- Randy Wirayudha

- 2 Agu 2019
- 3 menit membaca
BERDIRI tegap dengan tangan ke belakang sambil menggenggam sebilah tongkat, sosok itu tampak gagah. Terik mentari ataupun deras terpaan hujan tak pernah dipedulikannya. Sudah 53 tahun ia setia menyambut tamu yang berkunjung ke rumahnya atau orang-orang yang melintas di persimpangan Jalan Latuharhari dan Jalan Lembang.
Ialah Jenderal (Anumerta) Ahmad Yani, menteri/panglima Angkatan Darat (1962-1965), dalam bentuk patung. Berbahan perunggu, patung setinggi tiga meter itu berdiri di atas sebuah relief setinggi satu meter yang dikitari kolam ikan. Relief itu menggambarkan kiprah Yani sejak Perang Kemerdekaan hingga hari-hari menjelang peristiwa berdarah 1 Oktober 1965.
Patung Yani berada di halaman Museum Sasmitaloka Pahlawan Revolusi Jenderal Ahmad Yani di Jalan Lembang Nomor 58, Menteng, Jakarta Pusat. Bangunan museum sebelumnya merupakan kediaman pribadi Yani, yang menjadi saksi bisu penculikan Yani di pagi buta 1 Oktober 1965.
Rumah itu resmi dijadikan museum dengan koleksi memorabilia sang mendiang oleh Menpangad/Ketua Presidium Kabinet AmperaJenderal Soeharto tepat setahun setelah kejadian. Dalam perjalanan, pengelolaan museum berpindah tangan dari pihak keluarga ke Dinas Sejarah Angkatan Darat (Disjarhad).

Dalam peresmian museum, patung itumelengkapi koleksi. Amelia Yani, putri tertua Yani yang kini menjabat Duta Besar RI untuk Bosnia-Herzegovina, ingat betul kejadian misterius kala penyingkapan patung itu dari selubungnya saat peresmian.
“Ada kejadian unik waktu itu. Patung bapak (Jenderal Yani) di depan rumah itu sebelumnya kan tertutup kain putih. Waktu itu angin berembus kencang sekali. Sesekali juga diselingi gemuruh petir. Tapi setelah kainnya disingkap dan dibuka, suasananya (cuaca) biasa lagi,” kata Amelia medio Juni 2015.
Permintaan Istri Jenderal Yani
Patung Yani beserta reliefnya itu merupakan karya seniman Soenarto Pr alias Soenarto bin Moe’id Prawirojardjono dan rekan-rekannya dari Sanggar Bambu, Yogyakarta.
“Setelah beberapa waktu pasca-Pak Yani gugur, bapak (Soenarto Pr) dan teman-teman sanggar datang ke Jakarta, mengucapkan belasungkawa atas nama Sanggar Bambu,” tutur Mirah Maharani, putri Soenarto Pr, kepada Historia.
Mengutip Mengungkap Perjalanan Sanggarbambu terbitan Kemenbudpar 2003, kala itu sekira 100 hari meninggalnya Jenderal Yani, Soenarto dan rekannya Kuswandidari Sanggar Bambu datang di Kramat Jati, Jakarta Timur dan berjalan kakike kediaman Jenderal Yani. Mereka datang membawa lukisan belasungkawa.
“Enake gawe opo neng kono? (Enaknya dibuat apa di sana?)” tanya Ibu Yani pada Soenarto Pr seraya menunjuk halaman depan.
“Patung Pak Yani, Bu,” jawab Soenarto.
“Bener! Wis ngene Mas Narto, siapkan saja rencananya dan terserah Mas Narto sepenuhnya, apa saja yang dibutuhkan. Dana sudah pasti. Satu Oktober 1966 ini diresmikan, sanggup?”
“Inggih, sendika, Bu (Baik, siap, Bu).”

Soenarto dan Yani beserta istrinya sudah kenal dekat. Semasa Perang Kemerdekaan, Soenarto yang jadi personil Brigade XVII Tentara Pelajar (TP)acap jadi intel dan kurir yang menghubungkan pesan-pesan komandannyake Yani selaku komandan Brigade IX Kuda Putih.
“Makanya pernah suatu ketika sebelum meninggalnya Pak Yani, bapak datang ke rumah Pak Yani. Biasanya Pak Yani tanya, ‘mau ketemu ibu (istri Yani) atau ketemu saya’. Kalauurusannya dengan Pak Yani, biasanya diajak ke dapur, lalu Pak Yani menyalakan keran biar suaranya tersamar. ‘Ada urusan apa?’, biasanya begitu sambil pura-pura cuci tangan. Mungkin itu kebiasaan sejak zaman perang,” kataAditya Rochim, suami Mia, yang juga acap mendengar kisah itu dari Soenarto.
Kedekatan itu membuat Nyonya Yani mempercayakanpembuatkan patung dan reliefnya pada seniman kelahiran Bobotsari, 20 November 1931 itu. Soenarto membuatnya bersama rekan-rekandi Sanggar Bambu berbekal sebuah foto sang jenderal.
“Selain dari foto Pak Yani untuk detail wajah, figurnya juga menggunakan model, ya temannya bapak sendiri, Pak Wardoyo. Ia dipakaikan baju tentara dan berpose seperti yang di patung itu. Mungkin bapak memilih Pak Wardoyo karena di antara kawan-kawannya, dia yang posturnya paling atletis seperti tentara,” sambung Mia.
Nyonya Yani acap berkunjung ke Yogya untuk melihat proses pengerjaannya. Sesekali juga istri Jenderal Yani memberi sedikit koreksi hingga dirasa pas. “Kalau lagi ketemu bapak, Bu Yani jarang mau diganggu. Bilangnya, ‘Nanti saja, soalnya masih bersama orang idealis’,” tambahnya merujuk pada julukan Bu Yani untuk Soenarto, perupa yang juga pelukis.

Patung pun rampung sesuai waktu yang ditentukan. Sehari sebelum peresmian, patung itu dipasang di halaman depan rumah. Patung itu jadi “bintang” dalam peresmian museum.
Selain patung Yani, patung-patung karya Soenarto lainnya antara lain patung dada S. Parman di Wisma Sandi Pala (1967), Monumen Gatot Subroto Berkuda di Purwokerto (1982), 15 patung dada pahlawan di Gedong Joang ’45 Jakarta (1985), danpatung MH. Thamrin di Museum MH. Thamrin Jakarta (1986).










Komentar