameran yang dibuka sejak 14 Oktober hingga 27 Desember 2024 itu juga merekonstruksi gambar tersebut menjadi sebuah instalasi berjudul “Rumah di Tengah Lautan” yang dilengkapi dengan berbagai furnitur Museum Sejarah Jakarta yang serupa dengan apa yang ada di dalam gambar tersebut. Salah satu yang menarik perhatian dari beberapa furnitur yang telah berusia ratusan tahun itu adalah sebuah peti kayu yang juga dikenal dengan nama peti laut.

Advertising
Advertising

Baca juga: 

Menuturkan Sejarah Jakarta Lewat Furnitur

Menurut kurator pameran “Furnitur Bertutur” yang juga merupakan salah satu pendiri Southeast Asia Museum Services (SEAMS) Andrew Henderson, peti laut umumnya dibawa oleh para pejabat VOC yang kembali ke tanah airnya atau berlayar menuju Batavia dan berbagai wilayah kekuasaan VOC lain di wilayah timur.

“Peti itu digunakan para pejabat VOC untuk menyimpan benda-benda berharga. Mereka diperbolehkan untuk membawa peti-peti tersebut namun izin membawa peti laut diatur sesuai peraturan. Semakin tinggi jabatan yang dimiliki, maka semakin banyak peti yang boleh dibawanya saat berlayar,” sebut Henderson saat memandu tur kuratorial terpadu pameran “Furnitur Bertutur” di Museum Sejarah Jakarta, Kamis (17/10/2024).

Kehadiran peti laut di kabin-kabin kapal para pejabat VOC cukup beralasan. Sebab, menurut Titus M. Eliëns & ‎Monique van de Geijn-Verhoeven dalam Domestic Interiors at the Cape and in Batavia, 1602-1795, peti merupakan salah satu jenis furnitur paling populer di Asia maupun Cape Horn pada masa kekuasaan VOC. Peti laut pertama yang dibawa oleh pegawai VOC digunakan sebagai koper tempat penyimpanan barang-barang pribadi seperti sisir, baju esktra, pisau, sabun, cermin, tembakau, piring dan cangkir, bantal, hingga Alkitab. Sementara, permainan meja yang diizinkan untuk dimainkan di atas kapal, salah satunya catur.

Peti-peti tersebut dibuat secara sederhana, terbuat dari kayu jenis Eropa dan dilengkapi dudukan besi atau kuningan dan kunci yang kokoh. Namun seiring dengan meningkatnya keuntungan yang didapat kompeni dari perdagangan rempah-rempah dan barang-barang eksotis dari Timur, peti laut tak hanya digunakan sebagai koper tetapi juga tempat penyimpanan benda-benda berharga dan bernilai tinggi. Banyaknya penumpang kapal yang membawa peti laut saat hendak melakukan pelayaran jarak jauh membuat kompeni memberlakukan kebijakan khusus yang mengatur ukuran serta jumlah peti laut yang ditentukan oleh pangkat pegawai VOC.

Gambar karya Jan Brandes menghiasi salah satu dinding pameran temporer Furnitur Bertutur yang diselenggarakan di Museum Sejarah Jakarta. (Amanda Rachmadita/Historia.ID).

“Di Indonesia, peti laut mulai digunakan sebagai perabot dan mulai dibuat dari kayu tropis yang lebih tahan terhadap iklim,” tulis Eliëns dan van de Geijn-Verhoeven.

Beberapa peti laut juga dibuat kedap air dengan membentangkan lapisan pelindung di atas tutupnya. Mayoritas peti laut terbuat dari kayu yang tidak dicat atau diwarnai dengan dudukan besi. Menurut Max de Bruijn, ‎Remco Raben, ‎dan An Duits dalam The World of Jan Brandes, 1743-1808: Drawings of a Dutch Traveller in Batavia, Ceylon and Southern Africa, peraturan ketat yang diberlakukan VOC terkait dengan peti laut membuat para pegawai kompeni maupun penduduk Batavia yang hendak melakukan pelayaran jarak jauh dengan membawa beberapa peti harus lebih dahulu melaporkan ukuran dan jumlah peti yang akan dibawanya. Peti-peti laut yang telah disetujui akan ditandai dengan merek VOC.

Baca juga: 

Panjat Sosial Zaman Kolonial VOC

Umumnya para pejabat VOC, khususnya mereka yang memiliki jabatan tinggi seperti gubernur jenderal maupun direktur jenderal, diizinkan untuk membawa banyak peti laut dengan ukuran yang terbilang besar. Contohnya seperti yang dikisahkan Bea Brommer dalam To My Dear Pieternelletje: Grandfather and Granddaughter in VOC Time, 1710-1720, di mana keluarga Van Hoorn, mantan gubernur jenderal VOC, bersiap untuk berlayar dari Batavia menuju Belanda. Keluarga Van Hoorn merupakan bagian dari kelompok elite Batavia dan sebagai mantan orang nomor satu di wilayah koloni, keluarga Van Hoorn bebas membawa berbagai harta benda mereka kembali ke Negeri Kincir Angin.

“Sebuah kabar berhembus di Batavia bahwa keluarga van Hoorn berangkat ke Belanda dengan membawa uang sekitar sepuluh juta gulden. Ketika keluarga itu tiba di Amsterdam, mereka terkejut dengan ‘betapa luas dan besarnya rumor tentang aset pribadi mereka.’ Faktanya, keluarga Van Hoorn membawa surat-surat berharga, obligasi, dan komoditas dengan kekayaan bersih sekitar satu juta gulden,” tulis Brommer. “Barang-barang Van Hoorn juga jauh melebihi batas maksimum yang diizinkan untuk dibawa ke Belanda, lebih dari dua puluh peti yang dipenuhi dengan tekstil India yang berharga dan ribuan keping porselen. Semua barang tersebut memiliki nilai komersial dan sangat diminati,” tambahnya.

Catatan mengenai pelayaran Van Hoorn kembali ke Belanda memberikan gambaran bagaimana sebuah peraturan yang dibuat secara ketat justru sulit untuk diterapkan bila berhubungan dengan pejabat tinggi. Selain itu, tak sedikit perwira di East Indiamen yang cenderung mengabaikan peraturan ini karena tergiur dengan bisnis penyelundupan maupun perdagangan gelap yang pada akhirnya menyebabkan kepadatan di dek kapal.

Penampakan instalasi berjudul Rumah di Tengah Lautan yang merupakan hasil rekonstruksi dari gambar yang dibuat oleh Jan Brandes pada tahun 1780-an. (Amanda Rachmadita/Historia.ID).

Maraknya bisnis penyelundupan seakan telah menjadi rahasia umum bagi para penduduk Batavia di abad ke-18. Tak hanya laki-laki, sejumlah wanita juga turut ambil bagian dalam bisnis ini. Para awak kapal yang bersedia membawa peti-peti itu ke atas kapal ditawari sepertiga hingga setengah dari keuntungan.

Baca juga: 

Kerah Baju Tanda Status Sosial

Salah satu pelaut dan penjaga kabin yang mendapat tawaran ini adalah Jacob Rijke. Brommer menulis, ketika Rijke bertemu dengan Van Hoorn, ia memberitahu pembesar Batavia itu bahwa dirinya telah didekati oleh janda De Roij, née Neeltje Koek, yang secara kebetulan pada 1706 pernah menjadi tamu di resepsi pernikahan Van Hoorn. Neeltje yang mengetahui bahwa Rijke tidak membawa peti, mengusulkan kepada sang pelaut agar ia mengambil salah satu peti miliknya. Ketika Rijke mengunjungi rumah Neeltje di Roa Malakka, ia diperlihatkan sebuah peti Cina besar yang dilengkapi dengan perkakas besi dan bermuatan teh serta porselen. Di Amsterdam, Rijke harus menyerahkan peti tersebut kepada istri Francois Haverkost yang menjabat sebagai kruytleser (pengawas) di East India House. Setelah mendapat persetujuan Rijke, Neeltje Koek secara resmi membuat sebuah perjanjian yang diketahui oleh notaris dan ditandatangani oleh Rijke.

‘’Pelaut itu menjelaskan secara rinci bahwa isi peti tersebut adalah 192 kilogram teh putih, 29 kilogram teh Bohea, 139 mangkuk teh bergaris, 43 cangkir dan piring cokelat yang dihiasi pemandangan dan 81 mangkuk buah bergaris yang dihiasi dengan bunga dan burung, semuanya dari Tiongkok. Nilai total termasuk peti itu adalah 365 Ringgit atau lebih dari sembilan ratus gulden,’’ tulis Brommer.

Mereka yang mengetahui isi peti itu, mulai dari notaris di Batavia hingga kruytleser di East India House, besar kemungkinan kapten kapal juga ikut terlibat, turut meminta bagian dari penyelundupan ini. Rijke yang tidak diberi kesempatan untuk memeriksa transaksi akhir, tetapi jika semua berjalan sesuai rencana, sang pelaut mungkin bisa mendapatkan antara 60 hingga 100 gulden. Bagi Rijke, jumlah ini setara dengan setengah hingga satu tahun gaji. Sementara itu, setelah mendengar informasi ini, Van Hoorn mengirimkan daftar nama para penyelundup yang diketahuinya, termasuk Neeltje Koek, dan mengirimkannya kepada Abraham van Riebeeck, ayah mertua yang juga gubernur jenderal VOC, di Batavia. Sayangnya, mengenai apa yang terjadi dengan pelaut Rijke dan peti yang dibawanya tidak diketahui. Meski begitu, yang pasti diketahui adalah perdagangan gelap dan penyelundupan yang marak dilakukan oleh para pejabat kompeni dan penduduk Batavia pada akhirnya berkontribusi pada runtuhnya VOC di akhir abad ke-18.

TAG

pameran voc

ARTIKEL TERKAIT

Cerita Dua Arca Ganesha di Pameran Repatriasi Arsip Merekam Anak Yatim Zaman Kolonial Tanujiwa Pendiri Cipinang dan Bogor Menyibak Warisan Pangeran Diponegoro di Pameran Repatriasi Menuturkan Sejarah Jakarta Lewat Furnitur Perantau Tangguh yang Menaklukkan Batavia Susunan Pemerintahan VOC Daeng Mangalle dan Konspirasi Melawan Raja Thailand Awal Mula Meterai di Indonesia Kisah Pejabat VOC Dituduh Korupsi tapi Malah Dapat Promosi