Sejatinya sebelum menempati tempat yang sekarang, pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pernah melibatkan kawasan lain. Pembangunan TMII berawal dari adanya keinginan Siti Hartinah Soeharto, istri Presiden Soeharto yang menjadi ketua Yayasan Harapan Kita, untuk membuat suatu destinasi wisata yang menampilkan keragaman kekayaan budaya Indonesia.
Konsep TMII sendiri dikemukakan Ibu Tien, panggilan akrab Siti Hartinah Soeharto, dalam rapat Yayasan Harapan Kita (YHK) di kediamannya di Jalan Cendana 8, Jakarta Pusat pada 13 Maret 1970. Di situlah Ibu Tien menjelaskan gagasannya untuk mendirikan suatu tempat rekreasi yang mampu menggambarkan kebesaran dan keindahan tanah air dalam bentuk wahana miniatur. Rencana Ibu Tien disambut oleh Ali Sadikin, gubernur DKI Jakarta saat itu. Dengan beroperasinya TMII, Bang Ali membidiknya sebagai lahan pendulang uang bagi Pemprov DKI Jakarta.
“Yang jadi soal waktu itu, buat saya, di mana taman itu harus dibangun? Dan bagaimana mengadakan dananya?” cerita Ali Sadikin dalam memoar Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 yang disusun Ramadhan K.H.
Baca juga: Gagasan Awal Taman Mini Indonesia Indah
Semula Bang Ali memilih Waduk Melati dekat Hotel Indonesia di Menteng, Jakarta Pusat. Namun, di sana lahannya sangat terbatas. Paling-paling hanya ada tanah seluas 20 ha. Pencarian lokasi kemudian dilakukan lagi dengan orientasi sekitar inti Jakarta. Pertimbangannya supaya memudahkan masyarakat berkunjung ke sana nantinya. Ketemulah kawasan Cempaka Putih. Tapi seperti Menteng, tanah di Cempaka Putih juga tidak luas.
Ibu Tien sendiri condong kepada kawasan sekitar Sunter, Jakarta Utara sebagai lokasi pembangunan TMII. Lagi-lagi, lahan di Sunter tidak cukup luas. Hanya sekira 15 Ha. Karena tidak mendapat lokasi yang cocok, Bang Ali menyarankan agar dicari tempat yang lebih luas. Alasannya, perkembangan Jakarta ke depan sebagai kota metropolitan bisa terganggu kalau ada proyek TMII didalamnya. Bang Ali menyarankan tempat yang lebih luas namun berada di pinggiran Jakarta.
Anjuran Bang Ali ditanggapi Ibu Tien dengan memanggil Brigjen TNI Herman Sarens Sudiro ke Cendana. Herman adalah komandan korps Hankam merangkap project officer pembangunan TMII mewakili YHK. Saat itu, Herman baru saja membereskan pembebasan lahan untuk pembangunan markas besar ABRI di kawasan Cilangkap, Jakarta Timur.
Baca juga: Herman Sarens, Perwira yang Nyaris Ditembak Soeharto
Ibu Tien lantas meneruskan maksudnya kepada Herman terkait dengan penentuan lokasi proyek TMII. Herman mengusulkan mencari tanah di pinggiran Jakarta, yakni Bambu Apus, Jakarta Timur. Kawasan itu dikenal betul oleh Herman sewaktu mengurusi lahan untuk pembangunan markas besar ABRI. Untuk meyakinkan Ibu Tien, Herman menjelaskan seluk-beluk lokasi Bambu Apus mengunakan peta.
“Setelah Bu Tien melihat lokasi, menyatakan setuju dengan rencana itu, kami menghadap Pak Harto. Setelah itu tanah dibebaskan dengan mengumpulkan kepala desa di sekitar Bambu Apus,” tutur Herman dalam otobiografinya Herman Sarens Sudiro: Ancemon Gula Pasir, Budak Angon Jadi Opsir.
Akhirnya, melalui SK Gubernur tanggal 7 Maret 1972 diputuskan bahwa lokasi pembangunan berlokasi di Bambu Apus, Pondok Gede.Menurut Herman, harga tanah yang dibebaskannya untuk lahan proyek tersebut sebesar Rp 50 per meter. “Tugasku dalam TMII adalah membebaskan tanah, sedangkan pembangunannya diserahkan ke pihak swasta,” tutur Herman.
Baca juga: Kasus Jenderal Tuan Tanah
Ali Sadikin sendiri dalam memoarnya membenarkan lokasi pembangunan TMII di Bambu Apus Pondok Gede sebagai pilihan Herman Sarens. Setelah persoalan lokasi teratasi, Bang Ali menyediakan lahan seluas 400 Ha yang kira-kira setara dengan separuh Kebayoran Baru. “Saya tidak punya alasan untuk tidak menyetujui pembangunan Taman Mini itu. Malahan ini menguntungkan masyarakat Jakarta,” kata Bang Ali.
Lokasi TMII ini memang cukup strategis. Terletak di sebelah timur Jalan Tol Jagorawi yang akan dibangun sehingga berpotensi besar untuk berkembang. Selain itu, keamanan di kawasan itu dapat dikatakan terjamin karena berdekatan dengan Markas Besar ABRI. Barangkali faktor keamanan ini pula yang kian memantapkan penempatan lokasi TMII berdampingan dengan markas militer seiring bergulirnya kritik ditengah masyarakat.
Dalam perjalanannya, agenda pembangunan TMII tidak luput dari sorotan publik. Banyak kalangan menganggap pembangunan itu hanya proyek mercusuar yang justru memboroskan anggaran negara. Apalagi dengan prakarsa Ibu Tien yang dianggap melampaui wewenang sebagai seorang ibu negara. Tapi dalam pengaruh rezim militer Soeharto, pembangunan TMII jalan terus. Gerakan menentang pembangunan TMII pun surut secara perlahan.
Baca juga: Gerakan Menentang Pembangunan TMII
Ibu Tien mengatakan pembangunan proyek miniatur itu menelan ongkos Rp10,5 miliar. Biaya sebesar itu seyogianya dibebankan kepada kelompok swasta dan pengusaha. Namun, skema pendanaan itu menjadi ganjil karena daerah tingkat I (provinsi) juga ikut menanggung 16 persen dari total pembiayaan. Pada 20 April 1975, TMII resmi beroperasi.
Setelah 44 tahun berdiri dibawah naungan YHK, kini pemerintah mengambil alih TMII. YHK disebut-sebut tidak menyetorkan pendapatan TMII kepada negara karena menunggak pajak dan terus merugi dari tahun ke tahun. Untuk seterusnya, pengelolaan TMII akan berada di bawah BUMN yang bergerak di bidang pariwisata. Terlepas dari segala kontroversinya, TMII akan selalu dikenang sebagai ikon nasional yang dicita-citakan Ibu Tien Soeharto.