Masuk Daftar
My Getplus

Gunung Semeru, Gisius, dan Harem di Ranupane

Bos peternakan di Ranupane ini mempioniri ekowisata Gunung Semeru. Namanya sempat tercoreng oleh "kasus" harem di Ranupane.

Oleh: Petrik Matanasi | 29 Okt 2024
Gunung Semeru, tempat Ranupane berada, merupakan tempat hidup Simon Gisius saat masa jaya dengan perusahaan ternaknya. (Tropenmuseum/Wikimedia Commons)

ANTARA akhir September dan awal Oktober 1927, Simon Willem Gerrit Gisius disebut namanya di beberapa koran di Belanda dan Hindia Belanda. Pasalnya, seorang putri penjaga hotel di Madura melarikan diri tanpa alas kaki dari tempat Gisius di Smeroe Hoeve alias Peternakan Semeru di dekat danau terkenal bernama Ranupane.  

Dari pelarian itu, gosip tentang Gisius pun ramai. Koran De Tijd tanggal 30 September 1927 dan Sinar Sumatra tanggal 11 Oktober 1927 memberitakan Gisius sebagai direktur Perusahaan Pertanian Smeroehoeve didakwa mempekarjakan gadis-gadis Indo di bawah umur untuk haremnya.   

Namun nama Gisius tak dikenal sebagai pemilik harem di sekitar Ranupane. Daerah yang kini merupakan daerah persiapan untuk pendakian Gunung Semeru itu di zaman Gisius berada di sana pun sama, sedari 1920-an hingga sekitar 1942.  

Advertising
Advertising

Gisius yang kelahiran Haderwijk, 25 Agustus 1879 itu tampak mewakili orang Belanda di sekitar perkampungan orang-orang Tengger itu. Dia juga memantau aktivitas Semeru. Koran De Locomotief tanggal 3 November 1928 memberitakan dia melaporkan adanya gas beracun setinggi 60 centimeter di kawah Semeru pada Juli 1928. Ketika kawasan Tengger terbakar pada 1935, diberitakan De Indisch Courant tanggal 27 Desember 1935, Gisius mengerahkan kuli-kulinya yang berjumlah ratusan untuk memadamkan api. 

Di daerah dengan ketinggian 2100 meter dari permukaan laut itu, Gisius memimpin peternakannya. Koran Bataviaasch Nieuwsblad tanggal 31 Juli 1935 menyebut Gisius adalah peternak sapi yang suka menerima pendaki. Untuk mengatasi suhu dingin, yang menurut De Indisch Courant tanggal 29 September 1932, yang mencapai 2 derajat Celcius, biasanya kayu bakar  dinyalakan pada pagi dan sore di sana. Untuk tidur di sana, butuh empat lapis selimut wol. 

Rumah Gisius di sekitar Ranupane itu, yang tak ada jejaknya lagi, dijadikan persinggahan bagi orang Belanda yang ingin mendaki Gunung Semeru (3676 m). Gunung tertinggi di Pulau Jawa itu merupakanimpian bagi banyak pendaki Jawa, termasuk setelah Indonesia merdeka. Pesohor Indonesia yang pernah naik ke gunung itu antara lain: Ahmad Dani dan Soe Hok Gie.  

Peternakan bernama De Smeroehoeve itu sebelumnya dipegang oleh De Sturler. De Indisch Courant menyebut, Gisius sejak 1920 menggantikan De Sturler.  

Ketika Gisius berada di sana, terdapat rumah kayu bergaya Amerika. Berupa susunan gelondongan pohon cemara. Mulanya perusahaan itu berniat membudidayakan tanaman perkebunan. Namun dalam perjalanannya, perusahaan justru beternak sapi. Selain menghasilkan daging, sapi di sini juga menghasilkan susu dan produk turunannya berupa mentega untuk kebutuhan lokal. Kendati sempat menurun, budidaya sapi di sini sempat mencapai 200 ekor, dengan pasar utama penduduk Malang,  kota dengan populasi orang Belanda terdekat dari peternakan.  

Ketika Gisius tinggal di sana, dia tak hanya membangun rumah di Ranupane saja. Di Ranukumbolo, sekitar 5 jam perjalanan dari Ranupane, dia juga membangun pondok. Lalu di Arcopodo pun ada pondok yang dibangun Gisius pula.  

Dua titik itu adalah spot penting dalam pendakian ke Semeru. Gisius barangkali pionir dalam sejarah pariwisata sekitar Ranukumbolo. Selain pondok, dia menyediakan angkutan dari Tosari, Tumpang, Ngadisari, dan lain-lain. 

Kehidupan Gisius yang –merupakan suami dari Geertruida Wilhelmina van Soelen,  Adriana Francisca van den Berg,  dan Elisabeth Walstra yang dinikahinya ketika berada di Hindia Belanda. Dua yang pertama dinikahinya sebelum mengelola Smeroehoeve di Ranupane– menyenangkan itu akhirnya terusik ketika Jepang datang ke Jawa dan berkuasa. Sebagai orang Belanda, dia ikut ditahan kendati usianya sudah 62 tahun. Alhasil sejak Maret 1942 dia tak bisa berkeliaran di luar kamp interniran yang dijaga tentara Jepang.  

Gisius akhirnya harus tercerabut dari Ranupane. Setelah tentara Jepang kalah pada 1945, Gisius tetap tak bisa langsung kembali ke sana. Perang antara Indonesia dan Belanda pada 1945-1949 membuatnya harus tinggal di Belanda. 

“Saya telah berada di Hindia Belanda selama lebih dari empat puluh tahun dan sekarang saya ingin melihat sesuatu yang berbeda,” kata Gisius, yang terpaksa tinggal di Negara Bagian Glinstra, di koran De Locomotief tanggal 23 Maret 1948.  

Meski sudah 72 tahun, Gisius masih rindu pada masa lalunya itu. Koran De Vrije Pers tanggal 29 Maret 1952 menyebut Gisius sedang mempersiapkan untuk kembali ke Ranupane guna mengelola kembali bekas Smeroehoeve miliknya dulu.  

Namun, hasrat itu amat sulit diwujudkan. Sebab, setelah memasuki periode 1950-an, hubungan politik Indonesia-Belanda memburuk dan sentimen anti-Belanda di Indonesia amat tinggi. Apalagi ada deportasi besar-besaran sekitar 1958, buntut dari sengketa tentang Irian Barat. Alhasil, hingga meninggal dunia di Zeist, Belanda pada 12 Mei 1970, Gisius tak pernah berhasil mewujudkan keinginannya kembali ke Ranupane.  

TAG

gunung semeru sejarah-pariwisata

ARTIKEL TERKAIT

Hanandjoeddin dan Sejuta Pesona Pariwisata Belitung Peliharaan Kesayangan Hitler Itu Bernama Blondi Kisah Sabidin Bangsawan Palsu Daripada Soeharto, Ramadhan Pilih Anak Kisah Mata Hari Merah yang Bikin Repot Amerika Hukuman Penculik Anak Gadis Pengawal Raja Charles Masuk KNIL Masa Kecil Sesepuh Potlot Cerita Tak Biasa Mata-mata Nazi Kriminalitas Kecil-kecilan Sekitar Serangan Umum 1 Maret