PATUNG seosok lansia bertelanjang dada dengan jemari tangan kanannya mengapit rokok itu terduduk di atas sebuah batu. Bersanding di sisi kirinya dua sosok lain mengusung ‘celeng’ atau babi hutan gemuk yang sudah tak berdaya. Kedua karya itu memang dihasilkan dari dua pematung berbeda tapi yang menyatukan keduanya adalah sama-sama terinspirasi seniman senior Djoko Pekik.
Sosok patung seorang uzur itu tak lain adalah figur Djoko Pekik sendiri karya pematung Dunadi. Patung tersebut dipersembahkan sebagai bentuk penghormatan untuk Djoko Pekik pada acara “Pekik’an Jejeran Djoko Pekik” di Taman Yakopan, kawasan rumah budaya Omah Petroek, Sleman, Yogyakarta, 29 Mei 2023.
Adapun patung yang menggambarkan dua orang memanggul celeng dalam keadaan terbalik dengan keempat kaki terikat merupakan patung karya Pramono yang sudah dibuat satu dekade lewat. Patung ini terinpirasi dari karya Djoko Pekik paling dikenal, Indonesia 1998: Berburu Celeng.
Baca juga: Karya-Karya Sang Perupa Sederhana
Lukisan fenomenal itu memang sudah berpindah tangan ketika dibeli seorang kolektor senilai Rp1 miliar. Akan tetapi inspirasi dari karya itu tetap dihidupkan banyak seniman. Selain pematung Dunadi dan Pramono, penyanyi Encik Sri Krishna juga pernah menciptakan lagu “Celeng Dhegleng”.
Lukisan Berburu Celeng itu sendiri dibuat Djoko Pekik seiring geger Reformasi 1998. Di atas kanvas berukuran 300 x 500 centimeter (cm), sang pelukis menggoreskan cat minyaknya untuk menggambarkan kerumunan massa yang punya berbagai ekspresi dan busana, mengarak seekor celeng hitam gempal yang diusung oleh dua orang dengan latar belakang infastruktur jalan layang dan gedung-gedung pencakar langit, serta dinaungi awan gelap.
“Ketika membuka pameran ‘Berburu Celeng’, Djoko Pekik, sang pelukis bilang, ‘Celeng itu lambang keserakahan. Apa-apa doyan, membabi-buta, perusak, dan kalau jalan enggak bisa lurus. Jadi sesuka hatinya sendiri, mentang-mentang dia raja. Akan tetapi, matinya celeng itu hanya digebuki dan diburu orang. Seorang raja atau pengusaja yang bersikap zalim akhir hidupnya juga akan terhina seperti celeng,’” tulis Triyanto Triwikromo dalam Ora Mung Bebendu Ora Mung Ngaku-aku Gusti Allah.
Trilogi Celeng
Pelukis kelahiran Desa Karangrejo, Purwodadi, Grobogan, 2 Januari 86 tahun lampau itu acap melahirkan karya-karya seni lukis realis-ekspresif hingga menyuguhkan simbol atau perlambangan dari realitas sosial yang berada dekat dengan dirinya. Lukisaa-lukisan lain karyanya adalah Keretaku Tak Berhenti Lama (1989), Berstagen Merah Bangun Kota (1990), atau Tayuban (1991).
Seiring gejolak politik sejak 1996, Djoko Pekik makin kental menyuguhkan simbol keserakahan penguasa rezim Orde Baru (Orba) lewat trilogi lukisan dengan perlambangan celeng. Lukisan Berburu Celeng hanya satu di antaranya.
Lukisan pertama Djoko Pekik dalam ‘Trilogi Celeng” itu adalah lukisan Susu Raja Celeng (1996), disusul dengan Berburu Celeng (1998), dan ditutup Tanpa Bunga dan Telegram Duka Cita (2000). Sang pelukis menuangkan pikiran akan tahap-tahap kejatuhan rezim Soeharto secara berkelanjutan lewat trilogi itu.
Baca juga: Menyuarakan Nasib Nelayan Melalui Lukisan
Dalam Lukisan Susu Raja Celeng di atas kanvas berdimensi 180 x 150 cm, Djoko Pekik menggambarkan seekor celeng gemuk sedang menggali-gali tanah. Di sekelilingnya dengan terpisah tembok dan jarak terbentang terdapat kerumunan rakyat di atas maupun di bawah sebuah jembatang layang menyaksikannya.
“Walaupun perutnya sudah menggendut dan menggelembung dan keenam susunya sudah mentes-mentes. Di sana ia menggambarkan tak mungkinlah celeng itu diganggu-gugat. Tak mungkin rakyat mendekati dan menyentuhnya,” tulis sastrawan Sindhunata dalam Menyusu Celeng.
Syahdan lepas kerusuhan Mei 1998 yang berujung pada Reformasi, lukisan keduanya, Berburu Celeng, pun muncul. Dalam lukisan itu, lanjut Sindhunata, benteng dan jurang yang melindungi si celeng pada lukisan pertama (Susu Raja Celeng) dari rakyat yang memburunya sudah hilang.
“Mereka berhasil menangkap celeng itu. Perburuan celeng sudah selesai. Tapi lukisan itu justru juga membuka pertanyaan: sungguhkan celeng itu sudah mati? Tapi mengapa di depan semuanya tambah gelap?” lanjutnya.
Problem celeng nyatanya tak serta-merta hilang di era Reformasi. Justru muncul celeng-celeng baru yang tak kalah rakus dan bahkan bangga dengan korupsinya hingga rakyat bingung sendiri.
“Padahal lukisan itu tidak dimaksudkan pelukisnya untuk mengungkapkan rasa dendam tetapi justru untuk melepas, merelakan rasa itu dari dirinya. Si pelukis mau melepas rasa dendam, dan justru mendokumentasikan sejarah masa silam yang dia sendiri menjadi saksinya,” ungkap Nancy Florida dalam artikel “A Proliferation of Pigs: Specters of Monstrosity in Reformation Indonesia” dalam Public Culture.
Baca juga: Affandi dan Pengakuan Karya Zainal Beta
Sedangkan dalam karya Tanpa Bunga dan Telegram Duka, Djoko Pekik melukiskan sosok celeng yang sudah menjadi bangkai tergeletak tak bernyawa di atas tanah tandus. Kulit di bagian tubuh bangkai celengnya pun sudah menyingkap tulang-belulangnya, hingga dikerumuni kawanan lalat hijau dan tiga ekor gagak hitam yang melahap dagingnya.
“Ia merasa judul itu indah dan teduh kedengarannya, tak mengandung rasa masgul, amarah, benci, dan dengki. Ternyata tidaklah mudah menerjemahkan judul indah itu menjadi sebuah lukisan tentang celeng. Tepat bila kematian macam ini diberi nama Tanpa Bunga dan Telegram Duka. Itulah akhir bagi siapa saja yang pernah menyombongkan dirinya,” tukas Sindhunata.
Kini Djoko Pekik sang pelukis realis-ekspresif legendaris itu berpulang. Ia mengembuskan nafas terakhirnya pada Minggu (12/8/2023) atau tiga bulan setelah dirinya diabadikan dalam patung karya Dunadi di atas.
Baca juga: Lukisan Kehidupan Soenarto Pr