Awan tebal menggelayut. Matahari tak kelihatan. Hampir turun hujan. Para pekerja berhelm proyek dan berompi oranye bergegas. Mereka meneriakkan aba-aba kepada rekannya di dalam ekskavator. Lengan ekskavator bergerak, menghantam dua bangunan di dekatnya. Gedung Galeri Cipta I dan Graha Bhakti Budaya roboh pelan-pelan menjadi puing.
Para seniman Ibukota resah. Tempat yang membersamai mereka sedari dulu, kini satu per satu hilang. Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, tengah direvitalisasi. Proyek ini sudah dimulai sejak tahun 2019 dan terus berlanjut hingga Februari 2020 meski protes dari seniman mengalir deras.
Salah satu protes datang dari para seniman yang tergabung dalam Forum Seniman Peduli TIM. Mereka merasa ada kejanggalan dalam proses revitalisasi TIM sejak awal. “Dari awal, kami seniman TIM, tidak pernah diajak diskusi mengenai rencana revitalisasi ini. Pemerintah terkesan sembunyi-sembunyi,” ujar Tatan Daniel (48), perwakilan seniman
Menurut Tatan, seniman bernama besar seperti Nano Riantiarno dan Putu Wijaya juga tak pernah didengarkan. Kedua seniman itu besar bersama TIM. Kekecewaan terbesar mereka adalah adanya rencana pembangunan hotel mewah.
Tatan menyebut hotel itu akan membuat TIM jadi komersial. Tapi hal tersebut dibantah oleh Pemerintah Provinsi Jakarta selaku penanggung jawab proyek revitalisasi TIM. Mereka bilang hanya ingin mendirikan wisma untuk seniman.
Tatan tak percaya bantahan itu. “Kalau memang nantinya akan dibangun wisma untuk seniman, kami mau fungsi dan bentuk benar benar wisma, jangan seperti hotel mewah,” lanjut Tatan. Para seniman masih terus menggelar aksi tolak komersialisasi TIM. Bentuknya “Silent Action”. Aksi itu berlangsung tiap Jumat sore di depan pelataran TIM.
Kritik terhadap revitalisasi juga keluar dari mulut Yayu Unru (57), aktor senior sekaligus dosen pengajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Dia mengaku kecewa pada keputusan Gubernur DKI Jakarta dan resah jika TIM nanti berubah fungsi menjadi pusat komersial. “Kalau TIM sudah dikomersialkan, bagaimana kita mau berkarya? Nantinya TIM hanya mementaskan karya-karya yang laku di pasaran. Karya yang mengikuti pasar. Bukan karya-karya yang bagus. Itu tidak benar,” kata Yayu.
Protes para seniman terhadap revitalisasi tidak kunjung usai. Tapi tak tampak pula upaya dari Pemerintah Provinsi Jakarta untuk duduk bersama berdiskusi dengan mereka. Ini berbeda dari cara Ali Sadikin, Gubernur Jakarta dulu, dalam menyikapi segala hal menyangkut TIM dan seniman di dalamnya.