Menuturkan Sejarah Jakarta Lewat Furnitur
Beragam kisah tersimpan dalam sebuah furnitur. Tak hanya tentang material apa yang digunakan untuk membuat perabotan itu, tetapi juga mengungkap siapa dan kehidupan seperti apa yang dijalani sang pemilik di masa lalu
SEBUAH benda tak hanya memiliki nilai fungsional atau kegunaan tetapi juga mengandung banyak kisah, terlebih bila benda tersebut telah dibuat sejak ratusan tahun silam. Hal inilah yang hendak dikesplorasi dalam pameran temporer bertajuk “Furnitur Bertutur” yang diselenggarakan di Museum Sejarah Jakarta atau dikenal juga dengan nama Museum Fatahillah.
Dalam pembukaan pameran yang digelar di Taman Dalam, Kepala Unit Pengelola Museum Sejarah Jakarta Esti Utami pada Senin (14/10) menyampaikan bahwa pameran ini akan menyajikan informasi mengenai sejarah Batavia melalui sejumlah koleksi furnitur milik Museum Sejarah Jakarta. Tak hanya menampilkan teks yang berisi narasi tentang kisah yang terkandung di setiap koleksi, pameran juga dilengkapi dengan video sejarah lisan, media interaktif, hingga media edukasi untuk anak-anak.
Pameran Temporer “Furnitur Bertutur” merupakan hasil kolaborasi antara Unit Pengelola Museum Kesejarahan Jakarta dengan berbagai lembaga, salah satunya adalah Southeast Asia Museum Services (SEAMS). Menurut Esti, wacana penyelenggaraan pameran berawal dari kerjasama Unit Pengelola Museum Kesejarahan Jakarta dengan SEAMS ketika melakukan riset signifikansi terhadap 50 koleksi furnitur milik Museum Sejarah Jakarta pada 2022 dan 2023.
“Berdasarkan hasil riset tersebut, SEAMS mengurasinya menjadi sebuah pameran yang menarik, inovatif, edukatif, informatif, dan rekreatif. Selain itu, pameran ini juga menjadi sebuah upaya untuk Unit Pengelola Museum Kesejarahan Jakarta dalam mempublikasikan hasil riset koleksi yang telah dilakukan. Dalam hal ini adalah koleksi furnitur Museum Sejarah Jakarta,” jelas Esti.
Sementara itu, terkait dengan tujuan penyelenggaraan pameran, Andrew Henderson yang merupakan bagian dari SEAMS menyebut bahwa melalui “Furnitur Bertutur” ia ingin mengajak masyarakat untuk melihat benda-benda peninggalan masa lalu, dalam konteks ini furnitur koleksi Museum Sejarah Jakarta, tak hanya sebagai barang peninggalan kolonial atau benda antik tapi ibarat sebuah buku maupun film, berbagai furnitur yang ditampilkan juga memiliki cerita tersembunyi yang sangat beragam dan menarik untuk dikaji saat membahas mengenai sejarah Batavia (kini Jakarta).
Salah satu furnitur yang ditampilkan dalam pameran dan menurut Andrew memiliki kisah cukup unik nan menarik adalah kursi Raden Saleh. Kursi tersebut merupakan bagian dari satu set yang terdiri atas dua kursi dan pernah dimiliki oleh Raden Saleh Syarif Bustaman, seniman Nusantara pertama yang melukis dengan disiplin lukis ala Barat dan dikenal pula sebagai pionir seni modern Indonesia. Perjalanan ke luar negeri yang dilakukan Raden Saleh pada abad ke-19 turut memengaruhi selera sang pelukis. Ia mulai menunjukkan ketertarikan terhadap gaya Neo-Gotik.
Sekembalinya ke Batavia, Raden Saleh membangun sebuah rumah besar yang ia rancang dengan gaya Neo-Gotik di kawasan Cikini (kini menjadi bagian dari Rumah Sakit PGI Cikini). Tak hanya desain bangunannya, gaya Neo-Gotik juga terlihat pada perabotan yang mengisi berbagai sudut kediaman sang pelukis. Salah satunya kursi yang ditampilkan dalam pameran temporer “Furnitur Bertutur” ini. Kendati telah mengalami perubahan, seiring dengan umur perabotan yang telah bernilai ratusan tahun, kursi tersebut memberikan informasi baru mengenai sisi lain kehidupan Raden Saleh dan gaya yang tengah populer di kalangan masyarakat pada masa itu.
Dengan demikian, seperti yang diungkapkan Andrew dalam pembukaan “Furnitur Bertutur”, tujuan pameran ini sesungguhnya untuk mengangkat cerita-cerita yang sebelumnya tak diketahui oleh publik, dan menempatkan beragam koleksi yang dipamerkan dalam pameran tersebut di dalam konteks sejarah Jakarta yang cukup kompleks, berlapis-lapis, dan sangat multikultural. Tak heran bila kemudian tema yang diangkat dalam pameran ini terbilang beragam dan cukup luas, tak hanya mencakup aktivitas perdagangan yang dilakukan VOC, tetapi juga menelaah kehidupan masyarakat Batavia dan akulturasi budaya yang muncul sebagai dampak dari koloni yang heterogen.
“Selain mengangkat cerita-cerita yang tersembunyi dari berbagai koleksi dan mengaitkannya dengan konteks di masa lalu, pameran ini juga mencoba menghubungkan sejarah tersebut dengan kondisi Jakarta di masa kini. Oleh karena itu, kami mencoba mengeksplorasi perspektif kontemporer melalui sejarah lisan, musik, bahasa, dan ada instalasi seni dari dua seniman,” jelas Andrew.
Pameran “Furnitur Bertutur” yang digelar di Museum Sejarah Jakarta mulai 14 Oktober hingga 27 Desember 2024 juga didukung dengan penyelanggaraan dua seminar. Seminar pertama dengan tema kuratorial pameran, akan diselenggarakan pada 17 Oktober 2024 dan seminar kedua yang mengusung tema edukasi museum, akan diadakan Jumat (18/10) mendatang.
“Diharapkan, melalui kajian yang diterjemahkan dalam sebuah pameran yang menarik seperti ini, dapat menjadi contoh untuk kegiatan selanjutnya,” ungkap Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta Iwan Henry Wardhana yang berharap “Furnitur Bertutur” dapat menjadi momentum untuk penyelenggaraan pameran berkesinambungan di berbagai museum Jakarta.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar