Lukisan Kehidupan Soenarto Pr
Maestro perupa dan pendiri Sanggar Bambu, candradimuka banyak seniman ternama. Teguh dengan filosofi kesederhanaan.
KEKAGUMAN terhadap sesosok patung di Museum Sasmitaloka Pahlawan Revolusi Ahmad Yani, Jakarta, membawa saya ke sebuah rumah di Kecamatan Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Rumah sederhana itu rumah terakhir Soenarto Pr, seniman di balik berdirinya patung tadi.
Sebuah lukisan potret Soenarto di dinding yang berimpitan dengan pintu depan rumah seolah mewakili sang tokoh menyambut kedatangan saya pada 28 Juli 2019 itu. Sudah lebih setahun, tepatnya 24 Juli 2018, Soenarto meninggal. Ia dimakamkan di Makam Seniman Girisapto, Imogiri, sesuai wasiatnya.
Sejatinya, kekaguman pada Soenarto sudah timbul dua-tiga tahun lalu lewat perkenalan dengan Aditya Rochim alias Boim, salah satu menantu Soenarto, di Museum Benteng Vredeburg. Kala itu Soenarto masih ada kendati sudah sakit-sakitan.
Baca juga: Di Balik Patung Jenderal Ahmad Yani
Boim pula yang menemani saat saya sowan ke rumah Soenarto. Sambil menyuguhkan secangkir kopi liberica plus susu kental manis dari warung “Kopi Bang Boim” miliknya, dia mendampingi istrinya Mirah Maharani, putri kedua Soenarto dari istri kedua, memberi informasi tentang Soenarto.
“Sebenarnya dulu lebih lama tinggal di Jakarta. Baru pindah ke Yogya lagi 2007. Soalnya sejak 2006 bapak mulai sepuh ya. Bapak juga bilang punya cita-cita pingin dimakamkan di Makam Seniman Girisapto. Setelah ada acara di Solo, Januari 2007, bapak pulangnya milih ke Yogya. Akhirnya kita semua pindah dari Ragunan (Jakarta Selatan) ke Yogya untuk mengurus bapak,” ujar Mia, panggilan Mirah.
Kombatan Pelajar Mendirikan Sanggar
Soenarto lahir di Bobotsari, Purbalingga, 20 November 1931. Singkatan nama belakangnya diambil singkatan nama ayahnya, Moe’id Prawirohardjono. Kegetolannya pada seni sudah terlihat semasa kanak-kanak.
“Bakat bapak (Soenarto Pr) dari kecil karena sering dikasih oleh-oleh kapur tulis sama ayahnya. Ayahnya kan guru. Mulanya sering menggambar di lantai rumah. Sering ditegur juga akhirnya. Di sekolah, SD Sampoerna Soeka Negara, bapak sudah pintar menggambar sampai disenangi bakatnya itu sama gurunya yang orang Belanda. Waktu SD juga bapak pernah menang lomba juara II tingkat pelajar di Purwokerto,” sambung Mia.
Beringsut usia SMP, Perang Kemerdekaan bergejolak. Soenarto mesti meninggalkan hobi seninya untuk ikut angkat senjata. Ia menggabungkan diri ke Tentara Pelajar (TP) Peleton I Kompi Entjoeng A.S Detasemen II Purwokerto yang bergerilya di kisaran Tegal. Sempat terlibat dalam pertempuran, ia lantas dipercaya mengurusi surat-menyurat dan dokumen kompinya.
“Komandan Peleton I Isnandar Muhadi mempercayakan dan menugaskan saya menangani kesekretariatan Kompi Entjoeng A.S Purwokerto beberapa bulan di akhir tahun 1949 menjelang masuk kota memperjuangkan pengakuan kedaulatan. Ngalor-ngidul, stempel kesatuan, arsip dan dokumentasi tak pernah lepas, harus aman dan rapi di tas,” kata mendiang Soenarto dalam Mengungkap Perjalanan Sanggar Bambu keluaran Kemenbudpar, 2003, yang disusun Soenarto bersama Nunus Supardi.
Baca juga: Utusan Seni Merangkap Telik Sandi
Selepas Tentara Pelajar didemobilisasi pada 1950, Soenarto memilih kembali ke bangku sekolah ketimbang meneruskan karier di militer. Ia melanjutkan pendidikannya di Sekolah Pertanian Menengah Atas di Malang. Setelah itu, ia melanjutkan ke jurusan Seni Lukis dan Patung di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta.
“Bapak ya hidupnya di Yogya prihatin. Sampai-sampai tinggalnya di ASRI. Tadinya nyolong-nyolong ketika kampus sudah tutup. Ada satu ruangan studio yang jendelanya selalu diganjal bapak. Jadi ketika kampus sudah tutup, dia bisa masuk. Sampai akhirnya ketahuan sama Pak R.J. Katamsi (direktur ASRI, red). Tadinya bapak mau ngampar saja gitu di depan kampus. Tapi karena dianggap malu-maluin kampus nantinya, akhirnya bapak dikasih tempat tinggal satu ruangan di belakang sama Pak Katamsi,” sambung Mia.
Lantaran Soenarto acap memberi “kuliah tambahan” pada para mahasiswa ASRI di sela-sela waktunya, muncul sebutan “ASRI Sore”. “Banyak mahasiswa yang ikut kegiatan bapak saat jadwal kampus sudah selesai,” imbuhnya.
Baca juga: Pemuda Sosialis di Balik Film Legendaris
Soenarto merupakan sosok yang punya keinginan kuat belajar di manapun dan pada siapapun. Selain kepada Sudjojono, Trubus Soedarsono, dan Affandi di ASRI, pada 1958 ia pernah “berguru” pada Antonio Blanco di Bali selama enam bulan.
“Kata bapak, sebagai seniman rasanya tidak lengkap hidupnya jika tidak ke Bali. Salah satu karya bapak di sana, lukisan ‘Gadis Bali’ dibeli Presiden Sukarno yang sekarang jadi koleksi Istana Negara,” tambahnya.
Pada 1 April 1959, Soenarto dan beberapa kawannya mendirikan Sanggar Bambu. Ia didapuk jadi ketuanya. Sanggar itu merupakan wadah atau komunitas seniman berbagai bidang yang lahir gara-gara Soenarto diledek rekan seniman.
“Begitulah awal berdirinya Sanggar Bambu dengan saya yang benar-benar miskin pengalaman organisasi dipercaya rekan-rekan sebagai pimpinannya. Tetapi yang mendasari justru ledekan Kirjomulyo –penyair dan dramawan kelompok Teater Indonesia. ‘To, mau jadi pelukis kok tidak punya sanggar.’ Selanjutnya guyon parikeno Kirjomulyo tersebut jadi pembicaraan serius yang melibatkan teman-teman lain,” kata Soenarto.
Baca juga: Hikayat Lukisan Gatotkaca
Markas Sanggar Bambu berupa galeri seni, mulanya bertempat di Jalan Gendingan No. 119. Kala itu markas mereka satu-satunya galeri seni di Yogya. “Itu juga tempatnya Pak Sutopo, teman bapak. Awalnya ditawari di sana tapi hanya untuk setahun karena itu masih rumah ibunya Pak Sutopo,” kata Mia menerangkan.
Dalam perjalanannya, Sanggar Bambu jadi kawah candradimuka sejumlah seniman ternama yang lebih populer dari Soenarto. Arifin C. Noer, Putu Wijaya, Mien Brodjo, Emha Ainun Najib, Adi Kurdi, dan Ebiet G. Ade merupakan jebolan Sanggar Bambu.
Filosofi Enam “Sa”
Saat berjaya tak pernah jumawa. Kala nelangsa pun tak pernah berkeluh-kesah. Begitulah Soenarto. Meski namanya kian dikenal, Soenarto tetap membumi. Putu Wijaya menyebutnya “Pertapa di Tengah Kota”. Kesederhanaan hidupnya tak lepas dari filosofi “6 Sa” yang dipegangnya erat-erat.
“Dulu sering berhutang sana-sini. Tapi di satu waktu malah pernah lukisannya dibeli dengan harga Rp10 ribu tapi sama yang beli dijual lagi ke orang lain Rp10 juta. Ya bapak lukisannya enggak pernah dijual mahal. Enggak terlalu mikir materi. Saking mengikuti falsafah Ki Ageng Suryometaram yang enam ‘Sa’ itu: Sabutuhe, Saperlune, Sacukupe, Sabenere, Samestine, Sakepenake,” sambung Mia.
Jika kondisi ekonominya sedang meprihatinkan, Soenarto pantang mundur. Ia tetap produktif meski harus mengganti cat minyak dan kanvas dengan pastel dan kertas biasa. Saking produktifnya, ia sampai dijuluki “Raja Pastel Indonesia” selain pelukis Wardoyo.
Filosofi itu turut mengantarnya untuk berbagi pada sesama. Kala sudah hijrah ke Jakarta sejak 1961, Soenarto yang tetap membesut Sanggar Bambu menambah kesibukan dengan mengajar anak-anak TK hingga pasien Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Grogol.
“Mengajar anak-anak TK itu tahun 1977 saat sudah tinggal di Meruya. Kebetulan di depan rumah ada TK Bunga Bakti. Bapak termasuk sesepuh yang dituakan di daerah itu karena salah satu orang pertama yang tinggal di situ (Taman Meruya Ilir). Buat bapak, enggak dibayarpun enggak masalah. Bapak hanya senang menyebarkan seni ke anak-anak,” ujar Mia.
Baca juga: Gombloh Berbagi BH
Sementara, job di RSJ Grogol didapatkan Soenarto medio Desember 1981 dari Departemen P dan K (kini Kemendikbud). Ia diberi insentif bulanan Rp10 ribu namun hanya sekira setahun berjalan. Kegiatan itu berhenti seiring stopnya dana operasional dari pemerintah.
“Ya yang diasuh pasien-pasien yang sudah dalam tahap pemulihan, bukan yang kondisinya masih parah. Buat bapak, seni itu bisa buat terapi. Saya sendiri pernah ikut. Lucu-lucu memang pasiennya. Ada yang mau ikut tapi minta dipasangi musik sambil dia joget-joget. Ada juga yang harus bapak beliin rokok atau permen untuk pasien lainnya,” papar Mia.
Bulan ini, karyanya yang bertajuk “Pengamen” (1988) jadi koleksi Museum Seni Rupa dan Keramik, turut dipamerkan dalam Pameran “Lini Transisi” yang digelar Galeri Nasional, 1-31 Agustus 2019. Bersama “Pengamen”, turut pula ditampilkan “Potret Diri” (1957) di tempat yang sama.
Sepanjang kiprahnya, Soenarto tak hanya produktif di dunia seni lukis. Ia juga dikenal sebagai maestro patung. Puluhan karyanya masih eksis, termasuk patung Jenderal Ahmad Yani di Museum Sasmitaloka Pahlawan Revolusi Ahmad Yani.
Bila kiprahnya di masa perjuangan berganjar Lencana Karya Dharma dari Veteran RI, di bidang seni Soenarto dianugerahi Respect Award Biennale X oleh Kemenbudpar dan Anugerah Budaya Seniman dan Budayawan oleh Provinsi DIY.
“Sebelum meninggal, bapak punya harapan tentang Sanggar Bambu. Bapak kepengin sanggarnya punya tempat, punya bangunan permanen. Alamatnya enggak pindah-pindah lagi,” kata Mia menjelaskan sanggar ayahnya yang acap berpindah tempat, di mana saat ini masih mengontrak di Tempuran, Taman Tirto, Bantul, tak jauh dari kediaman almarhum.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar